Hening menyelimuti ruangan itu. Ya, di luar memang sedang
hujan, lebat. Gedung tinggi di seberang pun hanya tampak samar karena tertutup
kabut dan aliran deras air hujan. Tapi bukan itu, bukan hal itu yang
menyebabkan aura suram di tempat itu semakin kuat.
Entahlah. Sejak pagi, semua orang seakan tiba dengan wajah
murung. Entah ada masalah di rumah, atau mungkin kehujanan di perjalanan menuju
kantor yang membuat mood semua orang rusak.
Si gadis berdiri terdiam di tepi jendela kaca. Memandang kosong
melalui kisi-kisi, memperhatikan hujan di luar yang mungkin tak akan reda
hingga sore hari. Tak sadar akan kehadiran seseorang sejak tadi. Si pemuda tak
berniat mengganggu, paham akan kecintaan si gadis pada sunyi dan hening. Tapi setelah
beberapa saat, tak urung ia berbicara juga.
“Kopi?” tawarnya pada si gadis.
Yang ditawari hanya terdiam dan menggeleng lemah.
“Saya dengar anda suka kopi, atau sedang tak ingin minum
kopi pagi-pagi begini?”
Si gadis masih diam, mungkin ragu untuk berkata-kata. Sementara
si pemuda merasa canggung, takut pertanyaannya membuat tak nyaman.
"Eh, maaf, saya sok tahu ya?” lalu ia tertawa kikuk.
“Aku suka kopi. Dulu.”
“dulu?”
“Hahaha iya, dulu. Aku suka kopi karena seseorang yang
kukenal jatuh cinta setengah mati pada kopi. Kebiasaan membuatkan dia kopi
lama-lama membuatku suka dan mungkin kecanduan pada kopi. Tapi sekarang tidak
lagi.”
Si pemuda ingin sekali bertanya kenapa? Tapi mati-matian ia tahan pertanyaan itu. Dan seolah
menjawab penasaran itu, sang gadis melanjutkan,
“aku benci segala hal yang mengingatkan padanya.”
Hening.
Si gadis berlalu.
Sang pemuda masih berdiri terpaku sambil mengaduk cangkir di
tangan kirinya.
Ah, persoalan ini terlalu susah untuk dipahami. Rumit.
Tak lama, sang pemuda beranjak ke ruangan lain. Sambil tak
luput membuang kopi di cangkir satunya ke dalam wastafel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar