Rabu, 30 Desember 2015

Maskapai Penerbangan Indonesia (berdasarkan pengalaman)

(Ditulis 28 September 2015, diperbaharui 30 Desember 2015) 

Sebagai anak rantau yang kini tinggal terpisah pulau dari rumah, mau tak mau si burung besi adalah satu-satunya transportasi paling efektif untuk sampai rumah. Jarak Jakarta-Sumatera Utara yang bila ditempuh melalui perjalanan darat baru bisa  ditempuh selama 3 hari 2 malam atau 2 hari 3 malam, dengan pesawat hanya dibutuhkan waktu 2 jam 15 menit ke Medan, atau 1 jam 40 menit ke Padang, atau 1 jam 50 menit ke Pekanbaru. Dulu, bis-bis besar lintas provinsi dan lintas pulau semacam ALS masih berjaya ketika masih banyak orang yang bergantung padanya karena pesawat masih merupakan barang mewah.

Sekarang? Dengan terus meningkatnya demand terhadap layanan penerbangan ditambah berkembangnya berbagai maskapai penerbangan dan persaingannya untuk merangkul penumpang, boleh dikata naik pesawat sudah bergeser dari kotak “mewah” menjadi semacam “kebutuhan”. Contoh, tiket pesawat Jakarta-Medan untuk pertengahan 2015 pada hari biasa non liburan normalnya berkisar Rp700-an ribu rupiah. Sedangkan naik bis ALS Jakarta- Medan kira-kira Rp500 ribu. Iya, masih beda 200 ribu. Tapi 200 ribu itu udah bisa dikonversi untuk efektivitas waktu, efektivitas tenaga, belum dalam perjalanan naik bis 2 hari 3 malam itu pasti berhenti makan kan? Perkirakan akan 6 kali makan dengan kira-kira sekali makan butuh 25 ribu, 6x25 ribu = 150 ribu. Masih selisih 50 ribu, tapi tenaga dan waktu masih tersimpan dengan baik.

Saya naik pesawat pertama kali di bulan September 2009, ketika harus daftar ulang untuk masuk kuliah. Sampai hari ini, kira-kira setelah 6 tahun sejak saya masih kagok pakai seatbelt, terhitung masih lebih kurang 30-an kali saya duduk manis di pesawat. Dari zaman kuliah yang tiap beli tiket di agen travel bilangnya, “Mbak, pesawat ke Medan, Padang, atau Pekanbaru tanggal sekian yag paling murah berapa mbak?”, yang masih zaman gak mikir itu maskapai apa atau penerbangan pukul berapa (yang penting murah), hingga sekarang yang mulai ikhlas bayar sedikit lebih mahal demi sebuah “kenyamanan”.

Penerbangan saya yang paling fresh adalah perjalanan saya dari Padang-Jakarta hari Minggu 27 September kemarin. Sambil memandangi kursi biru pesawat, jendela darurat di sebelah kiri, dan flight attendance  Sriwijaya Air, entah kenapa tiba-tiba tercetus ide untuk menulis sedikit tentang pengalaman terbang saya bersama berbagai maskapai. Niat yang baru bisa saya laksanakan keesokan harinya karena saya baru sampai di kosan lewat tengah malam dan memilih langsung beristirahat.

1.       Batavia
Saya hanya sempat merasakan layanan maskapai ini 2 kali, Jakarta-Pekanbaru dan Pekanbaru-Jakarta sebelum kemudian akhirnya tutup dan berhenti beroperasi. Tidak banyak yang bisa ceritakan karena saya tidak terlalu ingat juga. Kemungkinan standar (berpatok pada saya tak terlalu mengingat hal baik maupun hal buruknya).

2.       Lion Air
Kalau maskapai yang satu ini sih udah jadi juaranya tenar hahaha. Hubungan saya dan Lion Air semacam hubungan pasangan yang putus-sambung, lebih tepatnya Love-Hate relationship. Cinta tapi benci. Benci, tapi rindu.

Soal delay, jangan ditanya lagi, Lion juaranya. Bahkan sampe ada plesetan jargon LION= Late is Our Nature. Tak terhitung berapa kali saya di-PHP, dikecewakan, luntang-lantung di bandara karena delay 5 jam dan tidak ada snack maupun makan besar sebagai kompensasi. Saya marah, kecewa dan menyesal. Tapi beberapa bulan kemudian ketika hunting tiket lagi, tetap saya rujuk kembali (walau tak sepenuh hati) karena penerbangan maskapai ini tetap berada di bagian teratas waktu filter kategori termurah (hahahaha.. ).

Satu hal lagi yang saya rasa perlu ditingkatkan kualitasnya oleh Lion Air adalah pelayanan oleh kru, baik ground, boarding, maupun flight attendant. Dari sekian belas perjalanan saya bersama Lion, ada satu kejadian yang saya ingat sekali (mudah-mudahan ini bukan karena dendam ^^). H-2 Lebaran 1435 Hijriah, bertepatan 26 Juli 2014. Saya dapat perlakuan yang membuat saya benar-benar harus berusaha keras menahan air mata biar tidak jatuh. Mungkin terdengar cengeng, tapi saya tipe orang yang tidak bisa menyampaikan kemarahan. Jadi, kalau saya sudah kesal sekali ataupun marahnya level atas, larinya pasti ke nangis hahahaha. Tapi tak perlu saya ceritakan detail lah seperti apa, mudah-mudahan itu perilaku oknum saja (namun sayangnya hampir dipastikan yang tercoreng adalah nama instansi, kan?)

Tapi di balik cerita delay dan beberapa kejadian dengan kru Lion Air baik yang saya alami maupun saya saksikan, keunggulan Lion Air yang paling utama adalah banyaknya pilihan penerbangan yang memudahkan calon penumpang. Saya rasa untuk urusan pilihan jam keberangkatan dan pilihan kota tujuan, Lion Air menguasai hampir separuh pangsa pasar penerbangan. Karenanya seandainya Lion didemo dan dipaksa tutup dan berhenti beroperasi, yang pertama panik dan gelagapan selain pihak internal perusahaan adalah penumpang-penumpang yang setia (Iya, setia. Tingkat setia yang tinggi sampe di-PHP-in, dikecewakan, ditelantarkan tetap masih akan berlabuh ke Lion lagi :’D). Tak heran seorang Rudi Kirana pun mengakui dan berkata “Airlines saya adalah yang terburuk di dunia. My airlines is the worst in the world, but you have no choice. Makanya, ada yang bilang, Lion Air dibenci, tapi dirindu” ketika diwawancara dan diminta membandingkan Lion Air dengan airlines di Amerika.

Lion lagi? Well, jika nanti-nanti tak ada pilihan yang lebih lumayan, mungkin saya akan terus memelihara hubungan Love-Hate ini :’).

3.       Citilink
Naik citilink baru dua kali, ketika pulang liburan semester 2011, Jakarta-Medan dan terakhir perjalanan Medan-Jakarta selepas dinas pada tanggal 6 Desember 2015. Penerbangan terakhir saya delay 90 menit dari jadwal yang tertera di boarding pass.

4.       Sriwijaya Air
Sejauh ini saya sudah menumpang layanan penerbangan maskapai ini setidaknya sebanyak 5 kali. Namun 2 penerbangan terakhir saya dengan Sriwijaya sangat berkesan dan sulit dilupakan. Penerbangan Jakarta-Padang pada H-3 lebaran 1436 Hijriah (lebaran Idul Fitri Juli 2015 kemarin). Delay sekian jam. Okelah, masalah delay mungkin sudah mulai saya anggap tidak terlalu serius mengingat hampir semua maskapai penerbangan kita agak susah untuk lepas dari kendala ini. Yang saya paling tidak bisa lupakan saat itu adalah layanan yang diberikan oleh kru dan tim Sriwijaya Air, kru boarding di ruang tunggu dan flight attendance selama penerbangan.
Dikarenakan delay beberapa jam dan tidak ada pengumuman resmi maupun info apa-apa yang diberikan kepada calon penumpang, akhirnya beberapa orang bertanya langsung kepada kru yang ada di belakang meja service desk ruang tunggu (ada kru dari penerbangan lain juga, tapi kru sriwijaya tetap bisa dikenali dengan seragam hijau dan logo maskapainya). Nah, kejadian bertanya informasi pasti ini terjadi beberapa kali. Setelah mungkin beberapa orang yang hilir mudik bertanya, sepertinya si mbak kru Sriwijaya tadi mulai kesal sampai terdengar suaranya meninggi dan setengah berteriak,
“Yang Sriwijaya beloooom !! susah banget sih dibilangin !! kita tuh juga gak tau apa-apa, Pak. Kita kan tugasnya hanya bantu proses boarding ke pesawat, soal kenapa delay ya jangan paksa kita jawab doong !!!”, begitu kira-kira kilah si mbak yang kemudian menarik minat sebagian orang untuk menolehkan pandangan menonton adegan ini. Secara rasionalitas, yang dikatakan beliau mungkin benar adanya. Walaupun berada dalam satu bendera maskapai yang sama, namun tugas kru check in, kru boarding, dan flight attendance berbeda-beda dan terbatas pada job desk-nya saja. Namun alangkah lebih bijak kalau menanggapinya bisa dilakukan dengan bahasa yang lebih sopan dan halus, lebih baik lagi disampaikan secara massal agar seluruh penumpang tahu bahwa ada keterlambatan pesawat dan tidak perlu bertanya-tanya kebingungan atau bahkan ragu apakah mereka salah masuk ruang tunggu atau tidak.

Selanjutnya, masih di penerbangan yang sama, ketika pesawat sedang melaju di ketinggian sekian ratus kaki di udara, tim flight attendance  pun berkeliling dengan troli makanan dan bersiap membagikan kotak roti dan air mineral. Persis ketika akan menyerahkan kotak snack kepada penumpang di depan saya, salah seorang flight attendance  yang bertugas tersebut tidak sengaja menjatuhkan kotak sehingga roti dan cemilan di dalamnya menyentuh lantai. Dan yang membuat saya geleng2 adalah, roti dan cemilan tersebut dimasukkan kembali ke kotak dan diberikan kepada penumpang seolah tak terjadi apa-apa. Masalah higenitas mungkin bisa dikesampingkan mengingat roti maupun cemilan masih terbungkus plastik, tapi untuk hal kesopanan dan kepatutan sepertinya tindakan tadi bukan pilihan yang tepat.

5.       Garuda Airlines
Untuk layanan maskapai dalam negeri, Garuda Indonesia memang masih unggul mutlak dibandingkan maskapai lainnya. Walau pada pengalaman bersama Garuda Airlines pernah merasakan yang namanya delay juga, tapi sejauh pengalaman saya, keramahan dan kesigapan tim untuk melayani memang belum dapat ditandingi oleh maskapai lain.

6.       Batik Air
Batik Air hadir menjembatani kualitas prima Garuda dan harga terjangkau Lion Air. Menjanjikan kelas yang lebih elegan dari Lion namun dengan harga yang lebih terjangkau daripada Garuda. Sejauh ini, saya sudah 5 kali menumpang pesawat milik maskapai ini. Sebagian besarnya memuaskan. Space lebih luas, layanan hiburan di atas pesawat, ketersediaan konsumsi. Sayangnya di penerbangan terakhir saya dari Jakarta menuju Medan pada 2 Desember kemarin, awak penerbangan yang bertugas agaknya masih awak junior. Terlihat dari kurangnya konsentrasi dalam melayani penumpang, mengobrol dan tertawa keras-keras sepanjang  membagikan konsumsi kepada penumpang, juga dari gerak laku tangan dalam penyajian makanan di depan penumpang. Tapi secara keseluruhan, Batik Air kini menjadi alternatif pertama selain garuda yang saya pilih ketika merencanakan perjalanan.


Terlepas dari semua pengalaman tersebut, semoga industri penyedia layanan penerbangan Indonesia semakin berkembang dan berbenah mengingat kebutuhan masyarakat akan transportasi udara juga kian meningkat.