Kamis, 17 April 2014

yang (ingin) pergi dan yang (berharap) tinggal

Teringat dulu ketika masih bersekolah di jenjang menengah. Sebagian guru dan pembina asrama kami sebenarnya adalah kakak-kakak alumni sekolah yang sama dan baru selesai kuliah. Di masa-masa itu, menjadi PNS adalah salah satu tujuan utama hampir bagi setiap orang. Walau sebenarnya gajinya tak seberapa, tapi zona aman yang ditawarkan bahkan hingga nanti di masa-masa tua masih tetap menjadi pemikat yang tidak bisa dikesampingkan. Dan kala itu pun, saat saya masih duduk di kelas 2, ada masa beberapa hari jam pelajaran kami kebanyakan kosong atau diisi oleh guru pengganti. Pasalnya, semua guru2 muda belia yang juga adalah kakak alumni kami itu sedang mengikuti ujian masuk CPNS.

Kala itu, dikarenakan rasa nyaman dan senangnya kami di keliling beliau-beliau, sempat terlintas celutuk-celutuk kata yang kami sampaikan. “Mudah-mudahan ibu gak lulus tes CPNSnya.”
Saat itu terlihat muka terkejut beliau, “Astaghfirullah, iih jahat kali doanya...” 

Tapi kami hanya tertawa sambil lalu. Apa karena kami tak suka dengan beliau maka kami berkata seperti itu? Tidak, sungguh tidak. Sebaliknya, rasa sayang dan rasa nyamanlah yang mendasari hal itu. Rasa rindu dan takut kehilanganlah yang membuat kami berharap agar beliau tetap di sini. Karena hampir bisa dipastikan, penerimaan CPNS untuk keguruan biasanya ditempatkan di tempat yang agak jauh dari tempat kami saat itu. Itulah pinta polos kami yang saat itu yang hanya bisa memandang dari sisi yang ditinggalkan, belum paham rasanya sisi yang berharap pergi.


Beberapa bulan lalu, ketika pembicaraan mengenai penempatan masih misteri. Ketika doa selalu dipenuhi nama-nama tempat. Beberapa teman selalu berkata sambil bercanda, “Semoga kamu dapat penempatan pusat, jadi bisa tetap di Jakarta.” Mungkin beberapa dari mereka memang tak tahu, tapi beberapa yang lain tahu dengan jelas seperti apa horrornya saya dengan kota Jakarta, seperti apa harap saya agar OJT lekas usai dan segera beranjak pergi dari kota ini. Dan begitulah, rezekinya, saya justru di tempatkan di Jakarta. Definitif. Tidak bisa pindah sebelum beberapa masa mutasi atau ada alasan kuat yang mendasari (semisal ikut suami :p).

Saya sempat down, down sekali bahkan. Saya tahu mood buruk saya membuat hampir semua orang jadi tidak nyaman, bingung bagaimana harus bersikap di depan saya, terlebih untuk beberapa saat saya sempat mengurung diri, meminimalkan hal-hal yg tidak diinginkan. Ah, sebenarnya jauh di lubuk hati saya merasa sangat bersalah. Merasa bersalah karena sempat tersakiti oleh pesan-pesan singkat yang dikirim dengan tulus, merasa bersalah karena tak bisa memberitahu mereka secara personal saya di tempatkan di mana, merasa bersalah karena hingga saat ini pun saya masih menghindar ketika mereka membicarakan topik tentang kota penempatan di lingkaran terbatas kami di media sosial.

Dan tadi, saya teringat kembali dengan peristiwa bertahun-tahun silam itu. Bedanya, sekarang saya berada di sisi yang berharap pergi. Ah, betapa saya paham posisi mereka. Dan (walau sedikit memalukan) setidaknya tangis sudah dihias dengan senyum. Walau mungkin kata-kata itu candaan, betapa harusnya saya merasa tersanjung karena diinginkan. Betapa seharusnya saya merasa terhormat karena berharap saya tetap disini, dekat dengan mereka. Hei, bukankah itu tandanya mereka merasa nyaman? Bukankah mereka berkata seperti itu karena sayang dan takut kehilangan? :D

Betapa bahagianya ketika setelah berlelah-lelah di kantor, malamnya kedatanganmu masih dinantikan, ceritamu masih didengarkan, bahkan seringkali ditemani kudapan-kudapan yang sengaja dibeli untuk dinikmati beramai-ramai. Ah, sungguh, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?


2 komentar: