Kamis, 26 Februari 2015

waktu dan bayangan

Kau seperti bayang-bayang pagi hari
Diam mengikutiku, memberi dorongan di punggung meski ku tak sadar
walau aku terlalu fokus ke depan,
terlalu optimis mencoba menggapai mentari

Kau seperti bayang-bayang siang hari
Kala terik mulai memusingkan dan aku menoleh, mencoba berjalan mencari topangan
Dan ketika kupikir kau menghilang, nyatanya kau ada, 
setia di tempat yang sama, lebih dekat bahkan

Kau seperti bayang-bayang senja
Berjalan di depan, menuntun langkahku pulang
memunggungi pendar lembayung di sisi sana

Menuju tempat yang kusebut rumah


~~
Untuk Umak dan Bapak, dengan semua cintanya yang terselip dalam doa dan nasihat yang sering disalahmengerti.
Untuk Umak dan Bapak, tempatku untuk pulang kapan saja, dalam kondisi seperti apa pun
Untuk Umak dan Bapak, definisi sesungguhnya dari kata rumah

Sabtu, 21 Februari 2015

dan kau pun indah


Tipikal senja seperti hari-hari yang lain di kota kelahiran saya. Genangan air yang kami sebut Tobat, dua bulan lalu masih penuh dengan bulir-bulir gendut padi yang menguning, dan untuk dua bulan ke depan, akan kembali disesaki hijau terang padi-padi muda.
Kaki ini belum banyak melangkah, mata ini belum banyak melihat. Ah, tapi bukankah indah itu ada dimana saja? Mungkin hanya perlu sedikit merubah titik pandang.

(Padangsidimpuan, Sumatera Utara)

Jumat, 20 Februari 2015

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {6}

Hening menyelimuti ruangan itu. Ya, di luar memang sedang hujan, lebat. Gedung tinggi di seberang pun hanya tampak samar karena tertutup kabut dan aliran deras air hujan. Tapi bukan itu, bukan hal itu yang menyebabkan aura suram di tempat itu semakin kuat.
Entahlah. Sejak pagi, semua orang seakan tiba dengan wajah murung. Entah ada masalah di rumah, atau mungkin kehujanan di perjalanan menuju kantor yang membuat mood semua orang rusak.
Si gadis berdiri terdiam di tepi jendela kaca. Memandang kosong melalui kisi-kisi, memperhatikan hujan di luar yang mungkin tak akan reda hingga sore hari. Tak sadar akan kehadiran seseorang sejak tadi. Si pemuda tak berniat mengganggu, paham akan kecintaan si gadis pada sunyi dan hening. Tapi setelah beberapa saat, tak urung ia berbicara juga.
“Kopi?” tawarnya pada si gadis.
Yang ditawari hanya terdiam dan menggeleng lemah.
“Saya dengar anda suka kopi, atau sedang tak ingin minum kopi pagi-pagi begini?”
Si gadis masih diam, mungkin ragu untuk berkata-kata. Sementara si pemuda merasa canggung, takut pertanyaannya membuat tak nyaman.
"Eh, maaf, saya sok tahu ya?” lalu ia tertawa kikuk.
“Aku suka kopi. Dulu.”
“dulu?”
“Hahaha iya, dulu. Aku suka kopi karena seseorang yang kukenal jatuh cinta setengah mati pada kopi. Kebiasaan membuatkan dia kopi lama-lama membuatku suka dan mungkin kecanduan pada kopi. Tapi sekarang tidak lagi.”
Si pemuda ingin sekali bertanya kenapa? Tapi mati-matian ia tahan pertanyaan itu. Dan seolah menjawab penasaran itu, sang gadis melanjutkan,
“aku benci segala hal yang mengingatkan padanya.”
Hening.
Si gadis berlalu.
Sang pemuda masih berdiri terpaku sambil mengaduk cangkir di tangan kirinya.
Ah, persoalan ini terlalu susah untuk dipahami. Rumit.

Tak lama, sang pemuda beranjak ke ruangan lain. Sambil tak luput membuang kopi di cangkir satunya ke dalam wastafel.

Rabu, 18 Februari 2015

RISE


Bukan dengan celoteh ceria
Mungkin lewat keluh tak sudah
Bukan dengan akhir pekan menyenangkan
Mungkin dalam ruang hening 3x2,5 meter
Bukan dengan meriah bunga kembang api
Mungkin kerlip lima kelopak pun lebih dari cukup
Bukan dengan ramai pelangi
Mungkin hitam dan kuning pun cukup berwarna
Bukan dengan dress feminin
Mungkin jersey kebesaran pun tak apa

Bukan seperti mereka

Mungkin, karena kita anti mainstream


catt: untukmu, my forever partner in crime, terima kasih untuk semuanya ^^

Selasa, 10 Februari 2015

Tirta Alami


Sebuah tempat beristirahat kecil di kaki gunung Tandikat, Sumatera Barat.
Memang tak sebanding dengan Lembah Anai yang terkenal itu. Tingginya pun tak sampai satu per dua puluh dari Lembah Anai yang terletak tak jauh, kurang dari 10 km.
Tapi cukuplah untuk rehat sejenak bagi mereka yang ingin jauh-jauh dari keramaian.

Diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 55 : Waterfall

Jumat, 06 Februari 2015

pengabdi

Bila ada yang bertanya, 
"masihkah ada pegawai pemerintah yang jujur dan berintegritas?"
Maka kujawab, Masih. Masih ada. Masih Banyak.

Masih banyak di luar sini, pegawai-pegawai pemerintah yang bersahaja, berangkat kerja dengan angkutan umum, padahal sebenarnya mampu untuk memakai kendaraan pribadi. Lalu, kenapa tidak?
Karena ia khawatir, itu akan melukai profesionalme, melukai niat untuk melayani, yang takutnya memupuk benih-benih bangga dan kesombongan.

Masih, masih banyak pegawai pemerintah yang pulang dengan berbagai hal untuk dipikirkan. Mencerna berbagai kemungkinan untuk menemukan keputusan yang tepat. Karena ia sadar, ini bukan sekedar ranah tanda tangan dan semua senang. Tapi jauh lebih besar dari itu. Tanggung jawab, di dunia dan akhirat.

Masih. Masih banyak pegawai pemerintah yang baru sampai di pintu rumah ketika malam sudah terlalu kelam. Diam-diam berjalan lalu membuka pintu, khawatir si kecil terbangun dan terganggu tidurnya.

Masih, masih banyak pegawai pemerintah yang mati-matian mempertahankan kebijakan dan pendapat demi maslahat masyarakat, walau harus bersilat lidah dengan para Dewan, walau harus duduk di lantai di Senayan sana. Dan, yang mereka dapat adalah caci dan maki, serta buruk sangka dari masyarakat yang mati-matian mereka bela.

Dulu kala, saya memandang tak terlalu suka melihat wanita-wanita yang memilih bekerja di kantoran. Pulang malam ketika anak-anaknya butuh kasih sayang. Dan jujur, saya tak ingin seperti itu. Tapi kini hidup saya mungkin tak jauh dari hal itu. Di sekeliling saya banyak rekan kerja yang harus berjuang keras, menyeimbangkan keluarga dan tanggung jawab pekerjaan. Bukan mudah, ketika keinginan memberi ASI ekslusif kepada si kecil harus diperantarai breast pump dan botol susu. Tapi, sedapat mungkin mereka berusaha melimpahi pertemuan dengan cinta dan perhatian, memancarkan rindu dan kasih dalam setiap percakapan telepon.

Berada dalam arus birokrasi, membuat saya sadar.  Terlalu banyak orang baik dan jujur di negeri ini yang sayangnya tertutup oleh segelintir noktah gelap yang entah kenapa mudah sekali terlihat. Dan satu hal paling utama yang mungkin sudah disadari siapa pun. Media. 
Kekuatan media untuk menggiring opini publik sungguh luar biasa. Yang baik bisa terlihat mengerikan seperti monster, pun sebaliknya dalang keburukan dipoles menjadi malaikat. Tidak, saya tak sedang mencap seluruh media buruk. Hanya saja, terkadang walau tak bermaksud, detil yang ditutup-tutupi oleh media dapat memicu hal buruk yang lebih besar. Jadi, untuk kita, sebagai pengguna, sebagai pemerhati, cerdaslah untuk menyaring.

Jika ada yang bertanya, 
"Masihkah ada pegawai pemerintah yang jujur dan berintegritas?"
Maka akan kujawab dengan tegas dan bangga.
Masih. Masih ada. Masih banyak.



 Sebuah malam sepulang kerja. setelah rapat 4,5 jam yang menguras energi dan pikiran.
Purnama penuh menuntun langkah-langkah menuju pulang.
catt: itu mobil2 putih bagus yang berjejer rapi ,(sayangnya) bukan punya kita ya, itu mobil-nya OJK (PENTING ^^)

Rabu, 04 Februari 2015

Cireng


"Cireng lagi?"
"Heiii... rautmu seolah berkata bahwa cireng itu bukan suatu yang pantas dimakan"
"Hahahaha.. Tidak, hanya merasa aneh. Pernahkah kamu berpikir makan cireng itu semacam kamu makan tepung yang ditetesi air?"
"Hahahahaha kamu aneh, Za !! Suatu hari aku bersumpah akan membuatmu suka pada cireng. Ah, tidak,tidak, lebih dari suka, tergila-gila mungkin."

Dan, kau berhasil.
Aku yang selalu berteman dengan kayanya rempah dan gurih santan, entah sejak kapan mau berdamai dengan kudapan penuh minyak yang sederhana itu.
Aneh, bahkan dari sudut pandangku sendiri itu tetap aneh.
Atau mungkin itu semacam caraku menebus rasa bersalah padamu?
Damailah disana, kucoba lakonkan peranku sebaik mungkin