Jumat, 31 Oktober 2014

27 September

2012
Seminggu menjalani pembinaan mental berkedok capacity building di markas besar kopassus, cijantung, badan masih remuk redam, pikiran masih terngiang-ngiang semua teriakan yel-yel dan lagu-lagu penggugah semangat patriotisme. Sorenya, dengan bis besar berduyun-duyun, kami kembali ke kampus, ke kosan yang kini terasa jauh lebih nyaman. Malamnya saya langsung menuju bandara, berangkat dengan penerbangan malam menuju Yogyakarta, karena esok paginya adik saya akan mengikuti wisuda kelulusan. Bapak dan Umak yang sudah berada di sana dari dua hari yang lalu, menyiapkan segala hal.

Esok paginya, bisa dipastikan suasana heboh yang terjadi. Ketika hari masih subuh, gelap, dan matahari bahkan belum bangun dengan sempurna, hiruk pikuk di daerah sekitaran jalan Bumi itu mulai terasa,  saya menyusul ke kosan adik saya dari wisma tempat kami menginap. Dan benar saja, di kosannya sudah ada beberapa teman beserta ibunya masing-masing. Ketika saya masuk, mereka sedang disibukkan dengan perdebatan dengan make up dan pilihan kosmetik lainnya, juga tentang lambang pangkat, topi, sarung tangan, serta baju seragam yang dipastikan licin tanpa kusut sama sekali (FYI, perguruan tinggi tempat adik saya menimba ilmu boleh dikata bersifat semi militer). Dan begitulah pagi dimulai, prosesi upacara hingga siang hari, makan siang di salah satu tempat makan yang lumayan terkenal di kota itu, kemudian kembali ke sekitaran kampus, bersembang ramai dengan teman dan orang tua yang lain, bersiap untuk berpisah dan melanjutkan hidup di tempat berbeda-beda. Dan kira-kira seperti itulah 27 september dua tahun lalu itu saya jalani.

2013
Jumat, 27 september 2013. Salah satu hari bersejarah dan penting bagi saya, juga untuk ribuan orang lain lulusan sekolah kedinasan kami. Hari itu untuk pertama kalinya kami diperintahkan melapor ke instansi pusat penempatan masing-masing. Maka dengan langkah ragu-ragu, dengan celingak-celinguk  tak percaya diri, saya melangkah ke aula, ke lantai lima sebagaimana di instruksikan oleh security yang bertugas di lantai satu. Hari itu, untuk pertama kalinya saya bertemu dan berkumpul dengan 99 orang lainnya.  Sembilan puluh sembilan orang yang kelak menjadi keluarga baru dan pemberi warna baru dalam hidup saya. Beberapa darinya saya tahu dan kenal, tapi sebagian besar bahkan saya merasa tak pernah berpapasan muka, walau kampus kami tergolong sempit untuk ukuran perguruan tinggi. Ya, satu jurusan khusus yang memang penempatan utamanya ditempatkan di sini. Mereka, yang jumlahnya paling minoritas di kampus, hingga kata sebagian orang eksistensinya diragukan. Ketika jurusan lain berjumlah ratusan, bahkan ribuan orang, jumlah mereka bahkan tak genap lima puluh orang. Terlalu besar untuk dijadikan satu kelas, terlalu kecil untuk dipisah jadi dua kelas, serba salah. Saya sendir berasal dari jurusan dengan jumlah mahasiswa terbanyak, jurusan donor kata mereka, karena bisa ditempatkan di instansi mana saja.
Hari itu kami dikumpulkan. Di beri pengarahan singkat. Dan kemudian dikelompokkan kembali berdasarkan unit penempatan eselon II. Wajah-wajah baru. Tingkah-tingkah aneh bersatu padu, genap 100 orang, hingga kemudian mendasari angkatan kami diberi nama Family 100. Dan kini, keluarga besar itu sudah tersebar, mengabdi di berbagai pelosok negeri.

 2014
Sabtu, 27 September 2014.
Hari saya dimulai dengan sebuah kejutan manis ketika membuka pintu. Otak baru bangun saya yang belum sepenuhnya sadar betul segera meraba apa gerangan isi kresek hitam yang langsung terkulai jatuh d ketika saya membuka pintu itu. Saya otomatis tersenyum, karena sesuatu berlapiskan kertas kado itu pastilah dari seseorang penghuni kamar ujung sana, dan benar, tak lama kemudian ia mampir sebentar dan mengucapkan beberapa kata selamat. Saya tersenyum, pagi ini dimulai dengan indah.
Selanjutnya saya kemudian berangkat ke agenda pekanan, bertemu beberapa sahabat yang tergabung dalam lingkaran cinta yang sama. Dan seperti biasa, agenda sabtu pagi kami dihiasi dengan banyak makanan, tawa dan tentunya berbagi ilmu hahaha. hingga ketika saatnya menutup acara, mereka lalu mengeluarkan sebuah plastik besar. Dan di dalamnya, lagi, saya dapatkan dua buah benda berlapis kertas kado. Saya terharu, berucap terima kasih dan senyum-senyum gak jelas.




Setelah sejenak mengelana di seputaran matraman demi mencari tukang jahit yang sayangnya sedang memilih untuk tidak ambil orderan, lalu main sebentar ke Gramedia dan ternyata tak menemukan apa yang saya cari, waktunya kembali ke kosan untuk berleyeh-leyeh ria. Sorenya, seorang teman berbagi rumah yang paginya baru saja kembali dari dinas di Mataram memberikan sebuah plastik kecil bertulis nama toko buku yang seringnya bertempat di beberapa bandara. Dan ternyata, isi plastik tersebut adalah tiga kartu pos manis khas Indonesia hahaha. Ah, kebahagiaan saya semakin bertambah.
Sorenya sambil mengikuti berita tentang Asian Games, kami berleyeh-leyeh bertiga di depan TV. Lalu tetiba muncul ide untuk makan malam di luar. Cari punya cari, akhirnya kami putuskan makan di sebuah kafe rumah yang tak jauh dari kosan dan masih bisa diakses dengan berjalan kaki. Rumah kafe yang kami kenal justru dari sebuah ulasan di televisi. Dan akhirnya, berangkatlah kami. Makan malam bertiga, dengan menu sapo tahu, merapi merbabu shusi, chicken roll, calamary dan onion ring. Lumayan memuaskan. Dan begitulan, 27 september indah saya berakhir.


 Senin, 29 September 2014. Rekan kerja yang weekend kemarin main ke Bandung bawa oleh-oleh (titipan sih sebenarnya haha), kartu pos khas Jawa Barat yang Indonesia sekali, dan gak tanggung-tanggung, ada 12 biji !! (saya tidak menyangka sebanyak ini, terima kasil Aul ^^). Ditambah lagi bonus perangko antik edisi Asia Afrika. Aduuuh.. membuat sempurna September ceria ini ^^

Awal Oktober 2014.
Saya baru saja memulai persahabatan pena dengan seseorang yang saya kenal dari komunitas bertukar kartu pos, seorang warga negara Jepang. Surat pertama sudah saya kirimkan sejak akhir Agustus, dan sudah diterima di awal September. Saya menanti harap-harap cemas setiap hari surat balasan yang tak kunjung tiba. Daaaan.. surat itu tiba di awal Oktober. Yang membuat saya surprise adalah Naoko-san (sahabat pena saya itu) sengaja memperlambat pengiriman surat agar bertepatan dengan hari Ulang tahun saya. Maka sebuah amplop cantik dengan susunan perangko lucu, juga kartu pos di dalamnya, memiliki cap stempel yang sama, 27 September 2014. Ah, dan saya juga dapet cake sticker hahaha.

Terima kasih,
Terima kasih banyak telah menjadi bagian dari hidupku ~~~
^^

Waspada atau Curiga ?

*gambar pinjam dari sini

(Jakarta, 09 Oktober 2014)
Kemarin itu, saya sempat panik ketika di kantor, memasang laptop dan ternyata charger atau adaptornya tidak bisa connect ke laptopnya. Saya sudah utak atik, lurus-lurusin kabel, sampe diputar-putar dengan berbagai gaya, tapi sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa si lepi menerima kehadiran chargernya. Syukurnya seorang rekan juga membawa laptop, dan rezekinya jenis chargernya sama. Akhirnya kami gantian memakai charger yang sama hingga sore.
Sorenya, sepulang kantor langsung saya niatkan untuk membeli charger laptop ke salah satu pusat perbelanjaan yang memiliki area electronic centre, langsung cari toko yang kira-kira bisa dipercaya, liat barangnya, di tes, tawar menawar, dan kemudian deal. Jadilah saya bawa pulang charger baru dan juga sebuah usb bluetooth yang memang saya cari-cari dari kemarin-kemarin tapi belum sempat beli.

Saya yang memang paling sulit mengingat arah dan dimensi ruang, sempat muter-muter dulu di lantai bawah demi mencari pintu keluar yang sama seperti yang saya gunakan untuk masuk tadi, akhirnya saya mengikuti petunjuk-petunjuk yang tertera hampir di setiap sudut atas, hingga kemudian mengikuti petunjuk ini mengantarkan saya ke blok kecil yang lumayan sepi dan agak remang, berbeda dengan blok-blok lain yang terang dan ramai penuh hiruk pikuk. Ketika saya hampir mencapai ujung lorong, sebuah tangan meraih lengan saya. Seorang mabak-mbak cantik berpakaian merah terang ala-ala SPG, dengan senyum lebar dan suara ramah ia menyerahkan sebuah bungkusan kecil yang dibalut kertas kado.
“Perusahaan kami lagi promosi kak, ini kita bagi-bagi bonus dan souvenir untuk pengunjung” demikian katanya. Ketika saya nyatakan saya kan gak belanja di tokonya beliau, si mbak tadi dengan semangat menjelaskan memang mereka memberikan suvenir untuk siapa saja, bahkan pelanggan toko lain yang lewat dari depan tokonya. Saya baru mau bilang terima kasih dan berniat segera pulang ketika lengan saya ditahan dan dia ajak masuk ke dalam tokonya, di suruh duduk dan disuguhi minum. Lalu si mbak tadi mengeluarkan semacam daftar, katanya untuk pertanggung jawaban kalau suvenir yang mereka bagikan itu benar-benar diterima oleh pelanggan. Baiklah, kemudian saya tuliskan nama, daerah tempat tinggal, dan ketika tiba di nomor kontak, saya sedikit berpikir. Hmm.. saya bukan orang yang mudah memberi nomor kotaknya kepada orang lain.  Sering dapat sms berisi promo ini itu atau sms-sms aneh lain gegara pernah ngisi pulsa di counter umum lama-lama lumayan bikin sebal juga. Akhirnya saya minta maaf, dan bilang gak ngasih nomor ponsel gak apa-apa kan ya? Eh, si mbaknya mulai deh ngotot, (tapi masih dengan senyum bisnis pastinya), bilang kalau itu berhubungan dengan pekerjaan dia, berhubungan dengan karir dia. Baiklah, akhirnya saya berikan nomor ponsel saya, bukan nomor utama yang sering saya gunakan.

Ketika saya rasa semua sudah selesai dan akan beranjak ke luar, ternyata surprisenya belum selsai. Si mbak tadi pun mengeluarkan beberpa amplop kecil yang berisi kupon-kupon, katanya dari puluhan amplop itu, ada yang isinya jam tangan, kipas, atau benda-benda sejenis itulah. Dan saya di suruh milih satu. Oke, baiklah, tanpa banyak berpikir saya pilih salah satu. Kemudian dibuka oleh si mbak-nya, daaaan.. tadaaaa tulisannya adalah kupon senilai 500 ribu rupiah. Si mbak dengan mata terbelalak berulang kali menjabat tangan saya, dan kehebohannya itu kemudian mengundang beberapa rekannya (menurut saya) yang lain datang. Dalam sekejap, saya dikerubungi 4 orang yang tak henti-henti mengucapkan selamat dan memuji-muji kalau saya beruntung.
Salah seorang yang sepertinya mereka tuakan lalu duduk di depan saya, menjelaskan kalau kupon itu bisa dipakai itu bisa saya pergunakan di semua cabang toko mereka di jakarta. Untuk bisa menukarkan kupon itu, saya dimintai KTP, untuk data diri valid, katanya. Setelah memikirkan beberapa saat, saya putuskan untuk pamit saja dan tak usah mengambil kupon itu, mereka terbengong-bengong, mencoba menahan saya. Tapi karena memang hari sudah malam juga dan saya pengen segera istirahat, saya kekeuh untuk pamit saja. Mereka berempat masih terus mendesak saya, bahkan hingga ke pintu keluar. 
"Hanya butuh KTP" itu katanya. Tapi sesopan mungkin saya tolak.
Mungkin banyak yang berpikir saya sombong hahaha.
Apa saya sudah cukup kaya hingga 500 ribu tak berarti untuk saya?
Bukaaaaan
Siapa sih yang gak mau dapet barang atau uang gratisan seharga 500 ribu? Tapi ya demi mempertimbangkan ini itu saya putuskan untuk tidak mempertahankan kupon itu. Sejujurnya, saya emang bukan tipe yang ngejar-ngejar gratisan atau bonus-bonus sih :p hahaha

Beberapa pertimbangan yang membuat saya tidak jadi ambil kupon antara lain:
1.     Tokonya katanya banyak cabang di seputaran Jakarta. Tapi sama sekali gak ada plang nama toko. Gimana mau nemu cabangnya kalau nama tokonya aja gak tau?
2.     Tokonya katanya bergerak di bidang penjualan alat elektronik dan keperluan rumah tangga, laptop sama handphone juga. Tapi dari penerawangan saya, barang yang ada di dalam toko itu hanya beberapa kardus dengan gambar macam-macam, tidak ada barang fisiknya yang dipajang langsung. Dan juga, yang jelas saya ingat hanya sebuah kotak yang gambar depannya mi semacam alat korset pelangsing.
3.     Ketika pertama si mbak dengan ramah menyapa dan minta data itu saya masih fine-fine aja, tapi begitu rekannya yang lain datang dan saya berasa dikepung itu... beneran, rasanya serem banget. Di situ saya mulai berpikir ini itu, pikiran bercabang, dan insting untuk bertahan mulai muncul hahaha
4.       Ketika saya bilang mau pulang saja, ekspresi mereka itu terlihat panik, dan bahkan masih megangin tangan saya, mengikuti hingga saya sampai ke pintu keluar.
5.       Karena udah malam juga sih, jadi mikir pengen cepat istirahat hahaha

Dan  begitulah, selepas dari tempat itu, saya beristigfar. Semoga yang saya lakukan adalah langkah untuk berhati-hati, bukan penghalang untuk sampainya rezeki orang lain.


Hidup di kota yang berbagai tempat kejadian perkara kriminal terasa dekat, menjadikan insting untuk berhati-hati menjadi jauh lebih sensitif. Ketika kemudian terlalu seringnya mendengar kabar-kabar kejahatan lama kelamaan seolah membuat mati rasa, seolah itu menjadi berita biasa, dibicarakan sebentar, didiskusikan sejenak, lalu kemudian lupa sama sekali. Dan akhirnya, semakin lama, jarak antara waspada dan curiga hampir tak terlihat.

Kamis, 30 Oktober 2014

Damai yang sederhana


Sebuah pagi yang sederhana. Merapatkan jaket, menikmati segar udara Lembang. Teduh yang menyejukkan berpadu sempurna dengan kilau bulir embun. Sekuntum kamboja tergeletak di tengah hamparan hijau. Damai yang sederhana.
(Lembang, 18 Oktober 2014)