Kamis, 09 Januari 2014

cerita dari atas metromini

Hari ini saya menumpang kendaraan reot berwarna oranye itu lagi bersama puluhan orang yang berebut naik, lelah karena sejak pagi duduk di depan komputer atau mungkin tiba-tiba merasa gerah karena seharian terbiasa dengan semilir AC di ruang kerja.
Saya naik metromini yang sama dengan seorang rekan almamater yang juga kini jadi rekan kerja di kantor yang sama. Saya pertama kali kenal dengannya pada saat diklat pelatihan kerja. Teringat bagaimana teman-teman lelaki yang lain selalu bercanda sinis ketika bersama dia atau di lain waktu tertawa menyebalkan ketika namanya muncul dalam topik obrolan mereka. Hanya karena satu alasan, bahwa menurut mereka si teman tersebut “kurang maskulin”. Sebenarnya bukan itu istilah yang mereka gunakan, tapi sebut saja begitu karena mungkin itu istilah paling sopan yang bisa saya temukan.

Kembali ke cerita metromini dan si teman, lokasi kosan kita yang searah dan hanya bisa ditempuh dengan angkutan umum bernama metromini menjadikan kami sering bertemu di bis reot itu. Dia anak yang menyenangkan dan penuh humor, tidak terlalu rame tapi cukup ramah. Dan satu hal yang selalu saya perhatikan adalah bahwa dalam perjalanan pergi atau pulang kantor hampir tidak pernah dia duduk di metromini. Tidak, bukan karena tak kebagian kursi. Letak kantor kami masih di awal rute dan biasanya metromini yang melintas masih lumayan kosong, namun dia selalu memberikan kursinya untuk penumpang wanita yang lain. Beberapa penumpang pria terkadang memberikan kursinya untuk ibu-ibu yang sudah berumur, atau yang sedang hamil, atau yang membawa anak, atau yang menenteng banyak belanjaan. Tapi si teman ini rasanya tak pernah memilih-milih, seorang wanita kantoran dengan pakaian modis, anak sekolah yang tertawa cekikikan, ibu-ibu yang pulang belanja dengan wajah judes, atau teman-teman sebaya yang perempuan, selalu ia persilahkan duduk di kursinya dan ia memilih untuk berdiri.

Tadi sore kami naik metromini yang sama lagi, juga dengan beberapa rekan kerja saya yang lain. Semua kebagian tempat duduk, hingga beberapa meter kemudian naiklah dua orang ibu setengah baya. Yang seorang tampak berkeringat kelelahan sambil menjinjing bungkusan yang saya pikir adalah barang belanjaannya, sedangkan ibu yang lainnya berusaha mencari pegangan dan mengapit erat tas “Chanel” yang tersampir di bahunya. Seperti yang sudah saya duga, si teman tadi sigap berdiri, mempersilahkan ibu dengan plastik belanjaan itu duduk. Akhirnya saya memilih untuk berdiri juga, memberikan kursi untuk ibu dengan tas Chanel, yang ia sambut dengan senyum.
Saat itu saya banyak berpikir, memperhatikan gerombolan rekan kerja saya lainnya yang sibuk tertawa terbahak-bahak entah memperbincangkan apa. Padahal dua ibu tadi naik dari pintu depan yang persis dengan deretan bangku mereka, tapi sampai dua ibu itu duduk, tak sedikit pun perhatian mereka beralih, walau sejenak untuk melihat. Sementara si teman yang duduk hampir di kursi paling belakang cepat tanggap dan beraksi jantan.


Hingga malam ini saya jadi kepikiran dengan kejadian itu. Ah, di satu sisi mungkin ini efek samping gembar-gembor emansipasi wanita yang didengungkan banyak orang dan akhirnya ditanggapi berbeda oleh kaum lelaki. Tapi di sisi lain, saya jadi bertanya-tanya, ukuran apa yang teman-teman saya tadi gunakan untuk mencap seseorang cukup maskulin atau tidak. Karena dari kacamata saya, tingkah mereka tadi sore sungguh bukan perilaku seorang gentlemen sejati. Atau mungkin saya yang terlalu kolot dan menganggap dongeng-dongeng pangeran Disney itu benar adanya? Entahlah.