aku meringkuk dibatasi dinding harga diri yang kadang terlalu tebal
aku mengawasi dengan mata yang kian hari berusaha kian tajam
aku tergugu karena berkali-kali kaki ingin melangkah, namun ranting malu kembali merengkuh kuat
aku terdiam, ragu dan tak tahu bagaimana cara mendekat ke arahmu
aku menghela, antara pekik bahagia dan perih atas semua komunikasi satu arah yang kita bangun (tepatnya bukan kita, tapi aku)
aku cukup bahagia hanya dengan melihat warnamu, walau dari kejauhan (tak akan pernah lebih dekat)
ironisnya, dilain sisi, kau bahkan tak tahu ada seonggok makhluk bernama aku
*lamaaaaaaaa tidak buka blog,
*sekalinya ngeblog malah random :P
Hidup ini indah. Kau hanya harus menyadari beberapa hal. sesederhana buram jendela karena tempias hujan, sesederhana ribuan lagu yang tak pernah berhenti bersenandung. sesederhana derai sunyi yang menenangkan. hidup ini indah, karena bahagia itu sederhana.
Selasa, 19 Juli 2016
Kamis, 12 Mei 2016
*random*
Kita biasa berjalan beriringan
Kadang sambil menertawakan hal konyol hari itu
Kadang terdiam sama-sama lelah akan hari yang panjang
Di kali lain saling berkeluh, tentang hari yang entah
kenapa begitu menyebalkan
Kita sering berjalan bersama
Bukan karena kita dekat (fisik maupun batin), mungkin,
sepertinya itu buah dari rutinitas
yang berulang setiap saat
Lalu lama-kelamaan menjadi sebuah kebiasaan
Kita tetap berjalan bersama
Tapi kini lebih sibuk dengan pikiran masing-masing
Fisik kita tetap disitu, berjalan bersisian
Tapi lama-lama pikiran telah mengembara jauh entah kemana
Lalu malam ini, kita kembali berjalan bersama menyusuri
jalanan yang sudah terlalu hafal seluk beluknya
Aku tergoda untuk memberhentikan langkah
Dan memandangmu tetap melangkah jauh ke depan
Lagi dan lagi, hingga akhirnya kau menghilang di belokan
kecil di ujung jalan
Aku hanya bisa tersenyum lemah, menyadari betapa langkah
bersama kita memang hanya rutinitas semata
Kau, bahkan tak menyadari aku tak berjalan di sisimu saat
itu
Kamis, 31 Maret 2016
Lantang atau diam, (dia) itu cinta {7}*
Entah sejak kapan, si gadis merasa dirinya lebih periang,
ah, periang mungkin bukan kata yang tepat juga, sebutlah lebih banyak berkata
dan berbincang dengan orang lain. Ia masih merasa kikuk, tapi tak lagi
sesungkan dulu. Lebih banyak tersenyum, dan dibalas senyum oleh lebih banyak
orang. Mulai bercanda ketika selintas berpapasan dengan beberapa orang di
koridor menuju kubikelnya, mulai balas menggoda bila ada yg iseng mencandai dan
menggoda. Ia jadi lebih ramah dan banyak teman. Kalau kata si gadis, ia mulai belajar
menjadi makhluk sosial.
Berbanding terbalik dengan penerimaan dari kebanyakan orang,
ada satu sosok yang tak cukup bergembira dengan perkembangan ini. Ia, sang
pemuda.
Sang pemuda merasa si gadis mulai berubah, dan kebiasaannya
memerhatikan si gadis dari jauh, lamat-lamat terganggu dengan banyaknya orang
yang kini berinteraksi dengan gadis itu. Tak ada lagi kejadian masuk lift
buru-buru lalu meringkuk diam di sudut, tak ada lagi jam istirahat siang
dihabiskan dengan membaca buku di taman bermain kecil tak jauh dari kantor, tak
ada lagi adegan si gadis memandang jauh dari jendela kaca dengan kotak minuman
rasa kacang hijau tergenggam di tangan dan sedotan tertempel di bibir untuk
sekian lama (seringkali si gadis mungkin justru lupa untuk menghabiskan minumannya),
tak lagi si gadis pulang dengan diam lalu membungkuk hormat pada semua yang
berpapasan (kini setiap pulang, si gadis selalu menyapa riang ke semua orang,
melambai mengabarkan kepulangannya), dan yang pasti, tak ada lagi senyum
canggung dan percakapan kaku di antara mereka, si gadis kini bahkan selalu
menyapanya, lalu dengan ringan bertanya kabar atau sekedar topik tentang jadwal
rapat hari ini.
Si gadis dan ia memang jadi lebih banyak kesempatan untuk
sekedar bercakap, tapi ia tak suka itu. Sangat tak suka.
*judul terispirasi dari Qoutes Tasaro GK
Rabu, 30 Maret 2016
Malam itu, kau menghela nafas di ujung sana, lalu berujar,
“Kamu terlalu baik”.
“Kamu selalu mengalah untuk menuruti kemauan orang lain,
walau pada akhirnya justru kamu sendiri yang direpotkan dan kewalahan”
“Kamu sadar gak sih? Mungkin bisa jadi itu bukan karena kamu yang baik, bisa jadi kamu terlalu ingin untuk dipandang baik. Sampai-sampai kamu mengalah pada kebanyakan hal kemudian merasa susah sendiri. Kalau kamu baik, kamu tidak akan mengomel
dalam hati, kamu tak akan datang padaku dan berkeluh kesah macam ini.”
“Coba pikirkan lagi, ini kamu lakukan untuk apa, siapa, dan
kenapa?”
“Coba sesekali berhenti untuk terlihat baik di depan orang-orang”
“Nyatanya, bahkan untuk hal kecil macam tadi saja orang tak mau mengalah
kan? Tak semua yang kamu lakukan akan dibalas sama oleh orang
lain”
“Mulai sekarang, tiap kamu ingin mengalah dan berbuat baik,
ingat ucapanku ini, “Benarkah ini yang terbaik? Untukmu dan mereka? Atau ini
hanya akan sama-sama menyakiti masing-masing dari kalian secara pelan-pelan? Kau dengan semua kerepotan dan masalah yang kau simpan, mereka dengan semua sikap tak mau tahu dan rasa di atas angin”
"Sudah waktunya kamu untuk mengurangi kepedulian dan kepekaan
yang berlebihan."
Lalu kita sama-sama terdiam, hanya saling mendengarkan irama nafas masing-masing hingga paket telepon murah seratus menit itu berakhir.
Jumat, 18 Maret 2016
Mencintai Agama Tanpa Memusuhi Negara
Perbincangan tentang Agama, Jakarta, dan politik.
Dalam bukunya, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Abanganda Tere
Liye pernah menulis, “tidak ada niat
yang boleh dicapai dengan cara buruk, dan sebaliknya tidak ada niat buruk yang
berubah baik meski dilakukan dengan cara-cara baik”.
Terlepas dari semua pro-kontra soal benar-salah atau gejolak
kancah politik yang konon kian memanas, agaknya akan jauh lebih arif bahwa
membela yang benar pun dilakukan dengan cara yang bijak dan teduh, bukan
sebaliknya malah turut menyerang.
Betul, iman yang paling utama adalah mencegah kemungkaran dengan perbuatan,
jika tidak sanggup lalu dengan perkataan, jika pula tak sanggup maka dengan doa/hati,
dan itu adalah selemah-lemah iman (sebagaimana disebutkan dalam hadits Arba’in
ke-34 yang diriwayatkan Imam Muslim).
Tentu saja, saya pasti tak lebih baik dibanding
beliau-beliau yang memilih berbuat secara nyata, walau mungkin
akan lebih indah bila jalannya sedikit “berbunga”. Menjadi pelajaran untuk diri sendiri juga, agar tidak hanya dapat membatin dan berkomentar dalam hati.
Selasa, 15 Maret 2016
Safar ke Taman Safari
Entah sejak kapan dan siapa yang memulai hingga akhirnya kami
menyebut diri kami sendiri kumpulan “Gajebo”. Entah itu akronim dari “Gak Jelas
Boo..” atau “Gaya, Jenius, Bombastis..” atau apapun itu hahahaha. Yang jelas,
kata itu resmi jadi nama kumpulan kami di media sosial bersimbol tanda telepon
hijau itu.
Kami hanya berlima, keempatnya melalui masa remaja yang sama
di tanah kelahiran yang sama dan yang terakhir bertemu dengan salah satu dari kami ketika mereka sama-sama berjuang meraih titel Sarjana. Kami berlima kemudian bertemu jauh di tanah rantau, Jakarta. Walau kini si nona yang menjembatani kami dengan yang kelima sudah kembali lagi
ke tanah Sumatera, nyatanya kami tetap heboh dan tak pernah merasa canggung satu sama lain.
Minggu pertama Maret 2016.
Tiba-tiba tercetus ide untuk
bertemu lagi setelah terakhir bersua lima bulan yang lalu. Pahawang menjadi
tujuan pertama. Manajer perjalanan yang membuka open trip sudah dihubungi,
rencana mulai disusun, namun demi mengingat bahwa air laut, hujan, badai, dan
ketidakbisaan kami berenang adalah kombinasi yang tak meyakinkan, rencana itu pun tandas (untuk sementara).
Selanjutnya, isu beralih ke Kawah Putih. Rencana disusun
ulang, itinerary lengkap pun sudah dirinci. Kawah Putih, Perkebunan Teh
Rancabali, Pemandian air panas Cimanggu, Saung Angklung Udjo, Jalan Asia
Afrika, Mesjid Agung Bandung, dan Alun-alun adalah destinasi utama yang hendak
dikunjungi Sabtu dan Minggu. Rental mobil sudah dicari, penginapan hampir deal. Tapi di detik terakhir, rencana itu lagi-lagi buyar.
Dan entah bagaimana ceritanya, alhasil Sabtu itu kami justru
terdampar di Taman Safari, Cisarua-Bogor.
Cerita dimulai dengan malam yang hectic dan bersempit-sempit di satu
kamar yang idealnya memang hanya diisi oleh satu orang, dilanjutkan dengan
pesta durian, bahkan karaoke tak jelas sambil mengerjakan tugas kantor maupun
tugas kuliah masing-masing. Esoknya, perjalanan ke Cisarua diwarnai dengan cerita jalur
Puncak yang buka-tutup, untungnya memang gak akan pernah bisa anteng dan garing
kalau bepergian dengan manusia-manusia langka ini V_V.
Berkunjung ke Bogor dan sekitarnya yang memang sudah dikenal sebagai kota hujan, pada musim hujan pula, adalah
s.e.s.u.a.t.u.
Hujan, Basah. Becek, Lumpur bercampur jadi satu. Pulang-pulang kami tertawa sendiri ketika di angkot aroma dari kiri kanan tercium wangi karena orang-orang bersiap malam minggu, sedangkan kami mungkin sudah dihinggapi bau dari puluhan jenis satwa-satwa hahahaha.
Bous Tour-nya disambut dengan hujan ^^
Ketika melewati zona hewan buas ini, cuaca kembali cerah (macan-nya sadar kamera :P)
Hujan (lagi).. Alhamdulillah...
Jerapah-nya malah jadi senang, makanan-nya lebih segar mungkin ya? :D
Yang menang soal ekspresi adalah sang gajah :D .
lupa nama gajah-nya :(
menikmati Baby Zoo yang meliuk-liuk layaknya jalan tol empat lapis
Hijau...hijau..hijau sejauh mata memandang. menyenangkan..
Bagi yang mau, bisa foto bareng dengan tambahan biaya
(Kasihan sebenarnya, haraimau-nya lelah kayaknya, wajahnya malas-malasan T.T)
Dolphin Show. Kereeen
(Mudah-mudahan mereka diperlakukan dengan baik dan tidak diajari show dengan sistem lapar )
Gelang yang susaaaaaaaah sekali untuk dicopot. kena air wudhu berkali-kali gak lapuk juga. baru bisa dilepas dengan memakai gunting setelah sampai di kosan hahaha
Ada bianglala dan berbagai wahana lainnya juga XD
sayangnya hanya sempat naik roller coster dan masuk ke rumah hantu. Bianglala, histeria, ontang anting (gak tau nama wahana di sini, tapi kita samakan saja dengan namanya di Dufan :P) tidak sempat dikunjungi karena hujan deras kembali menyambangi.
Setelah bermacyet-macyet di jalan turun, Alhamdulillah pulangnya sempat mampir makan di Cimory Riverside.
Suasananya menyenangkan untuk hang out. Kalau soal makanan sih standar, baik rasa dan harga.
Sekian.
Ah, dan jika kapan-kapan anda sempat mampir ke Taman Safari, jangan
lewatkan Cowboy Show-nya ya... Menurut saya, itu salah satu yang bikin main
ke sini worthed sekali :D (sayangnya waktu itu tidak ambil foto sama sekali,
sudah terlalu fokus menonton ^^)
Ayok kapan kemana lagi, Gajebo? Memanglah, bersama kalian gak bisa jaim.
Keterangan:
Tiket masuk : Rp150.000/orang
Fasilitas : Bus Tour ke berbagai zona liar tempat tinggal satwa, gratis main berbagai wahana
Biaya tambahan : Rp15.00 untuk naik kereta wisata seharian
Jumat, 11 Maret 2016
kamu anomali
Kamu itu biru.
Yang mengembang dalam semburat kecil merah muda.
Kamu itu hitam.
Yang memanjang dalam sejumput abu perak.
Kamu itu merah.
Yang menyala di atas segaris kelopak hitam.
Kami itu anomali.
Yang membeku keras di permukaan, tapi leleh mencair di arus
bawah.
*Yakin bakalan diketawain si nona ini kalau dia tahu kata-kata di atas terispirasi dari mana ;'D
Jumat, 12 Februari 2016
Namanya Permata
Namanya Permata.
Bukan nama sebenarnya, walau nama aslinya memang masih tak
jauh dari defenisi berbagai batu berharga itu
Namanya Permata.
Aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Ketika pertama kali
menginjakkan kaki di ruang segi-empat yang sehari-harinya dihuni dua puluh
empat orang. Bersama sejak matahari bahkan belum penuh benar hadirnya, hingga
senja ketika matahari akan bersiap pulang.
Namanya Permata.
Dan seperti namanya, ia memang istimewa sejak dulu. Ia orang
yang dengan mudah dekat dengan siapapun. Ia orang yang dengan santainya
bercanda dengan guru yang galaknya saja membuat murid-murid memilih memutar
jalan jika berpapasan. Ia orang yang dengan riangnya tertawa dan berlari macam
anak kecil, bergelantungan di jerajak pintu tanpa sadar berat bobotnya (V_V),
yang berlari saling mengejar di lapangan sekolah yang luas hanya karena hal
sepele dan kekanakan, yang dalam diamnya menyimpan banyak rahasia karena hampir
semua makhluk di ruang segi-empat itu kadung nyaman dan percaya padanya untuk
bercerita segala hal.
Namanya Permata.
Dan seperti permata, kemampuannya tak bisa kau pandang
sebelah mata. Berturut-turut ia buktikan bahwa level otaknya jauh di atas, di
kasta kaum bangsawan. Namun hal itu sama sekali tak membuatnya merasa duduk di
dunia berbeda. Tatkala hampir semua dari kami penghuni ruang segi empat itu
memilih untuk konsentrasi ke ruang lain demi mempersiapkan tempat yang lebih
baik setelah pergi dengan terhormat dari ruang segi-empat itu, dia mungkin
satu-satunya orang yang memilih tak kemana-mana, cukup menekuni barisan kata
seorang diri. Self learning kalau
bahasa kekiniannya. Dan, ketika hari pengumuman ruang baru yang menentukan
hidup itu terjadi, nyatanya dia menjadi bagian dari sebagian kami yang
tersenyum sumringah. Sekali lagi, semakin dia membuktikan bahwa memang pantas
ia bernama Permata.
Namanya Permata.
Dan seperti hal-nya permata yang harus melalui banyak tempaan sebelum sepenuhnya bersinar, ia pun demikian. Usia belasan tahun, ayahnya
berpulang karena ulah dari beberapa orang jahat, meninggalkan ia, ibu, serta
saudara-saudara yang juga terkena dampak tulah jahat itu. Sejak itu, wajahnya
semakin pucat, dan pada beberapa kesempatan kesehatannya tampak menurun. Tapi sekali
lagi, bukan permata jika ia berhenti bersinar.
Beberapa bulan sejak kami semua resmi meninggalkan ruang
segi-empat itu dan berpencar pada ruang-ruang lain di penjuru negeri, lewat
sebuah pesan singkat dari teman yang lain kudengar kabar duka. Ibunya, telah
pergi menyusul ayahnya. Satu hal yang hingga kini masih susah kupahami adalah
aku benar-benar terdiam. Tidak merasa berani untuk menghubungi mengucapkan
turut berduka, bahkan walau hanya sekedar lewat pesan singkat. Berita itu
justru segera kukabarkan pada orang rumah, yang besoknya kemudian hadir ke
sana. Dia terlihat tegar kata mereka.
Sejak itu, dia dan saudaranya yang lebih tua menjadi tonggak
mengepul tidaknya dapur mereka. Tapi itu tetap tak bisa memadamkan sinar yang
terpancar, dia tetap riang, tetap seperti dulu. Tak sekalipun menyisakan kelabu
awan dalam setiap perjumpaan. Iya, dia kuat seperti permata.
Namanya Permata.
Bertemu dengannya hanya beberapa kali dalam setahun. Komunikasi
pun tak serutin orang lain, dia paham mungkin jika aku adalah orang yang kikuk
dalam hal satu ini. Tapi setiap kali bertemu, kami tak bosan berbincang bahkan
sehari semalam. Terakhir bertemu, dua minggu yang lalu, kami bercakap-cakap
sejak pukul sepuluh pagi, jeda sholat dzuhur, berpindah tempat makan sambil
mengobrol, jeda sholat ashar, lanjut berbincang hingga maghrib, pindah tempat nongkrong,
lanjut bercakap sambil makan malam, hingga kemudian pulang ke kontrakannya dan
terus berbagi cerita hingga adzan shubuh menjelang. Orang bilang, diam itu
emas, tapi terkadang dengan bersuara dapat juga membuatmu memperoleh intan :D
Namanya Permata.
Dan sungguh betapa aku bangga mengatakan bahwa aku tahu,
kenal, dan dekat dengannya ^^
untuk kamu yang dilahirkan di akhir Januari dan selalu menginspirasi semua orang.
Rabu, 20 Januari 2016
Tamu di rumah sendiri
"Children all become guest as they get grow up"
Merasa tergelitik dengan qoute di atas ketika sedang
menonton drama tadi malam. Berawal dari si tokoh yang pulang ke rumah dan akan
kembali lagi ke asramanya di kota lain, saat ia pamitan ingin berpisah, orangtuanya
mengantarkan sampai di pintu, dan berpesan ini itu, hingga si tokoh hanya bisa
tersenyum dan berkata, “Iya.. iya.. aku selalu pulang kan? Kenapa aku
diperlakukan seperti tamu?” dan ibunya menjawab, “semua anak yang telah dewasa
akan menjadi tamu di rumahnya sendiri.”
Kalau boleh berpendapat, saya mungkin setuju, atau
setidaknya merasakan apa yang dimaksud si ibu dalam drama ini.
Saya mulai tinggal jauh dari rumah sejak usia dua belas tahun,
kelas 1 SMP. Hidup dan tinggal di asrama, hanya bisa pulang sekali dalam
dua minggu, itupun hanya dalam lima jam saja, mulai jam sepuluh pagi hingga jam
tiga sore. Tiap kali pulang dalam dua minggu, di rumah sudah disiapkan masakan
istimewa, istimewa karena makanan favorit saya (kecuali tumis tahu atau rebus pakis dianggap menu istimewa bagi orang lain hahaha). Juga sudah disiapkan buah apel (yang kala itu semacam buah yang sangat eksklusif) untuk
ransum selama di asrama nanti.
Lepas dari masa bersekolah, tahun-tahun menyelesaikan kuliah
pun saya lalui di Ibukota, sekian ratus kilometer jaraknya dari rumah. Hingga saat
mulai bekerja, harapan untuk setidaknya bekerja di kota dengan jarak tempuh ke rumah bisa dilalu tiap
akhir pekan tak kesampaian .
Tinggal jauh dari rumah seperti masa sekarang ini hanya
memberikan kesempatan untuk pulang setidaknya sekali dalam empat atau lima
bulan. Pun tidak bisa berlama-lama karena dibatasi oleh jatah cuti tahunan untuk pekerja gajian macam saya. Maka bersyukurlah
orang-orang yang setiap pagi masih terbangun oleh gedoran cerewet atau nasihat tak
henti orang tua, beruntunglah orang yang mungkin merasa jengkel karena dipaksa makan acap kali dan disuruh
tak pilih-pilih makan (macam anak kecil saja), dan berbahagialah engkau mahasiswa yang masih bisa
menghabiskan berbulan waktu dengan leyeh-leyeh di rumah :D
Seringkali iri menyambangi kala menelepon ke rumah dan
terdengar ramai suara di seberang sana. Ketika mereka tertawa-tawa atas hal
lucu yang mungkin terjadi di rumah belakangan, ketika ibu marah-marah kepada
abang dan saya hanya diam mendengarkan lewat telepon, ketika mereka mengobrol
atau mengeluh sesama mereka tentang sayur hari ini yang keasinan atau telur
dadar yang gosong, atau hal-hal kecil seperti keran yang sedang rusak, atau remote
TV yang hilang entah kemana. Rasanya iri, iri sekali. Saya seolah merasa jadi
orang luar yang tidak tahu apa-apa.
Masa-masa pulang ke rumah semakin menegaskan bahwa mungkin
saya mulai dianggap tamu. Dua jam pertama biasanya kami habiskan dengan
bercerita, kemudian saya makan, lalu beranjak ke wastafel tempat mencuci
piring. Dan rutinitas saya setiap pulang ke rumah tiga tahun belakangan adalah,
langsung membersihkan kerak-kerak kotoran di keramik wastafel, yang langsung
diprotes oleh ibu dan bapak (terutama bapak). Saya pasti disuruh tidur,
istirahat, ditanyain mau makan apa saja selama di rumah, ditanyain apa saja yang
perlu diurus selagi di rumah, ditanyain ada sakit atau apa yang perlu
diperiksakan ke dokter selagi di rumah. Saya senang, pastinya. Tapi mungkin
lebih bahagia lagi kalau bisa pulang lebih sering.
Tapi apapun, rasa syukur tetap harus dinomorsatukan. Saya
tau banyak orang yang berharap sebaliknya. Yang ingin merasakan hidup mandiri
di kota lain tapi tidak diizinkan, yang ingin berkuliah di kampus jauh tapi tak
direstui, atau mungkin yang ingin setidaknya tinggal berjarak dari rumah agar
kehadirannya lebih dirasakan, dan tentu agar ada momen untuk “pulang”.
Ayo kita pulang, selagi ada waktu, kesehatan, dan kesempatan.
Selasa, 19 Januari 2016
Petrichor, Simfoni Hujan
Kamu tahu apa itu petrichor? Iya, memang terdengar aneh dan
rumit. Mungkin akan mengingatkanmu pada buku kimia dan perpustakaan, atau bisa
jadi guru eksakta jaman SMA yang galak. Tapi aku tidak sedang ingin membahas
nostalgia masa belajar itu sekarang.
Keisengan yang timbul akibat hujan deras sore ini
mengantarkanku pada berbagai jendela laman yang membahas bau harum yang
ditimbulkan hujan. Dan salah satu bau itu disebut Petrichor. Kata Petrichor
sendiri diciptakan oleh dua ilmuwan Australia, Isabel Joy Bear dan R.G. Thomas
pada tahun 1964. Penelitian mereka tentang aroma hujan kemudian dipublikasikan
di jurnal Nature “Nature of Agrillaceous Odor”. Petrichor berasal dari kata
petra yang berarti “batu” dan ichor yang berarti “darah dewa”, keduanya
adalah bahasa Yunani.
Petrichor utamanya disebabkan oleh dua hal, yaitu minyak
yang menguap dari tumbuhan dan geosmin yang dilepaskan oleh mikroba. Tumbuhan mengeluarkan
sejenis minyak yang mudah menguap, minyak tersebut bereaksi dengan tetesan
hujan dan dilepaskan sebagai gas ke udara. Sedangkan geosmin adalah senyawa
organik yang dihasilkan oleh beberapa mikroba yang hidup di tanah, air tawar,
dan air laut. Geosmin dilepaskan ketika mikroba mati, dan saat terkena terpaan
air hujan, geosmin terangkat ke udara dan terciptalah aerosol partikel geosmin
dalam udara. Geosmin juga menjadi penyebab ikan air tawar seringkali berbau seperti
tanah.
Aku tidak tahu banyak sih tentang Petrichor. Tapi cukuplah
menjadi semacam bukti, bahwa bahkan sensasi melankolis sehabis hujan pun
ternyata didasari fakta-fakta ilmiah yang menarik jika kita mencari tahu.
Kapan-kapan, mungkin akan aku ceritakan padamu tentang
pluviophile dan nyctophilia.
Dari berbagai sumber
Hallo,
Tuan
Sore
ini mendung. Walau siang tadi mentari seakan begitu bersemangat membagi cahaya. Peluh
menetes, makan terasa lebih nikmat di cuaca ini apalagi sambal yang pedasnya
mendukung untuk berkeringat lebih.
Hallo,
Tuan
Sore
ini hujan. Mendung yang tadi menggelantung segera berubah jadi gelap yang
menyeruak. Bunyi deras hujan dan gelegar guntur terdengar jelas dari lantai
sebelas ini. Sekali lagi, mungkin menunggu sejenak untuk dapat kembali ke surga
3x2,5 meter itu.
Hallo,
Tuan
Lama aku
tak mengunjungi. Pun kau berbulan tak menyapa. Hanya memori lama yang terus
kuputar. Terlalu sering hingga bahkan aku hafal detik, jeda, bahkan hela nafas.
Hallo,
Tuan
Hujannya
mulai mereda. Cepat sekali ternyata. Hanya butuh waktu untuk menyelesaikan satu tulisan serabutan ini. Dan aku mulai berasumsi di luar nalar lagi, bahwa Tuhan
mengirimkan hujan untuk menyentak orang-orang yang terpisah agar merindu.
Hallo,
Tuan
Sepertinya
aku akan bersiap pulang.
(Masih tentang) Palembang, dalam lensa 5 MP
Jumat, 8 Januari 2015
Perjalanan menuju Bandara Soekarno Hatta dalam taksi putih, senja menjelang.
Scrapbook apa adanya, yang diselesaikan di sela-sela menunggu dan selama penerbangan (dan dibungkus apa adanya dengan kertas kado tanpa gunting, akibat gunting yang kita sediakan disita di counter X-Ray Bandara hahahahaha)
Salah satu ikon Plaembang, masih di sekitaran pinggir Sungai Musi. Sayangnya cuma bisa foto2 benteng luarnya :D
Jembatan Ampera yang cerah tetapi mendung ^^
Di kejauhan tampak Pasar 16 Ilir, pasar grosir dan tempat semua jurusan angkot bermuara
Tongkang milik PT PUSRI
Pulao Kemaro. Samar-samar terlihat penampakan klenteng dan Pagoda.
Jalan dermaga Pulau Kemaro
Tangga Naga (kyaaaa Nagaaaaa *salah fokus)
Penampakan Pagoda (sayangnya tidak bisa ambil foto dari angle lebih kece, antriiiiii mak oii...)
Patung Budha Emas yang jadi salah satu ikon Pulau Kemaro
Legenda Pulau Kemaro. Dan....kok ternyata agak serem ya... -_______- hahahahaha
Soemantri Brodjonegoro? Ini Kapalnya keluarga Pak Menteri?? Numpang Pak....
Bapak navigator ini sejak berangkat posenya gak nahanin.. Fotogenik sekali hahahaha
Jembatan Ampera di malam hari. Jauh lebih indah bila dilihat langsung (maklumi kamera ponsel)
Pasar malam di pinggiran Sungai Musi. Hampir naik Kora-Kora dan Bianglala, tapi berhubung naik bianglalanya harus 4 orang, gak jadi deh (pengalaman krik krik krik naik bianglala di Dufan dan jadinya malah nontonin org pacaran hahahaha)
Yeayyy akhirnya resmi ke Palembang setelah makan Pempek Vico (setelah sebelumnya melakukan hal konyol, nungguin tokonya buka dari depan PIM hingga jam 10-an, padahal ternyata udah buka dari tadi, yang baru buka itu toko khusus kemplang dan kerupuk -__-")
Angkot Palembang yang unik. Semua penumpang menghadap depan dengan tiga baris tempat duduk. Irit kata karena kalau mau turun tinggal pencet bel yang ada di kiri-kanan penumpang.
Dua hari di Palembang kami sudah hafal rute-rute angkot, dan beneran jelajah Palembang bermodalkan angkot hahahaha. Terima kasih untuk Palembang yang ramah sekali terhadap angkoters :D.
gambar ambil dari sini (gak sempat foto hehehe)
Pengalaman yang menyenangkan di Palembang. Sayangnya belum sempat mengunjungi Galeri Al-qur-an Akbar di Pesantren Al-Ihsaniah, Gandus, yang menyimpan ukiran-ukiran raksasa Alqur-an 30 juz, juga Hutan Wisata Punti Kayu (yang kata mertuanya pengantin adalah tempat jin buang anak hahahahaha). Semoga ada kesempatan berikutnya untuk menyambangi dua tempat yang belum sempat dikunjungi ^^
Terima kasih Palembang atas pengalaman yang menyenangkan :D
Senin, 18 Januari 2016
Bapak tua di dekat Kosan
Jakarta, 23 November 2015
Di dekat kosan, jarak satu rumah ke arah kiri, tepatnya di
samping rumah pak RT, di teras depan pagar rumah itu, setiap malam selalu
ditempati oleh seorang bapak. Seorang bapak yan telah sepuh. Dari perawakannya,
kutebak berumur 50 atau 60-an.
Bapak ini biasanya hanya duduk diam sambil memeluk lutut.
Jarang kulihat si bapak berinteraksi dengan orang sekitar. Di sebelah kirinya
ada tas plastik besar yang lagi-lagi kutebak berisi semua harta benda yang dimiliki si
bapak.
Tidak tahu sejak kapan bapak itu ada di sana, lama-lama kami
jadi terbiasa dengan adanya beliau. Tiap berangkat pagi menuju kantor, si bapak tidak di “tempat
tidur” nya, tapi di jalan depan yang lebih ramai. Duduk di pinggir jalan,
memeluk lutut, dan di depannya sebuah toples plastik kosong, namun sepertinya
belum pernah kulihat bapak itu menengadahkan tangan ke orang-orang yang lewat.
Beliau hanya duduk diam, sambil memandang kosong, memeluk lutut. Malamnya,
sepulang dari kantor, sebelum membuka pagar, selalu ada bapak tersebut, sudah
di “tempat tidur”nya, terkadang sudah meringkuk tertidur, di kala lain masih
duduk tegak sambil mengipas-ngipas, mungkin kegerahan.
Beberapa kali kami pernah bertanya-tanya tentang bapak tadi.
Kasian tidur nya di sana, mandinya bagaimana ya? Dan seterusnya.
Dan rasa iba kian bertambah ketika salah seorang anak kosan
mendapatkan info bahwa bapak tersebut dulunya punya rumah, tidak jauh dari
tempat kami kos, beda kelurahan saja. Rumah tersebut entah bagaimana ceritanya
akhirnya ditempati anaknya, yang singkat cerita akhirnya mengusir si bapak tadi.
Hingga kemudian bapak tersebut mencari tempat tinggal lain, dan berakhir di
teras depan sekitar kos kami.
Beberapa kali sepulang rapat, atau ketika ada makanan kotak
di kantor, kusempatkan untuk bawa pulang, lalu pelan-pelan saya letakkan di
samping bapak yang sudah terlelap, dan buru-buru pergi takut bapaknya
terbangun. Beberapa kali begitu, hingga Ramadhan lalu, ketika membeli pakaian
untuk oleh-oleh orang rumah, saat memilihkan kemeja untuk bapak, tiba-tiba
teringat bapak itu, akhirnya saya belikan beberapa pasang yang lain dengan
ukuran berbeda. Pun ketika Ramadhan kemarin saya mengikuti diklat dan kami diberi
fasilitas yang lumayan, saat sendal2 yang dibagikan sama sekali tak dilirik
oleh peserta diklat, saya tiba-tiba teringat bapak tadi lagi, akhirnya saya
bawa pulang dua pasang sendal itu. Si bapak tersenyum, dan
untuk pertama kalinya saya mendengar suara beliau. Sebuah ucapan terima kasih.
Seminggu ini ada yang berbeda.
Saya pulang kosan dan tidak melihat beliau tertidur seperti
biasanya. Berangkat pagi pun, tidak melihat beliau di pinggir jalan tempat
bisas beliau duduk. Awalnya saya berpikir beliau mungkin lagi mandi, mungkin
sedang kemana. Tapi sekarang, sudah lebih seminggu dan sama sekali tidak
terlihat keberadaan beliau. Teras kecil itu kosong, hanya menyisakan karung putih
yang selalu ada di situ sejak dulu, mungkin milik beliau. Ingin bertanya,
tapi bingung pada siapa.
Ah, yang pasti, tiba-tiba ada yang aneh. mungkin semacam kehilangan karena ada rutinitas yang berbeda.
Semoga beliau ada di tempat yang lebih baik. Semoga sekarang
sedang berkumpul dengan keluarganya. Aamin...
Jumat, 15 Januari 2016
Palembang, you called it bestfriend’s wedding
Akhir november, kabar bahagia itu tiba. Belum ramai
dibicarakan memang, karna hanya sekadar bisik lirih yang kau tujukan pada kami
berdua. Merencanakan perjalanan ke tanah Sriwijaya. Tempat yang baru, pengalaman
baru.
Akhir Desember, tiket Jakarta–Palembang dan Palembang-Jakarta
sudah di tangan. Penginapan sudah diurus oleh sang “bride to be”. Tinggal
menunggu hari untuk berangkat sembari merencanakan akan dihabiskan kemana saja
waktu 2 hari itu.
Jumat Malam, 8 Januari 2016. Hujan menyambut kami di Bandara
Sultan Mahmud Badaruddin II. Masih pukul 21.20, tapi suasana sudah sangat
lengang. Entah penerbangan JT-332 itu merupakan penerbangan terakhir atau
tidak. Seorang juru mudi taksi menawarkan jasa, maka menumpang taksi berwarna
putih dengan lambang koperasi itu lah kami menuju pusat kota, ke tampat yang
sebelumnya sudah diberitahu oleh sang tuan rumah.
Empat puluh menit waktu yang dibutuhkan untuk sampai di
pusat kota, persis di depan rumah yang esoknya akan menjadi tempat akad nikah.
Disambut payung dan beberapa anggota keluarga calon mempelai pria, kami
digiring menuju rumah, dihidangkan makan malam (yang mau tak mau harus
dinikmati walau sudah kenyang). Bercakap sejenak sembari menunggu hujan sedikit
lebih bersahabat. Diantar calon mempelai pria, kami berangkat menuju
penginapan. Sang calon mempelai wanita? Sudah dipingit, disuruh beristirahat
untuk menyiapkan diri menghadapi hari yang panjang esok :D
Sabtu, 9 Januari 2016.
Kami tiba di tempat akad pukul 07.40, persis beberapa menit
sebelum persiapan pelaksanaan akad nikah dimulai. Maka kami turut berkerumum
bersama keluarga besar kedua mempelai, menjadi saksi mitshaqan ghalizha, janji
yang berat itu terucap (setelah sebelumnya mengintip ke kamar tempat sang
mempelai wanita sedang dirias).
Pukul 08.10
wajah-wajah bahagia begitu kata “sah” terucap semeakin berseri tatkala mempelai
wanita akhirnya muncul dan bergabung, mengambil tempat di sebelah suami (sudah
jadi suami :D). Selanjutnya, prosesi adat suap-suapan dan cacap oleh keluarga
kedua pihak. Dilanjutkan dengan resepsi beberapa jam kemudian.
Aku melihat kembali foto-foto yang menggunung di galeri
ponsel. Semacam balas dendam selama berkawan lima tahun ini tidak banyak
menyimpan foto masing-masing atau bahkan foto bersama, maka momen berbahagiamu
kemarin agaknya hampir terekam tiap detiknya lewat bingkai kamera, walau hanya
dengan ponsel beresolusi 5 megapixel ini.
Dan aku tersenyum lagi, melihat wajah-wajah bahagia itu
tertawa saat prosesi suap-suapan dan segala kekikukan kalian. Dan aku terharu
lagi, mengenang keramahan keluarga besar kalian menyambut kami, tamu yang hanya
menumpang sejenak tapi bahkan ikut dalam rombongan keluarga pria menyerahkan
hantaran (sebenarnya kita ini di pihak keluarga pengantin pria apa wanita sih?
Hahahaha)
Dan aku, kembali ingin menangis lagi, entahlah aku pun tak
tahu kenapa harus menangis di hari yang pastinya semua harusnya berbahagia.
Mari kita simpulkan saja bahwa tangis itu tangis bahagia, mungkin,
hahahahahaha.
Barakallahulakuma wa baraka alaikuma wa jama’a bainakuma fii
khoiir.
Selamat untuk kalian. Semoga rahmat Allah selalu menyertai.
Selasa, 12 Januari 2016
Sedap malam datang mengadu pada bunga matahari
Mengeluh pada Mentari yang katanya datang terlalu cepat dan jengah untuk segera pulang di senja yang cerah
Mengeluh pada Mentari yang katanya datang terlalu cepat dan jengah untuk segera pulang di senja yang cerah
Bunga matahari datang bercerita pada sedap malam
Protes mengapa mendung seringkali mengganggunya menikmati
cahaya siang, mulai kesal pada senja yang menjemput lebih cepat di hari-hari
hujan
Sedap malam dan bunga matahari tinggal berdampingan. Tapi berbeda
rasa dan kepentingan.
Mereka saling bercerita, untuk saling memahami, mungkin. Tapi
diam-diam, bisa jadi ada sakit yang terpelihara di jiwa kekanakan mereka.
Jumat, 08 Januari 2016
Setelah tiga tahun, tanya yang mengendap itu akhirnya
menguap
Beroleh jawaban atas duga dan segala asumsi.
Dan lihatlah, betapa lega dada ini ketika keraguan memang
sejatinya hanya penambah gamang
Rabu, 06 Januari 2016
jalan menuju ikhlas
Cukuplah di belakang layar.
Tak mengapa dirimu tak tampak, tak mengapa tepuk tangan tak
ditujukan pada engkau, tak mengapa namamu tak disebut atau mungkin diingat.
Tak mengapa.
Kau, masih tertatih belajar tentang ikhlas kan?
Inilah salah satu jalannya, mungkin sedikit berbatu, tapi tak apa.
Inilah salah satu jalannya, mungkin sedikit berbatu, tapi tak apa.
Tujuanmu kan ada di depan sana.
Sedikit berlelah tak mengapa.
Peluh itu menambah
nikmat perjuangan kan?
Senin, 04 Januari 2016
Istighfar, Hamdallah
Senin, 21 Desember 2015.
Merencanakan menghabiskan liburan 4 hari di akhir Desember dengan rafting dan sekalian sedikit “mendaki” Puncak Sikunir di Dieng bersama warga kantor. Demi ke-praktis-an, perlu mengenakan sendal gunung
yang tahan air. Singgah sejenak di pusat perbelanjaan yang berada di antara kantor dan kosan. Menyempatkan beberapa saat untuk berkeliling sambil memilih
sendal, lihat ini, lihat itu, dan begitu selesai mencoba, mata tertumbuk pada
tas ransel yang laci depannya sudah menganga lebar. Meraba sejenak. Handphone
Asus Zenfone 5 T00F yang berusia 1 tahun lenyap. Terdiam sebentar. Ber-istighfar.
Periksa dompet. Alhamdulillah aman. Lalu berjalan lagi, melanjutkan tujuan
semula sambil membenak agar yang hilang bermanfaat bagi yang menemukan dan agar
diri merasa diingatkan. Untuk berhati-hati, untuk melepas barang yang hanya jadi
titipan.
Langganan:
Postingan (Atom)