Rabu, 31 Desember 2014

erat, bersama


Pegang tanganku
mari melangkah bersama
Mungkin sesekali kita perlu melompat,
melihat dunia dari sudut pandang yg lebih tinggi
(Anai, Pariaman, Sumatera Barat)

Senin, 10 November 2014

Sepatu

Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Indah, lucu,, terlihat manis dari luar.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Kita mungkin bisa melangkah bersama untuk beberapa saat, tapi sepertinya untuk waktu yang lama, aku memilih tidak.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Tetap kulakukan, tetap kupaksakan, walau sebenarnya sakitnya kian lama kian terasa.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Entah sampai kapan aku akan bertahan.



Catt : Terinspirasi dari kejadian nyata. Gara-gara beli sepatu yang pada awalnya pas di kaki, tapi ketika dipakai esoknya, terasa kekecilan. Lain kali, beli sepatu yang agak longgaran #noted it. 
cc : ika, ini hanya fiksi berbasis fakta hahaha

Rabu, 05 November 2014

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {5}

Wajah-wajah kelelahan bertemu dalam satu ruang yang sama.  Beberapa mencoba mengibas-ibas bundelan kertas yang sedianya adalah bahan pembahasan sore ini. Sebagian yang lain tampak melonggarkan kancing baju. Ah, pendingin ruangan tak membantu banyak sepertinya.
Sang gadis berkali-kali membolak balik tumpukan kertas di pangkuannya, berusaha memahami beberapa angka yang mungkin ia tak mengerti dari mana muasalnya. Hingga kemudian, seseorang tiba-tiba menyodorkan sesuatu tepat ke pipinya, dingin.
Sang gadis terkejut, refleks menjauhkan muka, lalu melongok, dan menemukan seraut wajah usil sedang tertawa pelan.
“Jangan serius amat, nih, minum dulu. Sengaja beli karena ada yang bilang kamu suka sari kacang hijau.” Lelaki itu kemudian menarik kursi dan duduk persis di samping kirinya.
Sang gadis tergeragap, dan hanya bisa ber-ahh pelan.
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Ah, tidak. Suka, sukaa..”
“Padaku?” lelaki itu tersenyum mengerling
“Hah???” teriak tertahan sang gadis mau tak mau membuat beberapa wajah tertoleh. Wajah sang gadis bersemu merah, sementara lelaki itu terkikik pelan, tampak menikmati benar adegan barusan.
“Aku hanya bercanda."  gumam lelaki itu sambil terus menahan tawa. Sang gadis membuang nafas lega, yang justru kemudian menyulut tawa tak henti dari lelaki itu. Ia tak paham, dan melotot pada lelaki itu dengan tatapan heran.
“Kau tahu, menggodamu sekarang jadi hal kedua yang paling kunikmati.”
“Yang pertama?” si gadis bertanya. Dan hei, entah kenapa, tetiba lelaki itu berhenti tertawa, memandang pelan dan tersenyum lemah, lalu berkata,
“Untuk yang pertama, aku rasa akan jauh lebih baik kalau kau tak tahu.” Dan dengan itu ia beranjak bangkit, meninggalkan ruang rapat dengan tatapan tak mengerti si gadis.


Sementara, tanpa ada yang menyadari, seseorang tampak gelisah dan tak berhenti menatap sejak tadi. Sang pemuda.

Selasa, 04 November 2014

Pulang (lagi)


Hei, kamu sedang apa?
Berkemas, aku hendak pulang lusa
Pulang? Kenapa? Ada apa?
Maksudnya? Gak ada apa-apa kok
Lho, kalau gak ada apa-apa, kenapa harus pulang
.......... hening

Apakah butuh alasan khusus hanya untuk pulang?


“maka berjalanlah, agar kau tahu mengapa harus pulang”

ayam kecil

*image pinjam dari sini

Berkali-kali kau berteriak, menegaskan diri bahwa kau telah jauh lebih dewasa.
Dan setiap kali, aku menggeleng. 
Tidak, sayang, di mataku kau tetaplah anak kecil.
Lihatlah bagaimana caramu mencintai. 
Cintamu yang besar mengikat, memegang terlalu erat hingga susah walau sekedar untuk bernafas. Kau seperti anak kecil yang memiliki ayam peliharaan warna-warni. Ia mencintainya, sangat. Menggenggamnya erat-erat karena takut kehilangan. Tapi sayangnya ia belum cukup mengerti bahwa dengan menggenggam terlalu erat justru bisa membunuh si ayam kecil.
Seperti itulah kamu, sayang.

Belajarlah untuk mengendorkan. Bukan untuk melepaskan, hanya sekedar memberi ruang untuk bernafas.

Jumat, 31 Oktober 2014

27 September

2012
Seminggu menjalani pembinaan mental berkedok capacity building di markas besar kopassus, cijantung, badan masih remuk redam, pikiran masih terngiang-ngiang semua teriakan yel-yel dan lagu-lagu penggugah semangat patriotisme. Sorenya, dengan bis besar berduyun-duyun, kami kembali ke kampus, ke kosan yang kini terasa jauh lebih nyaman. Malamnya saya langsung menuju bandara, berangkat dengan penerbangan malam menuju Yogyakarta, karena esok paginya adik saya akan mengikuti wisuda kelulusan. Bapak dan Umak yang sudah berada di sana dari dua hari yang lalu, menyiapkan segala hal.

Esok paginya, bisa dipastikan suasana heboh yang terjadi. Ketika hari masih subuh, gelap, dan matahari bahkan belum bangun dengan sempurna, hiruk pikuk di daerah sekitaran jalan Bumi itu mulai terasa,  saya menyusul ke kosan adik saya dari wisma tempat kami menginap. Dan benar saja, di kosannya sudah ada beberapa teman beserta ibunya masing-masing. Ketika saya masuk, mereka sedang disibukkan dengan perdebatan dengan make up dan pilihan kosmetik lainnya, juga tentang lambang pangkat, topi, sarung tangan, serta baju seragam yang dipastikan licin tanpa kusut sama sekali (FYI, perguruan tinggi tempat adik saya menimba ilmu boleh dikata bersifat semi militer). Dan begitulah pagi dimulai, prosesi upacara hingga siang hari, makan siang di salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di kota itu, kemudian kembali ke sekitaran kampus, bersembang ramai dengan teman dan orang tua yang lain, bersiap untuk berpisah dan melanjutkan hidup di tempat berbeda-beda. Dan kira-kira seperti itulah 27 september dua tahun lalu itu saya jalani.

2013
Jumat, 27 september 2013. Salah satu hari bersejarah dan penting bagi saya, juga untuk ribuan orang lain lulusan sekolah kedinasan kami. Hari itu untuk pertama kalinya kami diperintahkan melapor ke instansi pusat penempatan masing-masing. Maka dengan langkah ragu-ragu, dengan celingak-celinguk  tak percaya diri, saya melangkah ke aula, ke lantai lima sebagaimana di instruksikan oleh security yang bertugas di lantai satu. Hari itu, untuk pertama kalinya saya bertemu dan berkumpul dengan 99 orang lainnya.  Sembilan puluh sembilan orang yang kelak menjadi keluarga baru dan pemberi warna baru dalam hidup saya. Beberapa darinya saya tahu dan kenal, tapi sebagian besar bahkan saya merasa tak pernah berpapasan muka, walau kampus kami tergolong sempit untuk ukuran perguruan tinggi. Ya, satu jurusan khusus yang memang penempatan utamanya ditempatkan di sini. Mereka, yang jumlahnya paling minoritas di kampus, hingga kata sebagian orang eksistensinya diragukan. Ketika jurusan lain berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang, jumlah mereka bahkan tak genap lima puluh orang. Terlalu besar untuk dijadikan satu kelas, terlalu kecil untuk dipisah jadi dua kelas, serba salah. Saya sendir berasal dari jurusan dengan jumlah mahasiswa terbanyak, jurusan donor kata mereka, karena bisa ditempatkan di instansi mana saja.
Hari itu kami dikumpulkan. Di beri pengarahan singkat. Dan kemudian dikelompokkan kembali berdasarkan unit penempatan eselon II. Wajah-wajah baru. Tingkah-tingkah aneh bersatu padu, genap 100 orang, hingga kemudian mendasari angkatan kami diberi nama Family 100. Dan kini, keluarga besar itu sudah tersebar, mengabdi di berbagai pelosok negeri.

 2014
Sabtu, 27 September 2014.
Hari saya dimulai dengan sebuah kejutan manis ketika membuka pintu. Otak baru bangun saya yang belum sepenuhnya sadar betul segera meraba apa gerangan isi kresek hitam yang langsung terkulai jatuh d ketika saya membuka pintu itu. Saya otomatis tersenyum, karena sesuatu berlapiskan kertas kado itu pastilah dari seseorang penghuni kamar ujung sana, dan benar, tak lama kemudian ia mampir sebentar dan mengucapkan beberapa kata selamat. Saya tersenyum, pagi ini dimulai dengan indah.
Selanjutnya saya kemudian berangkat ke agenda pekanan, bertemu beberapa sahabat yang tergabung dalam lingkaran cinta yang sama. Dan seperti biasa, agenda sabtu pagi kami dihiasi dengan banyak makanan, tawa dan tentunya berbagi ilmu hahaha. hingga ketika saatnya menutup acara, mereka lalu mengeluarkan sebuah plastik besar. Dan di dalamnya, lagi, saya dapatkan dua buah benda berlapis kertas kado. Saya terharu, berucap terima kasih dan senyum-senyum gak jelas.




Setelah sejenak mengelana di seputaran matraman demi mencari tukang jahit yang sayangnya sedang memilih untuk tidak ambil orderan, lalu main sebentar ke Gramedia dan ternyata tak menemukan apa yang saya cari, waktunya kembali ke kosan untuk berleyeh-leyeh ria. Sorenya, seorang teman berbagi rumah yang paginya baru saja kembali dari dinas di Mataram memberikan sebuah plastik kecil bertulis nama toko buku yang seringnya bertempat di beberapa bandara. Dan ternyata, isi plastik tersebut adalah tiga kartu pos manis khas Indonesia hahaha. Ah, kebahagiaan saya semakin bertambah.
Sorenya sambil mengikuti berita tentang Asian Games, kami berleyeh-leyeh bertiga di depan TV. Lalu tetiba muncul ide untuk makan malam di luar. Cari punya cari, akhirnya kami putuskan makan di sebuah kafe rumah yang tak jauh dari kosan dan masih bisa diakses dengan berjalan kaki. Rumah kafe yang kami kenal justru dari sebuah ulasan di televisi. Dan akhirnya, berangkatlah kami. Makan malam bertiga, dengan menu sapo tahu, merapi merbabu shusi, chicken roll, calamary dan onion ring. Lumayan memuaskan. Dan begitulan, 27 september indah saya berakhir.


 Senin, 29 September 2014. Rekan kerja yang weekend kemarin main ke Bandung bawa oleh-oleh (titipan sih sebenarnya haha), kartu pos khas Jawa Barat yang Indonesia sekali, dan gak tanggung-tanggung, ada 12 biji !! (saya tidak menyangka sebanyak ini, terima kasil Aul ^^). Ditambah lagi bonus perangko antik edisi Asia Afrika. Aduuuh.. membuat sempurna September ceria ini ^^

Awal Oktober 2014.
Saya baru saja memulai persahabatan pena dengan seseorang yang saya kenal dari komunitas bertukar kartu pos, seorang warga negara Jepang. Surat pertama sudah saya kirimkan sejak akhir Agustus, dan sudah diterima di awal September. Saya menanti harap-harap cemas setiap hari surat balasan yang tak kunjung tiba. Daaaan.. surat itu tiba di awal Oktober. Yang membuat saya surprise adalah Naoko-san (sahabat pena saya itu) sengaja memperlambat pengiriman surat agar bertepatan dengan hari Ulang tahun saya. Maka sebuah amplop cantik dengan susunan perangko lucu, juga kartu pos di dalamnya, memiliki cap stempel yang sama, 27 September 2014. Ah, dan saya juga dapet cake sticker hahaha.

Terima kasih,
Terima kasih banyak telah menjadi bagian dari hidupku ~~~
^^

Waspada atau Curiga ?

*gambar pinjam dari sini

(Jakarta, 09 Oktober 2014)
Kemarin itu, saya sempat panik ketika di kantor, memasang laptop dan ternyata charger atau adaptornya tidak bisa connect ke laptopnya. Saya sudah utak atik, lurus-lurusin kabel, sampe diputar-putar dengan berbagai gaya, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa si lepi menerima kehadiran chargernya. Syukurnya seorang rekan juga membawa laptop, dan rezekinya jenis chargernya sama. Akhirnya kami gantian memakai charger yang sama hingga sore.
Sorenya, sepulang kantor langsung saya niatkan untuk membeli charger laptop ke salah satu pusat perbelanjaan yang memiliki area electronic centre, langsung cari toko yang kira-kira bisa dipercaya, liat barangnya, di tes, tawar menawar, dan kemudian deal. Jadilah saya bawa pulang charger baru dan juga sebuah usb bluetooth yang memang saya cari-cari dari kemarin-kemarin tapi belum sempat beli.

Saya yang memang paling sulit mengingat arah dan dimensi ruang, sempat muter-muter dulu di lantai bawah demi mencari pintu keluar yang sama seperti yang saya gunakan untuk masuk tadi, akhirnya saya mengikuti petunjuk-petunjuk yang tertera hampir di setiap sudut atas, hingga kemudian mengikuti petunjuk ini mengantarkan saya ke blok kecil yang lumayan sepi dan agak remang, berbeda dengan blok-blok lain yang terang dan ramai penuh hiruk pikuk. Ketika saya hampir mencapai ujung lorong, sebuah tangan meraih lengan saya. Seorang mabak-mbak cantik berpakaian merah terang ala-ala SPG, dengan senyum lebar dan suara ramah ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil yang dibalut kertas kado.
“Perusahaan kami lagi promosi kak, ini kita bagi-bagi bonus dan souvenir untuk pengunjung” demikian katanya. Ketika saya nyatakan saya kan gak belanja di tokonya beliau, si mbak tadi dengan semangat menjelaskan memang mereka memberikan suvenir untuk siapa saja, bahkan pelanggan toko lain yang lewat dari depan tokonya. Saya baru mau bilang terima kasih dan berniat segera pulang ketika lengan saya ditahan dan dia ajak masuk ke dalam tokonya, di suruh duduk dan disuguhi minum. Lalu si mbak tadi mengeluarkan semacam daftar, katanya untuk pertanggung jawaban kalau suvenir yang mereka bagikan itu benar-benar diterima oleh pelanggan. Baiklah, kemudian saya tuliskan nama, daerah tempat tinggal, dan ketika tiba di nomor kontak, saya sedikit berpikir. Hmm.. saya bukan orang yang mudah memberi nomor kotaknya kepada orang lain.  Sering dapat sms berisi promo ini itu atau sms-sms aneh lain gegara pernah ngisi pulsa di counter umum lama-lama lumayan bikin sebal juga. Akhirnya saya minta maaf, dan bilang gak ngasih nomor ponsel gak apa-apa kan ya? Eh, si mbaknya mulai deh ngotot, (tapi masih dengan senyum bisnis pastinya), bilang kalau itu berhubungan dengan pekerjaan dia, berhubungan dengan karir dia. Baiklah, akhirnya saya berikan nomor ponsel saya, bukan nomor utama yang sering saya gunakan.

Ketika saya rasa semua sudah selesai dan akan beranjak ke luar, ternyata surprisenya belum selsai. Si mbak tadi pun mengeluarkan beberpa amplop kecil yang berisi kupon-kupon, katanya dari puluhan amplop itu, ada yang isinya jam tangan, kipas, atau benda-benda sejenis itulah. Dan saya di suruh milih satu. Oke, baiklah, tanpa banyak berpikir saya pilih salah satu. Kemudian dibuka oleh si mbak-nya, daaaan.. tadaaaa tulisannya adalah kupon senilai 500 ribu rupiah. Si mbak dengan mata terbelalak berulang kali menjabat tangan saya, dan kehebohannya itu kemudian mengundang beberapa rekannya (menurut saya) yang lain datang. Dalam sekejap, saya dikerubungi 4 orang yang tak henti-henti mengucapkan selamat dan memuji-muji kalau saya beruntung.
Salah seorang yang sepertinya mereka tuakan lalu duduk di depan saya, menjelaskan kalau kupon itu bisa dipakai itu bisa saya pergunakan di semua cabang toko mereka di jakarta. Untuk bisa menukarkan kupon itu, saya dimintai KTP, untuk data diri valid, katanya. Setelah memikirkan beberapa saat, saya putuskan untuk pamit saja dan tak usah mengambil kupon itu, mereka terbengong-bengong, mencoba menahan saya. Tapi karena memang hari sudah malam juga dan saya pengen segera istirahat, saya kekeuh untuk pamit saja. Mereka berempat masih terus mendesak saya, bahkan hingga ke pintu keluar. 
"Hanya butuh KTP" itu katanya. Tapi sesopan mungkin saya tolak.
Mungkin banyak yang berpikir saya sombong hahaha.
Apa saya sudah cukup kaya hingga 500 ribu tak berarti untuk saya?
Bukaaaaan
Siapa sih yang gak mau dapet barang atau uang gratisan seharga 500 ribu? Tapi ya demi mempertimbangkan ini itu saya putuskan untuk tidak mempertahankan kupon itu. Sejujurnya, saya emang bukan tipe yang ngejar-ngejar gratisan atau bonus-bonus sih :p hahaha

Beberapa pertimbangan yang membuat saya tidak jadi ambil kupon antara lain:
1.     Tokonya katanya banyak cabang di seputaran Jakarta. Tapi sama sekali gak ada plang nama toko. Gimana mau nemu cabangnya kalau nama tokonya aja gak tau?
2.     Tokonya katanya bergerak di bidang penjualan alat elektronik dan keperluan rumah tangga, laptop sama handphone juga. Tapi dari penerawangan saya, barang yang ada di dalam toko itu hanya beberapa kardus dengan gambar macam-macam, tidak ada barang fisiknya yang dipajang langsung. Dan juga, yang jelas saya ingat hanya sebuah kotak yang gambar depannya mi semacam alat korset pelangsing.
3.     Ketika pertama si mbak dengan ramah menyapa dan minta data itu saya masih fine-fine aja, tapi begitu rekannya yang lain datang dan saya berasa dikepung itu... beneran, rasanya serem banget. Di situ saya mulai berpikir ini itu, pikiran bercabang, dan insting untuk bertahan mulai muncul hahaha
4.       Ketika saya bilang mau pulang saja, ekspresi mereka itu terlihat panik, dan bahkan masih megangin tangan saya, mengikuti hingga saya sampai ke pintu keluar.
5.       Karena udah malam juga sih, jadi mikir pengen cepat istirahat hahaha

Dan  begitulah, selepas dari tempat itu, saya beristigfar. Semoga yang saya lakukan adalah langkah untuk berhati-hati, bukan penghalang untuk sampainya rezeki orang lain.


Hidup di kota yang berbagai tempat kejadian perkara kriminal terasa dekat, menjadikan insting untuk berhati-hati menjadi jauh lebih sensitif. Ketika kemudian terlalu seringnya mendengar kabar-kabar kejahatan lama kelamaan seolah membuat mati rasa, seolah itu menjadi berita biasa, dibicarakan sebentar, didiskusikan sejenak, lalu kemudian lupa sama sekali. Dan akhirnya, semakin lama, jarak antara waspada dan curiga hampir tak terlihat.

Kamis, 30 Oktober 2014

Damai yang sederhana


Sebuah pagi yang sederhana. Merapatkan jaket, menikmati segar udara Lembang. Teduh yang menyejukkan berpadu sempurna dengan kilau bulir embun. Sekuntum kamboja tergeletak di tengah hamparan hijau. Damai yang sederhana.
(Lembang, 18 Oktober 2014)

Jumat, 19 September 2014

blog dan rahasia

Suatu kali, seorang teman  pernah memergoki saya ketika akan memposting tulisan di blog. Si teman langsung berseru heran, 
“Kamu punya blog? kok gak pernah bilang-bilang? Iih.. alamatnya apa tadi?”
Tapi saya mati-matian merahasiakan, bahkan sampai sekarang.

Mungkin ada yang pernah berpikir juga kenapa saya tak pernah mengungkapkan nama asli saya atau bercerita panjang lebar secara gamblang tentang diri saya. Dan juga kenapa merahasiakan alamat blog saya sendiri kepada orang-orang lain yang dekat di sekitar saya (kecuali beberapa orang tertentu).
Tidak, bukan karena saya bermuka dua atau berusaha membuat sebuah persona baru. Hanya saja, saya takut jadi tak lepas mengungkapkan sesuatu dan harus mempertimbangkan banyak hal sebelum menulis sesuatu.

Kenapa? Karena pastinya lebih banyak orang yang membaca blog ini, akan semakin banyak hati yang harus kita jaga.  Misalkan, bisa jadi pembicaraan tentang topik X terkesan seakan menyindir si A, padahal saya sedang membicarakan tokoh lain, atau saya sedang memuji si B, lalu si C merasa tak senang karena menganggap si B adalah  musuh abadinya, atau hal-hal lain semacam itu.

Mungkin saya terdengar terlalu kekanakan, atau mungkin pengecut? Hahaha. Entahlah.
Setidaknya saya menikmati saat-saat seperti ini, ketika saya bisa menulis tentang apa yang saya ingin sampaikan, sering kali berkeluh tentang pengalaman penat hari ini, atau hal-hal lain yang bagi sebagian orang selain saya tentunya dianggap tak penting.

Karena pada dasarnya, saya membuat blog ini memang untuk bermonolog ria, atau mungkin berdialog dengan diri saya yang lain hahaha (semakin tidak jelas).


Intinya, well, saya cinta dan rindu blog ini. Walau tanpa komen pembaca, walau tanpa statisk pengunjung ^^
Seringkali kita baru menyadari keistimewaan sesuatu setelah ia berada jauh dari genggaman, padahal  sebelumnya keberadaannya dianggap yang normal, lumrah dan memang seharusnya. Lupa, bahwa bahkan hal yang kita anggap biasa itu adalah nikmat yang besar yang tak kita sadari. 

Kesehatan.


#di tengah batuk yang begitu betah bertahan, dua minggu lebih menemani. Insya Allah sudah berusaha, berbagai pendapat dan saran juga sudah dijalankan. Madu rutin, habbatussauda, sirup obat batuk, jeruk nipis dan kecap, permen pelega tenggorokan. Tapi sepertinya batuk ini cukup ampuh. 
Ada ide lain?

Kamis, 18 September 2014

Kartu pos

Seperti  yang sejak dulu saya dengung-dengungkan, kecintaan saya akan surat dan segala hal tentangnya masih tak padam, makin bertambah malah.
Nah, beruntung sekali ketika beberapa bulan lalu nge-blog walking ke salah satu blog seorang mbak yang merupakan kontak blogger dari seorang mas temennya kakak kelas yang merupakan temennya kak kos saya (bingung kan? jadi, kak kos saya punya teman, temannya punya teman yang lain, nah si temen yang lain ini punya blog, salah satu kontak blognya itu si mbak yang saya maksudkan. Paham? begitulah pokoknya). Intinya, tiba2 saja saya terdampar di blog tersebut. Dan di blog itu mereka ramai berbicara tentang satu hal. Kartu pos.

Waaaaw.. saya sudah excited duluan selama membaca posting dan berbagai komen tentang kartu pos ini. Jadi ternyata, saya baru tau kalau ada komunitas yang kembali menghidupkan seni saling berkirim kartu pos. Jargon dari komunitas tersebut adalah, “send a postcard and recieve a postcard back from a random person in the world!”

Jadi, komunitas ini tuh global, lintas negara, dan membayangkan kemungkinan mendapat kiriman kartu pos dari seseorang entah siapa di negara antah berantah itu membuat saya tertarik, excited tak terkira. Akhirnya hari itu juga saya daftar  jadi member, langsung nyari tau segala hal tentang kartu pos, dan nyari info tempat membeli kartu pos di Jakarta. Dan ternyataaaa infonya berserakan di internet, banyaak sekali komunitas pecinta kartu pos ini di Indonesia, bahkan yang khusus hanya untuk sesama Indonesia pun ada. Weewww kemana saja saya selama ini?

And then, Let's start this postcrossing thing !! Saya mulai mengirim kartu pos, dan deg-degan menanti notifikasi bahwa kartu pos saya sudah diterima dengan selamat kepada orang yang dituju.

Kalau ada yang bertanya,
"Apa asyiknya mengirim kartu pos di zaman canggih yang bahkan menghubungi seseorang di Amerika dengan jarak belasan ribu km bisa dilakukan sepersekian detik lewat surat elektronik?" 
Memang, mengirim kartu pos itu pasti memakan waktu lama, belum kemungkinan kartu posnya keselip, atau bahkan salah kirim ke negara lain. Tapi, justru di situ seninya. Masa-masa menunggu sambil harap-harap cemas kartu pos yang kita kirimkan akan sampai dan diterima orang yang dituju itu punya sensasi sendiri. Belum lagi, setiap malam ketika pulang kantor, sesekali bertanya ke ibu kos ada surat atau kartu pos yang dikirim ke kosan atau tidak? Ah, setidaknya itu salah satu penawar kepenatan.

Seperti kemarin, setelah seharian sibuk di kantor, sesampainya di kosan, saya dapat kejutan ketika sebuah kartu pos dialamatkan untuk saya. Dari Lauren, seseorang nun jauh di Illinois sana, sebuah desa pertanian di sekitar Chicago yang bercerita tentang daerahnya yang tenang, dimana sungai Missisipi mengalir indah, dan pemandangan burung yang silih berganti terjun ke sungai untuk mencari ikan adalah sesuatu yang biasa. Dan sebentar lagi, akan ada panen pumpkin dan squash. Membaca postcard itu mau tak mau membuat saya tersenyum. Saya tak kenal dengan Lauren, belum pernah ke luar negeri, apalagi tempat sejauh Chicago, tapi mendapat kiriman kartu pos dengan cerita seperti itu, entah mengapa rasanya saya merasa dekat, dekat sekali.

*postcard dari Lauren, entah mengapa saya jauh lebih tertarik dengan sisi Tulisan dibanding gambarnya hehehe

Sejauh ini, saya sudah mengirimkan delapan kartu pos. Tiga diantaranya sudah resmi diterima dan sampai di tangan si yang dituju, Jerman, Taiwan dan China. Sementara kartu pos yang di alamatkan ke Belarus, Canda, US, Jerman dan Rusia masih dalam perjalanan.

Beberapa kartu pos yang saya kirimkan :

*postcard untuk Diana, Jerman

 *postcard untuk Tanya, Belarus

 *postcard untuk Yi Ting, Taiwan

 *postcard untuk Olya, Rusia

*postcard untuk MIke, US

Sedangkan kartu pos resmi yang saya terima berdasarkan sistem, baru satu, dari Lauren di Illinois, Chigago. Yang tidak resmi atau direct swap ada 2, dari Mbak Tintin di Bandung, dan Dinda di Semarang.

saya merasa menemukan mainan baru, stress release yang menyenangkan. Dan entah mengapa akhir-akhir ini saya jadi tertarik membuatkan mailbox khusus untuk dipajang di pagar depan kosan hehehe


Bagi yang ingin tahu lebih banyak atau tertarik bergabung, silahkan intip-intip di postcrossing.com ^^
Share the happiness, send and recieve a postcard to and from a random people in the world. 
Happy postcrossing !!

Senin, 11 Agustus 2014

hujan

"Some people feel the rain. The other just get wet"

Baru saja sorenya saya membaca kalimat itu di blog seseorang (maaf, saya benar-benar lupa blog siapa yg mencantumkan kalimat itu -,-"), dan sorenya, Jakarta diberkahi dengan hujan yang menderas, tumpah tanpa malu-malu.

*gambar pinjam dari sini

Sekeluarnya dari kantor, saya segera menuju ke persimpangan tempat saya biasa menunggu metromini yang membawa saya ke kosan. Tak sengaja bertemu dengan sahabat yang juga teman kos saya. Kami bercakap sejenak, dan tak terasa, tetes-tetes gerimis sebesar jagung berjatuhan. Saya yang tak membawa payung panik, bukan karena takut basah, tapi di tas saya penuh benda-benda elektronik semacam laptop, modem, dan ponsel yang sensitif terhadap air. Untungnya si kawan membawa payung, jadilah kami berpayung berdua dengan romantisnya sementara hujan turun deras tercurah.
Turun dari metromini, bukannya mereda, limpahan air itu justru semakin banyak, langit dengan murah hati menghadiahkan air tak habis-habis untuk bumi. Dan kami sampai di kosan tertawa-tawa, dalam keadaan basah sebasah-basahnya, sampai ke dalam-dalam. Laptop saya juga basah, untungnya saya dobel dengan tas notebook, sehingga walau tasnya basah tapi laptopnya masih bisa dinyalakan.

Saya suka hujan, sebenarnya. Hanya, kalau jiwa egois saya boleh memilih,
Tuhan, saya meminta hujannya sore hari saja ya, karena sampai di kantor pagi hari dengan basah kuyup itu bisa merusak banyak hal ^^

Kamis, 07 Agustus 2014

Sore yang sedikit temaram di meja pojokan tempat saya duduk. 
Hampir  empat bulan di tempat ini, baru kali ini sore terasa seindah ini. Ketika matahari berwarna jingga dan memantulkan cahaya lembut tetapi tegas lewat kisi-kisi jendela kaca.
Senang melihat separuh meja saya bersinar, dan separuhnya lagi tertutup bayangan.
Di depan sana, kubah Istiqlal tampak indah dan misterius. Seperti gambar-gambar indah kota Venice yang pernah terlihat di sebuah kartu pos.

Satu hal yang sangat saya sesalkan saat ini adalah tak punya kamera, dan ponsel tertinggal di kosan. Tak bisa mengabadikan momen yang menurut saya langka ini.

Lupa

Aku takut lupa.
Mungkin sekarang masih bisa dengan mudah mengingat wajah-wajah. Masih bisa dengan mudah merapal nama-nama. Tapi otak juga punya kapasitas. Ketika intensitas bertemu tak sebanyak dulu, mungkin sedikit demi sedikit prioritas tergeser. Dan bisa jadi, akan ada waktu, dimana bahkan untuk memanggil nama pun aku harus berpikir dalam, mencoba mencari di ruang mana ingatan itu tersimpan.
Sungguh, betapa aku takut suatu saat akan lupa.


Kalian, adakah pernah berpikir seperti itu?

hujan di awal Agustus, sebuah pemadangan dari jendela 
di rumah Paman, @Bukittinggi

Jumat, 18 Juli 2014

Indah dikenang, Tak ingin diulang {2}

Lanjut dari cerita sebelumnya ~~

Selesai acara fisik-fisikan, saatnya mulai masuk kelas dan pendidikan di kelas. Nah, disini lah mulai tampak segala kekompakan dan jiwa korsa yang tertanam, soalnya kita udah dikumpulkan bareng teman-teman sekelas. Sembilan belas jam bersama, kemana-mana harus bareng, gak boleh ada yang mencar atau jalan sendiri. Dari barak menuju kelas, baris dulu, rapi, baru lari dan harus nyanyi selama proses moving !! Istirahat siang, mau sholat ke mesjid, baris lagi, rapi, lari lagi, nyanyi lagi, mau ke toilet, juga gak boleh sendiri, minimal berdua, baris sejajar, lari dan nyanyi (-_-)”. Bahkan mau makan dari barak ke ruang makan juga mesti baris dulu, mesti lengkap dulu baru boleh berangkat, padahal ya jarak barak sama ruang makan cuma sepelemparan batu doang, pas lari, nyanyi, itu baru nyampe baris kedua lirik udah nyampe hahaha. Tapi itu jadi benar-benar ngajarin untuk kompak, untuk saling mengingatkan biar gak lelet-lelet, untuk bisa mengajarkan kita perhatian, siapa yang masih belum hadir, kenapa? Dimana? Ya.. walaupun seringnya yang telat ya itu-itu juga orangnya. Dan lebih mengherankan lagi, yang telat itu cowok. Padahal secara logika, cewek dimana-mana juga lebih ribet. Apalagi pada pake jilbab, make rok dulu, jilbabnya didouble dulu, pake peniti dulu. Lah cowok? Mau sisiran juga rambutnya pada gak ada kan? L

Nah, itu cerita secara garis besar, ada baiknya untuk kita rinci lebih detail lagi, biar kelak kalau lagi dongkol ingat kerjaan, baca ini semoga bisa menerbitkan senyum lagi.

Pukul 03.00
Kehidupan kami bermula saat ayam bahkan belum bangun. Maklum, berhubung diklatnya berbarengan dengan Ramadhan, berbeda dengan teman-teman gelombang sebelumnya, kami memulai hari dengan sahur dulu untuk yang berpuasa. Jam 02.45, teriakan ‘yoayoayoayo’ khas senat (pemimpin peserta prajab, ketua angkatan) pun sudah membahana, mengganggu tidur nyenyak yang dirasa baru sesaat, lengkap dengan lengkingan peluit yang (kalau kata teman saya) kayaknya usianya udah tahunan. Muka-muka ngantuk bermunculan di halaman depan, otak bawah sadar sudah paham memposisikan diri di barisan kelasnya masing-masing, meski sebagian besar mata masih merem dan menyempatkan tidur sejenak sambil berdiri sembari menunggu semuanya lengkap. Baris, hitung, lengkap, berangkat menuju ke ruang makan (jangan lupa, lari dan nyanyi !). Sampai di depan ruang makan, barisan di bubarkan, pas mau masuk, jangan lupa hormat sama teriak “Izin masuk !”. Setelah itu langsung deh buat antrian ngambil nasi masing-masing. Ngambil nasinya sih bebas sesuai keinginan, tapi masalahnya adalah semua yang terhidang harus habis L. Jadilah yang sering jadi korban itu teman-teman cowok yang berjiwa ksatria :P. Seringnya mereka makan dengan nasi menggunung yang bahkan siapa pun yang ngeliat bisa mual. Kasian sih, makanya pada akhirnya lebih milih ngambil nasi banyak, soal habis atau tidak urusan nanti, pokoknya yang ada di stall habis dulu, kasian kalau mereka yang jadi korban terus. 
Terkait acara makan ini, beberapa teman sampe dapat julukan “tim pembersih” karena biasanya mereka yang jadi muara semua tumpukan nasih dan lauk yang tersisa. Lauknya gak cuma satu, tapi banyaaaaak. Sebenarnya agak merasa gimana ketika ayam goreng, daging rendang, dan sepotong ikan utuh bersatu dalam piring yang sama, berasa boros banget L hhh...

Sahur dimulai, doa dulu, teriak izin makan yang keras baru deh makan. Kalau ada pelatih biasanya makannya diwaktuin, kalau pelatihnya gak ada, curi-curi, senatnya berusaha ngasih waktu lebih longgar :p. Selesai sahur, doa, izin keluar dari ruangan, baris lagi terus lari ke barak. Ada yang belajar untuk persiapan diklat di kelas, ada yang mandi dulu, tapi 99 persennya tidur lagi hahaha.
Pukul 04.45 semua udah dibangunin lagi, persiapan sholat shubuh. Begitu adzan, langsung sholat,  selesai sholat langsung baris lagi depan asrama karena 05.15 pelatih sudah siaga di lapangan, siap untuk senam pagi.

Senam pagi mulai, rentangkan tangan dulu. Pemanasan, loncat-loncat di tempat. Kalau yang ngambil senam pelatih “Srtn” maka lari pagi ditiadakan (tapi diganti malamnya, sama aja L), tapi kalau yang ngambil senam pelatih yang lain, kita lari pagi dulu, ngitarin jalur luar, dari lapangan, ke arah ruang makan, ke arah barak, ke aula depan, terus balik lagi ke lapangan. Lari  hari pertama dan kedua cuma satu kali keliling, makin hari makin meningkat sampe hari terakhir empat kali keliling lapangan (karena kita diklatnya puasa. Teman-teman gelombang sebelumnya sampai tujuh kali katanya). Selasai lari, balik lapangan lagi. Atur nafas, pendinginan sedikit, terus tiarap. Push up dulu, habis itu guling kanan sekali, ambil sikap sit up. Habis itu sikap lilin, angkat kaki sembilan puluh derajat, tahan sekian detik, turun 45 derajat, tahan sekian detik, turun tiga puluh derajat, tahan sekian detik, turun 15 derajat, tahan sekian detik.. makin rendah derajatnya, makin susah dilakukan, makin banyak rintihan terdengar hahaha. Kalau tadi cuma ditahan, sekarang naik lagi, 90 derajat, buka tutup 20 kali hitungan, hitungan taktis (1,2,3,1 )(1,2,3,2) ... (1,2,3, 20), habis itu turun 450, lalu 300 dan terakhir 150. Selesai buka tutup, kakinya naik lagi, sekarang gerakan atas bawah kayak ngayuh sepeda, mulai dari 900, 450, 300, sampe 150 derajat.

Push up udah, sit up udah, sikap lilin udah, sekarang sikap cobra. Badan telungkup, tangan di belakang leher, angkat kepala, kaki dan badan setinggi mungkin sampe yang nyentuh tanah cuma perut. Nah selesai acara telantang dan telungkup, berdiri lagi. Pendingingan utama, tarik nafas dan buang. Akhirnya senam pagi usai juga.

Selanjutnya persiapan apel pagi dan pengibaran bendera. Masing-masing ketua kelas laporan yang hadir di tempat berapa orang, lengap atau tidak, kalau kurang alasannya apa, siapa, dimana, kondisinya. Acara senam sama apel pagi ini selesai kira2 sampai pukul 07.05, habis itu lari lagi ke barak pembersihan secepat mungkin karena 07.20 sudah baris lagi depan asrama, sementara itu teman-teman yang gak puasa makan pagi (kasian sebenarnya, mereka waktu pembersihannya mepet banget karena dipotong makan pagi dulu, tapi mungkin imbang lah ya, kan mereka gak ikut sahur tadi).

07.20 setelah pembersihan (mandi dan beres2) ekstra singkat, kumpul lagi depan barak, bersiap berangkat ke kelas. Jangan sampai pengajar datang duluan, alamat bakal ditindak satu angkatan kalau ada kelas yang telat (tindakan adalah pengganti kata hukuman dalam diklat ini). Nah  masa baris pagi ini banyak kejadian hectic dan lucu pasti terjadi. Teriakan kumpul, peluit, dan seruan “yoayoayoayo” senat pasti bikin semua orang panik, jadilah yang penting keluar dulu, rapih-rapihnya di barisan hahaha. Sampe di barisan banyak yang dasinya masih tergantung, kancing baju atas belum sempurna, pake kaus kaki baru sebelah, yang pake jilbab baru peniti di dagu doang, bross sama peniti2 lainnya di pegang di tangan. Di acara baris pagi ini, pasti ada seorang teman sekelas yang selalu terakhir kumpul, sampe-sampe harus kita teriakin tiap pagi, kamarnya di lantai dua, dan seringnya dia masih sempat melongok keluar pas diteriakin, hadeeeeeh.. tapi berhubung orangnya lucu sih, mau dongkol juga pasti gak jadi hahaha.

Paling telat 07.28 udah berangkat dari barak menuju kelas, sampe di kelas langsung ngidupin AC, siap-siapin persiapan ajar, nyediain flipchart, segala macem spidol dan stiker2, nyalain laptop dan proyektor, lalu duduk manis nunggu pengajar (seringnya nyiap-nyiapin pas pengajarnya udah ada sih ;p). Pukul 07.30 kelas dimulai. Diawali  dengan laporan ketua kelas kepada pengajar, doa dan yel-yel.

Pukul 12.15 waktunya istirahat siang. Baris lagi di luar kelas lalu berangkat menuju barak (inget, lari sambil nyanyi !). Oh iya, jangan lupa hormat pohon mangga !! Hahaha. Jadi ceritannya, karena masa diklat di kelas kan pelatih gak mengawasi kita secara langsung, jadi penggantinya tiap kita melewati pohon mangga yang ada di sebelah asrama kanan, kita harus menganggap pohon tsb seperti pelatih, harus izin, hormat sama ngucapin “Selamat pagi/siang/sore/malam, pohon mangga”.  Absurd dan agak aneh memang tapi jadinya lucu hahaha. Sampai di barak, barisan bubar, yang cewek sholat di barak, yang cowok sholat di mesjid, yang gak puasa makan siang.

Pukul 12.45 Kelas dimulai lagi. Pendidikan di kelas selesai jam 17.30 (dijeda 15 menit pukul 15.15 untuk sholat ashar).

Pukul 17.30 selesai kelas, langsung baris depan ruangan, berangkat menuju barak, ganti pakaian batik, habis itu langsung baris lagi, persiapan menuju ruang makan untuk berbuka puasa bagi yang puasa. Yang gak puasa bisa istirahat panjang sampai selesai tarawih. 17.50 berbuka puasa dengan tiga butir kurma, satu botol air mineral 600 ml, satu gelas kecil air kelapa, satu gelas plastik kecil kolak , dan terkadang kalau ada rezeki dapat jarahan gorengan hahaha. Selesai berbuka kembali ke barak, sholat maghrib dan persiapan Isya dan tarawih. Makannya kapan?? Nanti, habis tarawih T.T
Tarawih berjama’ah di mesjid, yang jadi imam gantian antara teman-teman yang cowok. Tarawih delapan rakaat ditambah witir tiga rakaat. Selesai tarawih, langsung kumpul lagi. Baris di depan barak kira-kira pukul 20.10 lalu berangkat menuju ruang makan. Nah, kalau pas sahur makannya pada tersiksa semua, pas makan malam biasanya pada habis, walau nasi yang disediakan menggunung (pada kelaparan semua hahaha).

Pukul 20.45
Selesai makan malam, persiapan untuk apel malam. Terkadang di aula, lebih seringnya di lapangan. Cek kelengkapan anggota, laporan ketua kelas, nasehat ini itu dari pelatih, info ini itu dari penyelenggara. Tapi kalau pagi atau siangnya ada yang berulah, ada yang telat, atau kita kumpulnya telat, jalan jongkok dulu lah keliling lapangan, push up-push up dulu lah lima puluhan kali.
Tapi yang paling high light itu pas minggu kedua diklat, ketika salah seorang teman (kebetulan dari kelas saya) kedapatan buka ponsel di depan pengajar L. Pengajar yg lain mungkin bersikap biasa aja atau setidaknya menegur sambil lalu, tapi kebetulan pengajar yang masuk kelas waktu itu pengajar yang memang memiliki basic menwa atau militer-militer gitu. Jadilah malamnya kita dapat paket lengkap. Merayap dulu di lapangan yang becek sisa hujan, merangkak dulu ngitarin lapangan, jalan jongkok dulu kelilingin lapangan, untuk yang cowok tambah guling-guling, ketika yg cowok guling-guling, yang cewek disuruh hormat, dan gak boleh turun tangannya (pegeeeeeeel). Dan yang pasti itu semua dengan kondisi rapi jali, cewek kebanyakan pake rok, batik cantik dan elegan, sepatu pantofel hitam mengkilat. Dan pada akhirnya semua batik yang dipakai malam itu sepertinya harus dimuseumkan, karena udah gak berbentuk lagi L

Pukul 22.15
Selesai apel malam, kita ke ruang kelas A dan kelas B, untuk makan snack malam. Snack malam biasanya terdiri dari tiga jenis, ubi-ubian, jagung, atau pisang goreng; kacang-kacangan sejenis sukro; sama keripik singkok. Ditambah segelas teh hangat. Selesai makan snack malam, akhirnyaaaaa.. bisa bertemu dengan kasur. Walau pada kenyataannya pada bisa tidur biasanya pukul 00.00. Terkadang apel malamnya selesai lamaaaa bgt, atau ada pemeriksaan kerapian kamar, atau ada yang memilih untuk mandi dan bebersih dulu.

Dan begitulah, mari kita tidur, karena besok siklus yang sama akan terulang kembali. :D

Selasa, 15 Juli 2014

Indah dikenang, Tak ingin diulang {1}

Halo.. kemana saja saya? Hahaha iya, baru sadar kalau tak pulang ke “rumah sendiri’ udah hampir satu setengah bulan. Entah kenapa akhir2 ini memang sedang sedikit tak berselera berlama-lama di dunia maya. Tapi tiga minggu kemarin memang saya sama sekali tak punya kesempatan untuk  buka laptop (lah gimana mau buka, bawa  aja gak).

Jadi ceritanya tiga minggu kemarin saya mengikuti sebuah pelatihan, pelatihan wajib yang pasti pernah diikuti oleh siapa pun yang berstatus abdi negara. Sebut saja namanya prajabatan #namanya memang itu.

Tiga minggu kemarin kita disolasi dari dunia luar, tempatnya gak jauh-jauh juga sih, cuma di jakarta timur, tapi memang daerahnya lumayan sepi dan jarang dilewati hahaha. Tidak ada angkutan umum yang lewat. Kemarin pas mau pulang itu jadilah semua pada nelpon taksi dan rombongan taksi pun berduyun-duyun antri untuk menjemput kami satu per satu.
Apa yang saya dapat selama tiga minggu kemarin?
Banyak.. teman baru, pelatihan kedisiplinan, metode belajar dan pembelajaran yang seru, berbagai games menarik yang bahkan saya catet, berniat mengaplikasikannya suatu saat. Dan satu hal yang pasti dirasakan semua peserta, pegel !!! Hahahaha

Jadi, selama tiga minggu itu itu diisi dengan kegiatan belajar di kelas dan bela negara. Nah, yang terberat itu sebenarnya yang bagian bela negaranya. Kita gak disuruh angkat senapan sih, gak disuruh berperang untuk lawan Malaysia juga, cuma hal-hal ringan semacam “guling-guling di lapangan, rayap-rayap di rumput, ngerangkak di  tanah berpasir, jalan jongkok tak henti-henti, lari-lari gak jelas, jungkir-jungkir ke sana kemari. “Ringan” memang kedengarannya, tapi lumayan juga waktu dijalanin hehehhe. Dari semua yang disebutkan itu masing- masing agenda punya keistimewaannya sendiri.
·         Guling. Disuruh guling, ya udah glundung kesana kemari. Masalahnya, pas guling itu  kemampuan kita untuk menebak arah entah kenapa tiba-tiba menghilang. Jadilah yang awalnya berbaris rapi pas disuruh guling dari tepi lapangan ke ujung satunya, hasilnya udah pada kemana-mana, ada yang bisa guling lurus, ada yang nyasar ke sisi lain, ada yang gulingnya udah bentuk kurva, sampe ada yang nyungsep mencium sepatu pelatih hahaha. Dan bonusnya lagi nih, hasil guling-guling ini karena buta orientasi bikin kepala lumayan pusing, jadilah di sana-sini terdapat onggokan hasil perjuangan banyak orang (maaf, m#ntahan). Dan karena kita gulingnya gak cuma sekali, tapi berpuluh-puluh kali, maka jadilah itu udah tak terpikirkan lagi, udah dilewatin, udah dilindasin, udah segala macamlah berbaur dengan tubuh (kok ceritanya jadi agak menjijikkan gini ya?). Begitulah acara guling-guling yang jadi high-light diklat ini.
·         Selanjutnya adalah merayap. Nah, kalau guling kita tinggal nge-glundung saja, kalau merayap ini butuh lebih banyak effort, pasalnya kita harus membawa beban tubuh berpangku di kekuatan lengan bawah. Susaaaah. Syukurnya pas awal-awal diajarin triknya sama teman yang dari Bea Cukai, jadi kalau ngerayap itu kakinya dipake, bertumpunya di ujung kaki untuk  ngedorong badan, jadilah ngerayapnya gak terlalu berat.
·         Nah, ada ngerayap normal, ada juga ngerayap punggung. Kalau ngerayap normal, kita posisi awalnya tengkurap atau tiarap, kalau ngerayap punggung, kita posisi awalnya telentang. Untuk ngerayap punggung ini lebih baik kalau mengandalkan kekuatan punggung bagian atas sama telapak kaki buat ngedorong, bisa juga sih pake lengan tapi jadinya lebih berat, mending pake punggung aja.
·         Setelah berkotor-kotor ngerayap, saatnya kita sedikit berpisah dengan bumi hahaha, maksudnya gak semua badan nempel di tanah lagi. Agenda berikutnya adalah merangkak. Merangkak gak susah sih, karena pada dasarnya semuanya pasti pernah merangkak pas dulu zaman belajar jalan. Yang susah itu adalah merangkak di lintasan yang tanahnya keras atau ada pasirnya T_T. Mak, itu lututnya sakiiiiit. ketika merangkaknya di rumput , semuanya pasti lancar, nyanyinya pada keras, begitu masuk lintasan tanah keras sama pasir, semua nyanyian berubah jadi teriakan “aduh” hahaha.
·         Guling, rayap, merangkak udah, berikutnya adalah jungkir. Pada ngerti jungkir kan? Jadi itu kayak kita posisi setengah berdiri, terus badannya dilemparin ke depan sambil ditekuk (catatan: kepala jangan sampe kena tanah, berbahaya). Cuma untungnya pas diklat kemarin yang boleh jungkir cuma cowok, cewek gak dibolehin hehehe takut kenapa-napa sepertinya karena mungkin cewek gak tau triknya.
·         Satu hal yang jadi langganan dan mungkin tindakan paling memungkinkan dilaksanakan dalam semua kondisi, terbebas dari kita pakaian dinas, batik atau putih hitam, adalah jalan jongkok. Kalau tindakan lain semacam guling, rayap, merangkak, itu mungkin agak gak tega dilaksanakan pas siang hari dengan pakaian rapih pas di kelas, nah jalan jongkok ini bisa terjadi kapan pun. Dibalik semua kesimpelannya itu, sayangnya jalan jongkok ini yang menyisakan after effect yang paling tinggi. Kalau abis guling2 paling pusing bentar, abis merangkak paling lututnya perih sejenak, tapi jalan jongkok, pegal betis dan paha dua hari gak hilang-hilang T.T
·      Dari semua jenis tindakan itu, ada satu tindakan yang bagi orang lain paling mudah dilaksanakan, tapi bagi saya itu yang paling menyiksa. Dan itu adalah lari L. Paling simpel emang, dan gak butuh trik-trik khusus, tapi, tapi paling menguras energi.
Dan yang paling gak tahan itu adalah pas tiga hari pertama, setiap disuruh kumpul, pasti dikerjain dulu, begitu kita sampe di lapangan, disuruh balik lagi barak dalam hitungan sepuluh semuanya sudah masuk barak, sepatu dilepas. Baru sampe pintu kamar, peluit bunyi lagi, harus udah dilapangan dalam hitungan sepuluh, begitu terus bolak balik sampai puluhan kali. Nah, pas bagian ini nih, di hari pertama saya hampir gak sanggup, sempat sesak nafas, disuruh istirahat sebentar (beneran sebentar doang, lima menit berikutnya disuruh ikut lari-lari lagi T.T).


Kegiatan fisik yang beneran bikin kaget tubuh, apalagi yang jarang olahraga seperti saya. Tapi dibalik semua keluh dan, jengkel, dan kedongkolan hati, sebenarnya merasa juga kalau badan jadi lebih ringan dan tidur lebih nyenyak (walau gak mau ngaku hahaha).

Ini sedikit cerita dari tiga minggu mengesankan yang saya lewati. part selanjutnya akan segera terbit ^^

Jumat, 06 Juni 2014

Pengabdian #3

Menyambung kisah sebelumnya. Awal minggu ini, pemberangkatan kedua pun terlaksana. Maka melangkahlah mereka, rombongan kedua yang akan menjadi anak bangsa yang mengabdi walau mungkin awalnya tak seikhlas hati. Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera bagian tengah. Beberapa saat setelah menjejak, berbagai laporan pun berdatangan.
“Wah, disini hebat, ada pejabat yang tidak punya pegawai” – Banda Aceh
“Oh, begini toh kantor daerah, seruu” – Pare-Pare
“Kalau liat aktivitas dan pergerakan komentar di grup, keliatan banget mana yang anak pusat mana yang daerah” – Pematang Siantar [pada siang hari atau jam kerja, kalau banyak pergerakan di grup angkatan, hampir dipastikan itu berasal dari penempatan daerah :D]
“Eh, Pekanbaru panas euy” – Pekanbaru (yang mengabdi disini berasal dari bandung :D)
“Wah, Medan gak beda jauh sama Semarang ternyata” -Medan
“Kalian masih sibuk nyari voucher karaoke gratisan? Sini aku traktir, lima jam. Sejamnya karaoke sebelasan ribu hahaha” -Dumai
“Bingung mau ikut WIB/WITA ” - Palangkaraya
“Wah, nanti gak terlalu begadang dong untuk nonton piala dunia, disini mainnya kan pas jam lima pagi.” - Sorong
“Demi apa ini, baru dua hari di kantor, dan gue didaulat jadi bendahara pengeluaran ” –Batam
“Alhamdulillah, duit pindah bisa buat beli ayam bakar” –Lhoksumawe 1
“Bakar ayam sekandang-kandangnya” –Lhoksumawe 2
 
*random googling

Banyak cerita lain, bertaburan komentar lucu, tak sedikit kisah pahit. Apa pun itu, kita memulai langkah dari tempat yang berbeda. Pasti, pasti akan ada kalanya langkah kita berpapasan di suatu tempat kelak.


Selamat berkarya, senang memiliki banyak keluarga di seluruh penjuru negeri.

Sabtu, 17 Mei 2014

pengabdian #2

Sudah semenjak minggu yang lalu, pemberangkatan pertama telah dilaksanakan. Teman-teman yang mendapat rezeki untuk memulai pengabdian dari pelosok timur dan ujung barat Indonesia telah berangkat. Membaktikan diri pada ibu pertiwi. Meninggalkan janji-janji manis hedonitas ibu kota dan segala ke-mentereng-an mall-mall kota besar. Terlewat satu minggu, tapi sungguh semua yg mereka telah jalani menerbitkan seberkas cemburu di hati.

Minggu, 11 mei 2014.
Rombongan yang pertama melapor ke grup angkatan adalah mereka, teman-teman yang membaktikan diri di tanah Papua. Foto pertama yang mereka posting adalah sebuah bangunan bertuliskan “Bandar Udara Sentani Jayapura”.
Yap, rombongan pertama sudah menyentuhkan kaki mereka ke tanah harapan, bentangan daratan penuh limpahan kekayaan ibu pertiwi. Mereka, dengan muka hitam gosong sisa-sisa pelatihan militer dan kepala nyaris plontos dengan rambut yang baru tumbuh di sana-sini tampak tersenyum, memamerkan deretan gigi yang kontras dengan kondisi wajah hahaha. Tapi sungguh, di senyum-senyum itu tak kulihat penyesalan, hanya senyum bahagia dan senyum tertantang akan tempat baru.
Beberapa jam setelah itu, ponsel terus berbunyi, ternyata laporan mereka tak sampai di situ. Belasan foto mereka lampirkan. Seolah menenangkan kami agar tak resah, tanah Papua tidaklah seekstrem kabar burung yang sering terbang terbawa angin.

Mereka bercerita tentang rumah kos yang terletak di pertengahan bukit kecil yang berhadapan dengan laut. Buka pintu rumah, maka yang terlihat adalah garis pantai yang bersih. Dan sungguh satu yang paling membuat iri adalah ketika malamnya mereka melampirkan foto sunset pertama di tanah timur. Empat orang duduk di tepi pantai, dengan gitar dan kepulan asap dari mie instant, nun di belakang sana, menjadi latar foto adalah semburat jingga kemerahan yang bertemu dengan garis lurus air laut. Ah.. siapa yang tidak ikut tersenyum menyaksikan hal ini?

Laporan kedua datang dari tanah rencong. Bumi serambi Mekkah yang diberkati (insya Allah). Wajah-wajah tersenyum tampak di sana-sini. Dan laporan lucu dari makhluk-makhluk galau ini pun datang bertubi-tubi. 
“Gimana dong? Disini nyaman, aku takut betah di sini T.T. cewek-ceweknya cantik-cantik pula :3”. Seperti yang saya bilang, entah mengapa makhluk-makhluk galau ini dikumpulkan di satu tempat hahaha

Selanjutnya ada laporan dari Biak. Tak banyak foto, tapi dari ramainya kicauan dan keriangan mereka menanggapi berbagai pertanyaan setidaknya memberi kesan bahwa mereka mulai menikmati berada di tempat itu.
“Biak abrasi”
“Biak selesai dikelilingi dalam satu jam”
“di Biak ada bola naga ke-sembilan”
“Biak itu pulau kura-kura raksasa son goku”
Hahaha dan segala macam celoteh aneh tapi lucu bermunculan.

Ambon pun memberi kabar. Karena relatif minoritas, ikatan muslim di sini kuat, katanya. Sentimen agama masih terlihat, walau tidak ditampakkan secara nyata. Tapi semua masih dalam tahap menyenangkan. Indonesia itu luas, begitu katanya.
Sorong dan Ternate saya belum tahu seperti apa perkembangannya.


Sekarang menantikan pemberangkatan kedua dilepas. Kalimantan, Sumatera bagian tengah, dan Kepulauan Nusa Tenggara segera menyusul. Tak sabar seperti apa cerita tentang Indonesia di tanah lain.

#Baktiku padamu, Negeri

*foto-foto insya Allah menyusul

Rabu, 14 Mei 2014

"Bila anda di gaji 10 juta oleh perusahaan, namun anda bekerja seperti bergaji 20 juta, maka Allah akan membayar lebihnya dengan kesehatan, keluarga yang bahagia/sejahtera, dan semisalnya. Namun bila anda bekerja seperti orang bergaji 5 juta, maka Allah akan menuntut sisanya dengan memberimu kesusahan, hutang, kesempitan dan semisalnya. Jadi, bekerjalah maksimal. Ikhlaslah. Dan perhatikan apa yang Allah perbuat untuk kejayaanmu"

sebuah tausyiah yg dikirim seorang teman, didapat dari sumber lain. sekarang saya tempel di dinding kubikel, semoga selalu menjadi pengingat.

Selasa, 13 Mei 2014

diam itu emas, tapi kamu punya intan

(mungkin judulnya sedikit tidak nyambung dengan isi tulisan ini)

Akhir-akhir ini saya mengaku pernah beberapa kali korupsi waktu. Ketika rasa bosan dan malas menyerang sementara waktu masih terdeteksi sebagai jam kantor, akhirnya blog-blog Indonesia Menagajar yang seringnya jadi pelarian saya. nah, tadi itu saya membaca tulisan seorang pengajar muda yang kemudian membuat saya berpikir akan kondisi saya sendiri saat ini. tulisannya bisa dibaca di-sini.

Mengamini apa yang disebutkan oleh seorang pengajar muda yang tulisannya barusan saya baca. Mungkin saya merasakan hal yang sama di sini. Ketika awal-awal saya selalu merasa menjadi orang yg berlapang hati. Orang yang selalu bersegera menjemput kebaikan, orang yang tidak mempermasalahkan pilihan ketika beli makan sementara orang di sebelah terus berkomentar tentang pesanannya yang salah dibuat oleh si bapak penjual, orang yang dengan ringan hati segera berdiri, memberikan kursi untuk perempuan lain yang menurut saya jauh lebih pantas dan berhak untuk duduk. Saya merasa takut dan ngeri sebenarnya ketika menyadari semakin lama rasanya standar moral saya semakin menurun

Ah, tidak, saya tak merasa jahat sepenuhnya. Pun di metromini, ketika ada yang saya lihat butuh duduk, tetap saya berikan, hanya saja frekuensinya jauh berkurang saat ini. Kenapa berkurang? Bukan, bukan karena pada akhirnya saya milih-milih dan akhirnya penuh pertimbangan, tapi karena saya merasa akhir-akhir ini kepekaan saya jauh menurun drastis. Dulu, ketika naik metromini selalu memperhatikan siapa yang naik, siapa yg tidak duduk, sekarang perjalan berangkat dan pulang kantor saya ditemani oleh lamunan, mungkin, hingga terkadang saya tak sadar bahwa sudah saatnya saya harus turun. Entah, karena kebanyakan pikiran atau sebaliknya kekosongan pikiran menyebabkan hal itu. Tapi yang jelas, entah karena alasan apa saya merasa menjadi orang yang lebih jahat.

Kamis, 08 Mei 2014

Adalah kamu, degup kencang dalam pandang diam-diam
Adalah kamu, harap pelan dalam khayal doa
Adalah kamu, wajah keras dalam dingin tawa
Adalah kamu,  tawa pedih dalam tangis ironi

Adalah kamu, masa lalu.

Senin, 05 Mei 2014

Lama-lama terpikir, dalam cerita ini, aku yang jadi antagonisnya.

Rabu, 30 April 2014

pengabdian #1

Ruang yang megah, menjelajah.
Waktu yang entah, berpihaklah.
Langit yang pemurah, berkatilah.
Tanah yang indah, kami datang.


~G.S.S~
*seorang teman yang tengah bersiap, berangkat menjemput berkas sinar mentari di tanah borneo.

Rabu, 23 April 2014

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {4}

Rabu, 23 April 2014. 
Pagi hari, ketika kebanyakan pegawai masih berada di luar untuk sarapan, setelah lelah-lelah mengejar absen pagi. Sang gadis berjalan keluar ruangan, berlari kecil mengejar lift yang sayangnya tertutup di depan matanya. Sedikit menghela nafas, lalu tanpa sengaja menoleh ke belakang dan matanya bersitatap dengan si pemuda yang berdiri di ambang pintu. Si gadis bergegas memalingkan mata, berpura-pura tak melihat. Sementara si pemuda kebingungan sendiri, akan tetap melangkah ke depan lift atau kembali masuk ke ruangan. Pada akhirnya, ia berdehem kecil lalu memposisikan diri seperti layaknya orang lain menunggu lift terbuka.

Mereka berdiri bersisian. Canggung. Si gadis menatap lurus ke depan, berusaha keras fokus pada selebaran entah apa yang tertempel di dekat pintu lift. Si pemuda merogoh saku, menyibukkan diri  entah dengan fitur apa yang ada di telepon genggamnya. Tapi alam sepertinya sedang sedikit usil dengan dua manusia ini. Secara normal, perhitungan kasar menyebutkan waktu yang dibutuhkan lift untuk membuka di lantai dasar adalah 2 detik, sebutlah ada sepuluh orang yang memasuki lift itu dan  tiap orang membutuhkan waktu masing-masing 1 detik untuk masuk lift. Estimasi ada yang turun di tiap lantai dan proses buka-tutup lift ini membutuhkan waktu 3 detik. Totalnya, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lantai 10 menurut perhitungan kasar adalah dibawah satu menit. Tapi seperti yang kita sebutkan tadi, hari ini alam sedang bertingkah jahil pada mereka, karena bahkan hingga menit ke-dua pun pintu lift itu belum jua terbuka.

Setelah hening yang cukp lama,
“Nyari makan?” ragu-ragu si pemuda bertanya.
“Hah? Ooh.. nyari teman.” Si gadis yang tak menduga akan ada percakapan di antara mereka tergeragap.

Sejenak raut wajah bingung menghiasi keduanya, lalu seperti diperintahkan, mereka tertawa dalam waktu yang bersamaan. Tertawa, lepas. 
Dan tepat saat itu pintu lift terbuka lebar

*random googling

Mau kubilang lantang, atau kupendam dalam diam, tetap saja kusebut (dia) cinta.-Tasaro GK

Selasa, 22 April 2014

Kabut ragu-ragu menyeruak, sedikit enggan beranjak pergi karena terusir dengan bias terang matahari
Engkau takut-takut berteriak, sedikit malu membuka isi hati karena terusik rona merah yang tersembul di pipi
(10 jan 2014)

katakan padaku tentang rindu, tentang cinta yang mengadu pada hati
katakan padaku tentang pilu, tentang derita yang meratap pada diri
katakan padaku tentang semu, tentang asa yang bergerak dalam ilusi

katakan padaku tentang kamu, tentang rona yang tak pernah hilang dari pipi
(04 februari 2014)

Kamis, 17 April 2014

yang (ingin) pergi dan yang (berharap) tinggal

Teringat dulu ketika masih bersekolah di jenjang menengah. Sebagian guru dan pembina asrama kami sebenarnya adalah kakak-kakak alumni sekolah yang sama dan baru selesai kuliah. Di masa-masa itu, menjadi PNS adalah salah satu tujuan utama hampir bagi setiap orang. Walau sebenarnya gajinya tak seberapa, tapi zona aman yang ditawarkan bahkan hingga nanti di masa-masa tua masih tetap menjadi pemikat yang tidak bisa dikesampingkan. Dan kala itu pun, saat saya masih duduk di kelas 2, ada masa beberapa hari jam pelajaran kami kebanyakan kosong atau diisi oleh guru pengganti. Pasalnya, semua guru2 muda belia yang juga adalah kakak alumni kami itu sedang mengikuti ujian masuk CPNS.

Kala itu, dikarenakan rasa nyaman dan senangnya kami di keliling beliau-beliau, sempat terlintas celutuk-celutuk kata yang kami sampaikan. “Mudah-mudahan ibu gak lulus tes CPNSnya.”
Saat itu terlihat muka terkejut beliau, “Astaghfirullah, iih jahat kali doanya...” 

Tapi kami hanya tertawa sambil lalu. Apa karena kami tak suka dengan beliau maka kami berkata seperti itu? Tidak, sungguh tidak. Sebaliknya, rasa sayang dan rasa nyamanlah yang mendasari hal itu. Rasa rindu dan takut kehilanganlah yang membuat kami berharap agar beliau tetap di sini. Karena hampir bisa dipastikan, penerimaan CPNS untuk keguruan biasanya ditempatkan di tempat yang agak jauh dari tempat kami saat itu. Itulah pinta polos kami yang saat itu yang hanya bisa memandang dari sisi yang ditinggalkan, belum paham rasanya sisi yang berharap pergi.


Beberapa bulan lalu, ketika pembicaraan mengenai penempatan masih misteri. Ketika doa selalu dipenuhi nama-nama tempat. Beberapa teman selalu berkata sambil bercanda, “Semoga kamu dapat penempatan pusat, jadi bisa tetap di Jakarta.” Mungkin beberapa dari mereka memang tak tahu, tapi beberapa yang lain tahu dengan jelas seperti apa horrornya saya dengan kota Jakarta, seperti apa harap saya agar OJT lekas usai dan segera beranjak pergi dari kota ini. Dan begitulah, rezekinya, saya justru di tempatkan di Jakarta. Definitif. Tidak bisa pindah sebelum beberapa masa mutasi atau ada alasan kuat yang mendasari (semisal ikut suami :p).

Saya sempat down, down sekali bahkan. Saya tahu mood buruk saya membuat hampir semua orang jadi tidak nyaman, bingung bagaimana harus bersikap di depan saya, terlebih untuk beberapa saat saya sempat mengurung diri, meminimalkan hal-hal yg tidak diinginkan. Ah, sebenarnya jauh di lubuk hati saya merasa sangat bersalah. Merasa bersalah karena sempat tersakiti oleh pesan-pesan singkat yang dikirim dengan tulus, merasa bersalah karena tak bisa memberitahu mereka secara personal saya di tempatkan di mana, merasa bersalah karena hingga saat ini pun saya masih menghindar ketika mereka membicarakan topik tentang kota penempatan di lingkaran terbatas kami di media sosial.

Dan tadi, saya teringat kembali dengan peristiwa bertahun-tahun silam itu. Bedanya, sekarang saya berada di sisi yang berharap pergi. Ah, betapa saya paham posisi mereka. Dan (walau sedikit memalukan) setidaknya tangis sudah dihias dengan senyum. Walau mungkin kata-kata itu candaan, betapa harusnya saya merasa tersanjung karena diinginkan. Betapa seharusnya saya merasa terhormat karena berharap saya tetap disini, dekat dengan mereka. Hei, bukankah itu tandanya mereka merasa nyaman? Bukankah mereka berkata seperti itu karena sayang dan takut kehilangan? :D

Betapa bahagianya ketika setelah berlelah-lelah di kantor, malamnya kedatanganmu masih dinantikan, ceritamu masih didengarkan, bahkan seringkali ditemani kudapan-kudapan yang sengaja dibeli untuk dinikmati beramai-ramai. Ah, sungguh, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?


Senin, 14 April 2014

amplop dan cerita tentangnya

Suatu ketika, seorang teman pernah berkata, “aku mengenalmu sejak SMP hingga saa tini, dan setiap melihatmu aku selalu berpikir betapa sempurna hidupmu. Sepertinya hidupmu mengalir lancar-lancar saja tanpa hambatan yang begitu berarti.” 
Jujur, saya terkejut mendengar hal ini, karena sebelumnya tak pernah sekalipun saya berpikir ke sana. Namun ketika direnungi lebih dalam, mungkin perkataan itu ada benarnya.

Betapa banyak syukur yang harus saya panjatkan atas semua rahmat dan nikmat yang terlimpah. Alhamdulillah memiliki keluarga yang masih lengkap, orang tua yang tegas tapi lemah lembut, yang mengutamakan kepentingan dan pendidikan anak-anaknya terlebih dahulu di atas apapun. Alhamdulillah kehidupan sekolah dasar saya menyenangkan. Dikelilingi teman-teman yang masih terus keep contact hingga kini, dan bukan bermaksud sombong, juga masih menjadi juara kelas dulunya. Alhamdulillah saya bersekolah di SMP boarding yang  bernafaskan Islam, setiap hari selalu diingatkan untuk senantiasa memperbaharui iman oleh sahabat dan guru pembina yang berkumpul dalam lingkaran cahaya. Alhamdulillah di jenjang SMA, saya juga masuk sekolah yang terbilang favorit untuk ukuran kota kecil saya. Mengasah otak melalui lomba dan olympiade, juga membuka kesadaran untuk mulai menghafal Al-Qur’an, karena memang menjadi salah satu syarat untuk lulus.

Masa-masa heboh selepas SMA dan mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi. Dan lagi, Alhamdulillah Allah berikan nikmat diterima di dua perguruan tinggi.
Masa-masa di perguruan tinggi, bergelut dengan bayang-bayang DO, Alhamdulillah masih selalu mendapat nilai memuaskan, walau memang bukan yang tertinggi. Mengisi hari dengan berbagai kegiatan, mengenal banyak orang dari seluruh penjuru Indonesia.

Dan kini di kehidupan kerja, Allah tempatkan saya di instansi yang memang saya pilih sebelumnya, walau banyak orang menyayangkan karena katanya gengsinya lebih rendah dibanding instansi kementerian keuangan yang lain. Tapi toh, tak pernah saya merasa ambil pusing dengan hal itu. Ditempatkan sementara untuk magang di direktorat yang menyambut saya layaknya menyambut kelahiran anak pertama. Satu ruangan dengan orang-orang yang hingga kini bila mengingatnya membuat saya berjuang keras menahan titik air mata karena rasa syukur (akan saya bahas lebih lanjut tentang beliau-beliau di cerita lain). Semuanya terasa sempurna, sungguh. Hingga hari penempatan yang sebenarnya akhirnya tiba.

Kami dikumpulkan sore itu,rencananya di aula utama kantor, tapi ternyata masih ada acara di tempat itu bahkan hingga  hampir selesainya jam kantor, akhirnya kami di alihkan ke aula kecil di sebelahnya. Sore itu, saya baru tahu, seperti apa rasanya deg-degan menunggu sesuatu. Saya baru sadar dan terpikir, tempat yang tertera di amplop yang betuliskan nama kami masing-masing akan menjadi tempat yang sangat menentukan, bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk sisa hidup kami selanjutnya. Maka saat bagian kepegawaian memberikan wejangan dan bercerita tentang penempatan pegawai dari penerimaan sebelumnya yang diramaikan oleh air mata, kami hanya tertawa. Bahkan lebih tertawa lagi saat beliau sengaja menyiapkan dua box tissue sebelum menyerahkan amplop kami masing-masing.

Tapi, sore itu saya tahu seperti apa perasaan mereka yang hanya saya dengar daricerita-cerita kakak tingkat, saya tahu seperti seperti apa sakitnya berusaha menahan air mata di tengah ramainya gegap gempita penuh tangis dan tawa, dan saya merasa bodoh telah menertawakan diri sendiri. Saya baca surat dalam amplop  itu untuk sekian kali, namun sayangnya harapan saya bahwa isinya akan berubah tak jua terjadi. kejadian yang paling tidak saya harapkan terjadi. Saya di tempatkan di Kantor Pusat, Jakarta.
Bukan hanya karena keinginan saya untuk ditempatkan dikantor vertikal daerah tidak terpenuhi, tapi saya ditempatkan di direktorat yang paling saya hindari. Hahaha mungkin ini cara Allah menegur saya.

Itu beberapa hari yang lalu, dan hingga hari ketiga pasca pengumuman, mood saya masih berantakan total. Belum berani banyak bercakap dengan teman-teman di kos, karena saya takut saya atau mereka salah satunya bisa tersakiti. Bahkan ucapan selamat yang tulus dan berbagai pesan turut bahagia terasa mengiris hati. Telepon dari orang rumah juga sempat saya abaikan, hingga memang pada akhirnya tetap keluarga yang menjadi tempat pelampiasan saya. Tangis yang tertahan sekian lama tertumpah beberapa jam lewat telepon, dan mereka masih sabar mendengarkan tanpa diputus, walau yang terdengar hanya isak dan tarikan nafas susah payah karena hidung tersumbat. Setelah nangis, merasa sedikit lega karena sudah ada yg dilepas, walau hati belum sepenuhnya menerima. Ah, dan saya berpikir, di usia twenty something ini pun, sikap childish dan ekstrem mood swing masih belum bisa saya atasi. Amplop itu saya simpan jauh di laci terdalam almari pakaian. Tapi sesungguhnya hal itu sia-sia, karena isi amplop itu terekam jelas di otak saya hingga  titik komanya.


Teringat lagi, dua minggu lalu masih sibuk berpikir tentang sempurnya hidup ini. Ternyata semua tantangannya baru dikeluarkan sekarang, sekaligus.

Lucu.
Lucu sekali. 
: D