Senin, 14 April 2014

amplop dan cerita tentangnya

Suatu ketika, seorang teman pernah berkata, “aku mengenalmu sejak SMP hingga saa tini, dan setiap melihatmu aku selalu berpikir betapa sempurna hidupmu. Sepertinya hidupmu mengalir lancar-lancar saja tanpa hambatan yang begitu berarti.” 
Jujur, saya terkejut mendengar hal ini, karena sebelumnya tak pernah sekalipun saya berpikir ke sana. Namun ketika direnungi lebih dalam, mungkin perkataan itu ada benarnya.

Betapa banyak syukur yang harus saya panjatkan atas semua rahmat dan nikmat yang terlimpah. Alhamdulillah memiliki keluarga yang masih lengkap, orang tua yang tegas tapi lemah lembut, yang mengutamakan kepentingan dan pendidikan anak-anaknya terlebih dahulu di atas apapun. Alhamdulillah kehidupan sekolah dasar saya menyenangkan. Dikelilingi teman-teman yang masih terus keep contact hingga kini, dan bukan bermaksud sombong, juga masih menjadi juara kelas dulunya. Alhamdulillah saya bersekolah di SMP boarding yang  bernafaskan Islam, setiap hari selalu diingatkan untuk senantiasa memperbaharui iman oleh sahabat dan guru pembina yang berkumpul dalam lingkaran cahaya. Alhamdulillah di jenjang SMA, saya juga masuk sekolah yang terbilang favorit untuk ukuran kota kecil saya. Mengasah otak melalui lomba dan olympiade, juga membuka kesadaran untuk mulai menghafal Al-Qur’an, karena memang menjadi salah satu syarat untuk lulus.

Masa-masa heboh selepas SMA dan mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi. Dan lagi, Alhamdulillah Allah berikan nikmat diterima di dua perguruan tinggi.
Masa-masa di perguruan tinggi, bergelut dengan bayang-bayang DO, Alhamdulillah masih selalu mendapat nilai memuaskan, walau memang bukan yang tertinggi. Mengisi hari dengan berbagai kegiatan, mengenal banyak orang dari seluruh penjuru Indonesia.

Dan kini di kehidupan kerja, Allah tempatkan saya di instansi yang memang saya pilih sebelumnya, walau banyak orang menyayangkan karena katanya gengsinya lebih rendah dibanding instansi kementerian keuangan yang lain. Tapi toh, tak pernah saya merasa ambil pusing dengan hal itu. Ditempatkan sementara untuk magang di direktorat yang menyambut saya layaknya menyambut kelahiran anak pertama. Satu ruangan dengan orang-orang yang hingga kini bila mengingatnya membuat saya berjuang keras menahan titik air mata karena rasa syukur (akan saya bahas lebih lanjut tentang beliau-beliau di cerita lain). Semuanya terasa sempurna, sungguh. Hingga hari penempatan yang sebenarnya akhirnya tiba.

Kami dikumpulkan sore itu,rencananya di aula utama kantor, tapi ternyata masih ada acara di tempat itu bahkan hingga  hampir selesainya jam kantor, akhirnya kami di alihkan ke aula kecil di sebelahnya. Sore itu, saya baru tahu, seperti apa rasanya deg-degan menunggu sesuatu. Saya baru sadar dan terpikir, tempat yang tertera di amplop yang betuliskan nama kami masing-masing akan menjadi tempat yang sangat menentukan, bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk sisa hidup kami selanjutnya. Maka saat bagian kepegawaian memberikan wejangan dan bercerita tentang penempatan pegawai dari penerimaan sebelumnya yang diramaikan oleh air mata, kami hanya tertawa. Bahkan lebih tertawa lagi saat beliau sengaja menyiapkan dua box tissue sebelum menyerahkan amplop kami masing-masing.

Tapi, sore itu saya tahu seperti apa perasaan mereka yang hanya saya dengar daricerita-cerita kakak tingkat, saya tahu seperti seperti apa sakitnya berusaha menahan air mata di tengah ramainya gegap gempita penuh tangis dan tawa, dan saya merasa bodoh telah menertawakan diri sendiri. Saya baca surat dalam amplop  itu untuk sekian kali, namun sayangnya harapan saya bahwa isinya akan berubah tak jua terjadi. kejadian yang paling tidak saya harapkan terjadi. Saya di tempatkan di Kantor Pusat, Jakarta.
Bukan hanya karena keinginan saya untuk ditempatkan dikantor vertikal daerah tidak terpenuhi, tapi saya ditempatkan di direktorat yang paling saya hindari. Hahaha mungkin ini cara Allah menegur saya.

Itu beberapa hari yang lalu, dan hingga hari ketiga pasca pengumuman, mood saya masih berantakan total. Belum berani banyak bercakap dengan teman-teman di kos, karena saya takut saya atau mereka salah satunya bisa tersakiti. Bahkan ucapan selamat yang tulus dan berbagai pesan turut bahagia terasa mengiris hati. Telepon dari orang rumah juga sempat saya abaikan, hingga memang pada akhirnya tetap keluarga yang menjadi tempat pelampiasan saya. Tangis yang tertahan sekian lama tertumpah beberapa jam lewat telepon, dan mereka masih sabar mendengarkan tanpa diputus, walau yang terdengar hanya isak dan tarikan nafas susah payah karena hidung tersumbat. Setelah nangis, merasa sedikit lega karena sudah ada yg dilepas, walau hati belum sepenuhnya menerima. Ah, dan saya berpikir, di usia twenty something ini pun, sikap childish dan ekstrem mood swing masih belum bisa saya atasi. Amplop itu saya simpan jauh di laci terdalam almari pakaian. Tapi sesungguhnya hal itu sia-sia, karena isi amplop itu terekam jelas di otak saya hingga  titik komanya.


Teringat lagi, dua minggu lalu masih sibuk berpikir tentang sempurnya hidup ini. Ternyata semua tantangannya baru dikeluarkan sekarang, sekaligus.

Lucu.
Lucu sekali. 
: D

2 komentar:

  1. Semangat tsuza~semua pasti ada hikmahnya :D *sok bijak banget saya ya :p

    BalasHapus
  2. makasih ndy ^^
    semua akan baik0-baik saj (9~,~)9 #mensugesti diri sendiri

    BalasHapus