Jumat, 12 Februari 2016

Namanya Permata


Namanya Permata.
Bukan nama sebenarnya, walau nama aslinya memang masih tak jauh dari defenisi berbagai batu berharga itu

Namanya Permata.
Aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di ruang segi-empat yang sehari-harinya dihuni dua puluh empat orang. Bersama sejak matahari bahkan belum penuh benar hadirnya, hingga senja ketika matahari akan bersiap pulang.

Namanya Permata.
Dan seperti namanya, ia memang istimewa sejak dulu. Ia orang yang dengan mudah dekat dengan siapapun. Ia orang yang dengan santainya bercanda dengan guru yang galaknya saja membuat murid-murid memilih memutar jalan jika berpapasan. Ia orang yang dengan riangnya tertawa dan berlari macam anak kecil, bergelantungan di jerajak pintu tanpa sadar berat bobotnya (V_V), yang berlari saling mengejar di lapangan sekolah yang luas hanya karena hal sepele dan kekanakan, yang dalam diamnya menyimpan banyak rahasia karena hampir semua makhluk di ruang segi-empat itu kadung nyaman dan percaya padanya untuk bercerita segala hal.

Namanya Permata.
Dan seperti permata, kemampuannya tak bisa kau pandang sebelah mata. Berturut-turut ia buktikan bahwa level otaknya jauh di atas, di kasta kaum bangsawan. Namun hal itu sama sekali tak membuatnya merasa duduk di dunia berbeda. Tatkala hampir semua dari kami penghuni ruang segi empat itu memilih untuk konsentrasi ke ruang lain demi mempersiapkan tempat yang lebih baik setelah pergi dengan terhormat dari ruang segi-empat itu, dia mungkin satu-satunya orang yang memilih tak kemana-mana, cukup menekuni barisan kata seorang diri. Self learning kalau bahasa kekiniannya. Dan, ketika hari pengumuman ruang baru yang menentukan hidup itu terjadi, nyatanya dia menjadi bagian dari sebagian kami yang tersenyum sumringah. Sekali lagi, semakin dia membuktikan bahwa memang pantas ia bernama Permata.

Namanya Permata.
Dan seperti hal-nya permata yang harus melalui banyak tempaan sebelum sepenuhnya bersinar, ia pun demikian. Usia belasan tahun, ayahnya berpulang karena ulah dari beberapa orang jahat, meninggalkan ia, ibu, serta saudara-saudara yang juga terkena dampak tulah jahat itu. Sejak itu, wajahnya semakin pucat, dan pada beberapa kesempatan kesehatannya tampak menurun. Tapi sekali lagi, bukan permata jika ia berhenti bersinar.
Beberapa bulan sejak kami semua resmi meninggalkan ruang segi-empat itu dan berpencar pada ruang-ruang lain di penjuru negeri, lewat sebuah pesan singkat dari teman yang lain kudengar kabar duka. Ibunya, telah pergi menyusul ayahnya. Satu hal yang hingga kini masih susah kupahami adalah aku benar-benar terdiam. Tidak merasa berani untuk menghubungi mengucapkan turut berduka, bahkan walau hanya sekedar lewat pesan singkat. Berita itu justru segera kukabarkan pada orang rumah, yang besoknya kemudian hadir ke sana. Dia terlihat tegar kata mereka.
Sejak itu, dia dan saudaranya yang lebih tua menjadi tonggak mengepul tidaknya dapur mereka. Tapi itu tetap tak bisa memadamkan sinar yang terpancar, dia tetap riang, tetap seperti dulu. Tak sekalipun menyisakan kelabu awan dalam setiap perjumpaan. Iya, dia kuat seperti permata.

Namanya Permata.
Bertemu dengannya hanya beberapa kali dalam setahun. Komunikasi pun tak serutin orang lain, dia paham mungkin jika aku adalah orang yang kikuk dalam hal satu ini. Tapi setiap kali bertemu, kami tak bosan berbincang bahkan sehari semalam. Terakhir bertemu, dua minggu yang lalu, kami bercakap-cakap sejak pukul sepuluh pagi, jeda sholat dzuhur, berpindah tempat makan sambil mengobrol, jeda sholat ashar, lanjut berbincang hingga maghrib, pindah tempat nongkrong, lanjut bercakap sambil makan malam, hingga kemudian pulang ke kontrakannya dan terus berbagi cerita hingga adzan shubuh menjelang. Orang bilang, diam itu emas, tapi terkadang dengan bersuara dapat juga membuatmu memperoleh intan :D

Namanya Permata.

Dan sungguh betapa aku bangga mengatakan bahwa aku tahu, kenal, dan dekat dengannya ^^


untuk kamu yang dilahirkan di akhir Januari dan selalu menginspirasi semua orang.