Jumat, 20 Februari 2015

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {6}

Hening menyelimuti ruangan itu. Ya, di luar memang sedang hujan, lebat. Gedung tinggi di seberang pun hanya tampak samar karena tertutup kabut dan aliran deras air hujan. Tapi bukan itu, bukan hal itu yang menyebabkan aura suram di tempat itu semakin kuat.
Entahlah. Sejak pagi, semua orang seakan tiba dengan wajah murung. Entah ada masalah di rumah, atau mungkin kehujanan di perjalanan menuju kantor yang membuat mood semua orang rusak.
Si gadis berdiri terdiam di tepi jendela kaca. Memandang kosong melalui kisi-kisi, memperhatikan hujan di luar yang mungkin tak akan reda hingga sore hari. Tak sadar akan kehadiran seseorang sejak tadi. Si pemuda tak berniat mengganggu, paham akan kecintaan si gadis pada sunyi dan hening. Tapi setelah beberapa saat, tak urung ia berbicara juga.
“Kopi?” tawarnya pada si gadis.
Yang ditawari hanya terdiam dan menggeleng lemah.
“Saya dengar anda suka kopi, atau sedang tak ingin minum kopi pagi-pagi begini?”
Si gadis masih diam, mungkin ragu untuk berkata-kata. Sementara si pemuda merasa canggung, takut pertanyaannya membuat tak nyaman.
"Eh, maaf, saya sok tahu ya?” lalu ia tertawa kikuk.
“Aku suka kopi. Dulu.”
“dulu?”
“Hahaha iya, dulu. Aku suka kopi karena seseorang yang kukenal jatuh cinta setengah mati pada kopi. Kebiasaan membuatkan dia kopi lama-lama membuatku suka dan mungkin kecanduan pada kopi. Tapi sekarang tidak lagi.”
Si pemuda ingin sekali bertanya kenapa? Tapi mati-matian ia tahan pertanyaan itu. Dan seolah menjawab penasaran itu, sang gadis melanjutkan,
“aku benci segala hal yang mengingatkan padanya.”
Hening.
Si gadis berlalu.
Sang pemuda masih berdiri terpaku sambil mengaduk cangkir di tangan kirinya.
Ah, persoalan ini terlalu susah untuk dipahami. Rumit.

Tak lama, sang pemuda beranjak ke ruangan lain. Sambil tak luput membuang kopi di cangkir satunya ke dalam wastafel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar