Rabu, 26 Maret 2014

Kronologis sebuah amplop

Senin, 17 Maret 2014
Kabar yang awal yang menyebutkan bahwa angkatan kita akan penempatan maksimal pada hari ini terbukti tidak benar. Karena disinilah kami, di sebuah gedung hotel di bilangan mangga dua, Jakarta. Bukan untuk rapat, juga bukan karena ikut nebeng makan gratis karena ada acara konsinyering dari kantor. Hari ini kita berseratus diwajibkan mengikuti ujian (lagi) untuk yang kesekian kalinya. Jadilah ujian berembel-embel mapping pegawai ini mempertemukan kita semua lagi di satu tempat setelah terakhir kali berkumpul ketika pendidikan. Suasana pagi itu dihiasi banyak tawa dan sapa rindu antar sesama, terutama teman-teman yang jarang bertemu dikarenakan ditempatkan di kantor yang berbeda. Pemikiran tentang penempatan sejenak kami lupakan, menikmati lagi saat-saat berkumpul. Hingga kemudian kekhusyukan pagi itu berubah karena Negara api menyerang Bapak Kepala bagian kepegawaian (yang kita tunggu sejak pukul 07.30 dan baru hadir pukul 09.15) tiba-tiba menyebutkan komentar yang tidak kami duga.
“ Insya Allah dua hari lagi kalian akan menerima amplop tertutup”
Setelah perkataan beliau tersebut, suasana langsung gempar, semua membuka mulut, heboh beradu pendapat dengan teman sebelahnya, ucapan syukur dan teriakan gembira, atau sekadar ekspresi terkejut dengan wajah melongo.
Dan seperti itu, harapan itu mulai pelan-pelan kami biarkan tumbuh lagi.

Rabu, 19 Maret 2014
Sejak Senin kemarin, entah kenapa wajah-wajah (sok) polos kami rasanya selalu dipenuhi senyum. Percakapan mulai bergeser dari pendapat skeptis dan sinis, beralih menjadi ungkapan optimis dan bahagia. Saat absen pagi, bertemu beberapa teman di lobi kantor, saling bertukar kabar dan cerita-cerita lucu tentang mimpi semalam. Ada yang berkata dapat feeling akan menangis, ada yang bilang punya firasat mungkin akan “dibuang” ke daerah timur, tapi tetap, semua itu disampaikan  dengan air muka sumringah.
Pukul 10.00. Grup angkatan di media sosial mulai ramai, mempertanyakan mengapa hingga detik itu belum jua ada perintah untuk berkumpul di ruang besar, tempat dimana biasanya peristiwa istimewa dilaksanakan.
Pukul 11.27. Pesan berantai diterima dari ketua angkatan.
“Pembagian amplop diundur seminggu lagi karena menunggu Pak Dirjen pulang.. Sekian, Terima kasih.”
Fix, berarti bukan Rabu. Insya Allah minggu depan, begitu masing-masing dari kami menghibur diri. Rasa ragu mulai tumbuh, tapi harapan itu masih kami pelihara, meski entah kenapa kian hari ia kian semakin kerdil.

Senin, 24 Maret 2014
Semua masih menanti. Tidak ada yang mau jauh dari telepon genggam masing-masing, karena dari alat tersebutlah berita dan perintah berkumpul harusnya diterima. Sayangnya, di siang hari kami terima kabar bahwa hari ini Sang Beliau sangat sibuk, mungkin menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk setelah sembilan hari kerja tak masuk kantor. Besok, begitu kata pihak yang berwenang menenangkan. Dan senyum-senyum itu mulai memudar, berganti sorot mata ragu-ragu.

Rabu, 26 Maret 2014
Besok, kata mereka di hari Senin kemarin. Artinya Selasa, dan hari Selasa telah berlalu. Kata-kata optimis menghilang lagi. Percakapan-percakapan skeptis berkembang lagi. Dan semua makin subur begitu mendengar bahwa pasti tidak mungkin dalam minggu ini, karena Sang Beliau sudah ada kegiatan padat melaksanakan tugas Negara hingga hari Jum’at di luar kota. Baiklah. Dan semuanya seolah pecah.
Satu tahun lima bulan. Mungkin ini puncaknya. Kalau digambarkan dalam kurva parabola, maka ini adalah titik balik, posisi tertinggi atau terendah yang bisa dicapai oleh titik tertentu.Mungkin ini, titik jenuh kami.


Mungkin dari sudut pandang orang lain terkesan tak sabaran dan berlebihan. Tapi begitulah, mungkin akan terasa berbeda bila merasakannya sendiri. Dan sekarang, untuk sementara sepertinya tak ada yang ingin membahas tentang hal ini dulu. Kita tunggu sajalah akan seperti apa jadinya. Kan sudah commitment toh kalau kepentingan Negara diatas kepentingan pribadi? :D

Selasa, 25 Maret 2014

janji dan kesempatan

Satu angka berwarna merah yang berada di deretan angka-angka kalender merupakan satu lagi hari bahagia untuk para pekerja kantoran. Apalagi letaknya di awal atau akhir minggu. Seperti akhir minggu di penghujung Januari kemarin. Libur tiga hari tanpa harus ke kantor dan sejenak melupakan tumpukan berkas kerja adalah berkah tiada tara. Tak heran kalau sebagian besar teman satu kost atau rekan kerja memilih untuk mudik. Pulang sejenak, mengunjungi orang tua atau sekadar me-recharge semangat. Sayangnya saya belum bisa pulang, akhirnya hanya bertiga di kosan. Tapi tak apalah, masih ada empat dorama dan tiga novel lagi untuk dilahap. Hidup masih indah :D

Tadi pagi di kantor, ruangan berlimpah oleh-oleh dari berbagai daerah. Obrolan tentang tiket kereta, delay penerbangan dan jalur bis yang macet menjadi topik hangat sepanjang pagi. Senang rasany melihat wajah-wajah ceria, penuh semangat setelah menghabiskan waktu walau hanya satu hari kembali ke keluarga masing-masing.

Tadi, saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan tentang  alas an mengapa ia memilih untuk tidak pulang, padahal jarak rumahnya lumayan tidak jauh dari ibukota, dan menururt saya bisa diakomodasilah dibandingkan saya yang punya keluarga nun di utara Sumatera, jauh dari Bandara pula. Si kawan tersenyum, menjelaskan bahwa ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pulang sebelum membawa SK di tangan dan beberapa gepok rupiah sebagai lambing kesuksesan. Saya Cuma bisa be-ooh ria.

Tiba-tiba pikiran saya melayang diterbangkan waktu, hinggap dan mendarat di suatu malam tujuh tahun yang lalu. Suatu malam selepas isya di mesjid asrama, kajian kali itu diisi oleh kakak alumni yang baru pertama kami kenali wajahnya, tetapi telah kami kenal baik lewat cerita turun temurun kakak-kakak kelas yang lain. Malam itu, si kakak tidak mengajarkan kami tentang hadits atau membimbing kami memperbaiki bacaan Qur’an seperti jadwal biasanya. Malam itu ia hanya bercerita, murni bercerita. Bertutur tentang penyesalan paling dalam yang pernah ia rasakan. Bukan karena terlambat check in dan ketinggalan pesawat sehingga beasiswa full 4 tahun di Jepang hangus tanpa jejak, bukan kepengecutan yang mengakibatkan wanita yang selama ini ia harapkan akhirnya pergi dan hanya meninggalkan selembar undangan pernikahan, tapi yang paling ia sesali adalah kesombongannya, kebesaran ego lelakinya yang membuatnya sempat beradu pendapat dan  berjanji tak akan menampakkan wajah di rumah sebelum ijazah di tangan dan pekerjaan jelas diperoleh. Hingga pada saat semua itu ia dapatkan, saat ia dengan bangga kembali ke rumah, yang ia dapati adalah gundukan tanah merah, tempat ayahandanya beristirahat untuk selamanya. Hal itu menjadi pukulan telak bagi beliau, hingga selembar ijazah dan tumpukan rupiah yang ia bawa pulang itu rasanya tak ada harganya lagi.



Tadinya ingin saya sampaikan kisah ini kepada si kawan, tapi entah kenapa pada akhirnya saya malah memilih diam dan manggut-manggut sok mengerti. Mungkin kondisi dan posisi tiap orang berbeda. Mungkin prioritas dan tujuan tiap orang berbeda. Yang pasti, cara pandang dan pola pikir tiap manusia tak sama.

Kubikel pojok, 
4 Februari 2014
16.35

Jumat, 21 Maret 2014

Setiap aku merasa dekat dengan seseorang, maka setiap kali aku menganggap ia berpikiran sama
Berpikir aku harusnya sadar ketika ia ada masalah, menganggap aku harusnya tahu bila ia hendak kemana
Tapi berkaca lagi, sepertinya ada yg salah
Mungkin itu justru membuat orang lain merasa terkekang dan sesak
Sedikit demi sedikit, harus belajar untuk lebih memahami bahwa aku bukanlah poros dunia

Sedikit demi sedikit, harus belajar untuk melonggarkan ikatan tanpa melepasnya

Kamis, 06 Maret 2014

Bisik Bisik

"Berbahagialah, Insya Allah akhir bulan ini" kata beliau.
"Eh, eh, pertengahan februari"
"mungkin akhir februari..."
"Yah.. udah Maret, April kali yak?"
"Ssst.. Aku percaya, pokoknya sebelum 17 Maret. Yakin Aku !!!"


Kasak kusuk.
Simpang Siur.
Mungkin seperti kata seorang teman,
"Kita butuh harapan, walaupun ia hanya sekedar harapan palsu"