Rabu, 30 April 2014

pengabdian #1

Ruang yang megah, menjelajah.
Waktu yang entah, berpihaklah.
Langit yang pemurah, berkatilah.
Tanah yang indah, kami datang.


~G.S.S~
*seorang teman yang tengah bersiap, berangkat menjemput berkas sinar mentari di tanah borneo.

Rabu, 23 April 2014

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {4}

Rabu, 23 April 2014. 
Pagi hari, ketika kebanyakan pegawai masih berada di luar untuk sarapan, setelah lelah-lelah mengejar absen pagi. Sang gadis berjalan keluar ruangan, berlari kecil mengejar lift yang sayangnya tertutup di depan matanya. Sedikit menghela nafas, lalu tanpa sengaja menoleh ke belakang dan matanya bersitatap dengan si pemuda yang berdiri di ambang pintu. Si gadis bergegas memalingkan mata, berpura-pura tak melihat. Sementara si pemuda kebingungan sendiri, akan tetap melangkah ke depan lift atau kembali masuk ke ruangan. Pada akhirnya, ia berdehem kecil lalu memposisikan diri seperti layaknya orang lain menunggu lift terbuka.

Mereka berdiri bersisian. Canggung. Si gadis menatap lurus ke depan, berusaha keras fokus pada selebaran entah apa yang tertempel di dekat pintu lift. Si pemuda merogoh saku, menyibukkan diri  entah dengan fitur apa yang ada di telepon genggamnya. Tapi alam sepertinya sedang sedikit usil dengan dua manusia ini. Secara normal, perhitungan kasar menyebutkan waktu yang dibutuhkan lift untuk membuka di lantai dasar adalah 2 detik, sebutlah ada sepuluh orang yang memasuki lift itu dan  tiap orang membutuhkan waktu masing-masing 1 detik untuk masuk lift. Estimasi ada yang turun di tiap lantai dan proses buka-tutup lift ini membutuhkan waktu 3 detik. Totalnya, waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke lantai 10 menurut perhitungan kasar adalah dibawah satu menit. Tapi seperti yang kita sebutkan tadi, hari ini alam sedang bertingkah jahil pada mereka, karena bahkan hingga menit ke-dua pun pintu lift itu belum jua terbuka.

Setelah hening yang cukp lama,
“Nyari makan?” ragu-ragu si pemuda bertanya.
“Hah? Ooh.. nyari teman.” Si gadis yang tak menduga akan ada percakapan di antara mereka tergeragap.

Sejenak raut wajah bingung menghiasi keduanya, lalu seperti diperintahkan, mereka tertawa dalam waktu yang bersamaan. Tertawa, lepas. 
Dan tepat saat itu pintu lift terbuka lebar

*random googling

Mau kubilang lantang, atau kupendam dalam diam, tetap saja kusebut (dia) cinta.-Tasaro GK

Selasa, 22 April 2014

Kabut ragu-ragu menyeruak, sedikit enggan beranjak pergi karena terusir dengan bias terang matahari
Engkau takut-takut berteriak, sedikit malu membuka isi hati karena terusik rona merah yang tersembul di pipi
(10 jan 2014)

katakan padaku tentang rindu, tentang cinta yang mengadu pada hati
katakan padaku tentang pilu, tentang derita yang meratap pada diri
katakan padaku tentang semu, tentang asa yang bergerak dalam ilusi

katakan padaku tentang kamu, tentang rona yang tak pernah hilang dari pipi
(04 februari 2014)

Kamis, 17 April 2014

yang (ingin) pergi dan yang (berharap) tinggal

Teringat dulu ketika masih bersekolah di jenjang menengah. Sebagian guru dan pembina asrama kami sebenarnya adalah kakak-kakak alumni sekolah yang sama dan baru selesai kuliah. Di masa-masa itu, menjadi PNS adalah salah satu tujuan utama hampir bagi setiap orang. Walau sebenarnya gajinya tak seberapa, tapi zona aman yang ditawarkan bahkan hingga nanti di masa-masa tua masih tetap menjadi pemikat yang tidak bisa dikesampingkan. Dan kala itu pun, saat saya masih duduk di kelas 2, ada masa beberapa hari jam pelajaran kami kebanyakan kosong atau diisi oleh guru pengganti. Pasalnya, semua guru2 muda belia yang juga adalah kakak alumni kami itu sedang mengikuti ujian masuk CPNS.

Kala itu, dikarenakan rasa nyaman dan senangnya kami di keliling beliau-beliau, sempat terlintas celutuk-celutuk kata yang kami sampaikan. “Mudah-mudahan ibu gak lulus tes CPNSnya.”
Saat itu terlihat muka terkejut beliau, “Astaghfirullah, iih jahat kali doanya...” 

Tapi kami hanya tertawa sambil lalu. Apa karena kami tak suka dengan beliau maka kami berkata seperti itu? Tidak, sungguh tidak. Sebaliknya, rasa sayang dan rasa nyamanlah yang mendasari hal itu. Rasa rindu dan takut kehilanganlah yang membuat kami berharap agar beliau tetap di sini. Karena hampir bisa dipastikan, penerimaan CPNS untuk keguruan biasanya ditempatkan di tempat yang agak jauh dari tempat kami saat itu. Itulah pinta polos kami yang saat itu yang hanya bisa memandang dari sisi yang ditinggalkan, belum paham rasanya sisi yang berharap pergi.


Beberapa bulan lalu, ketika pembicaraan mengenai penempatan masih misteri. Ketika doa selalu dipenuhi nama-nama tempat. Beberapa teman selalu berkata sambil bercanda, “Semoga kamu dapat penempatan pusat, jadi bisa tetap di Jakarta.” Mungkin beberapa dari mereka memang tak tahu, tapi beberapa yang lain tahu dengan jelas seperti apa horrornya saya dengan kota Jakarta, seperti apa harap saya agar OJT lekas usai dan segera beranjak pergi dari kota ini. Dan begitulah, rezekinya, saya justru di tempatkan di Jakarta. Definitif. Tidak bisa pindah sebelum beberapa masa mutasi atau ada alasan kuat yang mendasari (semisal ikut suami :p).

Saya sempat down, down sekali bahkan. Saya tahu mood buruk saya membuat hampir semua orang jadi tidak nyaman, bingung bagaimana harus bersikap di depan saya, terlebih untuk beberapa saat saya sempat mengurung diri, meminimalkan hal-hal yg tidak diinginkan. Ah, sebenarnya jauh di lubuk hati saya merasa sangat bersalah. Merasa bersalah karena sempat tersakiti oleh pesan-pesan singkat yang dikirim dengan tulus, merasa bersalah karena tak bisa memberitahu mereka secara personal saya di tempatkan di mana, merasa bersalah karena hingga saat ini pun saya masih menghindar ketika mereka membicarakan topik tentang kota penempatan di lingkaran terbatas kami di media sosial.

Dan tadi, saya teringat kembali dengan peristiwa bertahun-tahun silam itu. Bedanya, sekarang saya berada di sisi yang berharap pergi. Ah, betapa saya paham posisi mereka. Dan (walau sedikit memalukan) setidaknya tangis sudah dihias dengan senyum. Walau mungkin kata-kata itu candaan, betapa harusnya saya merasa tersanjung karena diinginkan. Betapa seharusnya saya merasa terhormat karena berharap saya tetap disini, dekat dengan mereka. Hei, bukankah itu tandanya mereka merasa nyaman? Bukankah mereka berkata seperti itu karena sayang dan takut kehilangan? :D

Betapa bahagianya ketika setelah berlelah-lelah di kantor, malamnya kedatanganmu masih dinantikan, ceritamu masih didengarkan, bahkan seringkali ditemani kudapan-kudapan yang sengaja dibeli untuk dinikmati beramai-ramai. Ah, sungguh, nikmat Tuhanmu yang mana lagikah yang kamu dustakan?


Senin, 14 April 2014

amplop dan cerita tentangnya

Suatu ketika, seorang teman pernah berkata, “aku mengenalmu sejak SMP hingga saa tini, dan setiap melihatmu aku selalu berpikir betapa sempurna hidupmu. Sepertinya hidupmu mengalir lancar-lancar saja tanpa hambatan yang begitu berarti.” 
Jujur, saya terkejut mendengar hal ini, karena sebelumnya tak pernah sekalipun saya berpikir ke sana. Namun ketika direnungi lebih dalam, mungkin perkataan itu ada benarnya.

Betapa banyak syukur yang harus saya panjatkan atas semua rahmat dan nikmat yang terlimpah. Alhamdulillah memiliki keluarga yang masih lengkap, orang tua yang tegas tapi lemah lembut, yang mengutamakan kepentingan dan pendidikan anak-anaknya terlebih dahulu di atas apapun. Alhamdulillah kehidupan sekolah dasar saya menyenangkan. Dikelilingi teman-teman yang masih terus keep contact hingga kini, dan bukan bermaksud sombong, juga masih menjadi juara kelas dulunya. Alhamdulillah saya bersekolah di SMP boarding yang  bernafaskan Islam, setiap hari selalu diingatkan untuk senantiasa memperbaharui iman oleh sahabat dan guru pembina yang berkumpul dalam lingkaran cahaya. Alhamdulillah di jenjang SMA, saya juga masuk sekolah yang terbilang favorit untuk ukuran kota kecil saya. Mengasah otak melalui lomba dan olympiade, juga membuka kesadaran untuk mulai menghafal Al-Qur’an, karena memang menjadi salah satu syarat untuk lulus.

Masa-masa heboh selepas SMA dan mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi. Dan lagi, Alhamdulillah Allah berikan nikmat diterima di dua perguruan tinggi.
Masa-masa di perguruan tinggi, bergelut dengan bayang-bayang DO, Alhamdulillah masih selalu mendapat nilai memuaskan, walau memang bukan yang tertinggi. Mengisi hari dengan berbagai kegiatan, mengenal banyak orang dari seluruh penjuru Indonesia.

Dan kini di kehidupan kerja, Allah tempatkan saya di instansi yang memang saya pilih sebelumnya, walau banyak orang menyayangkan karena katanya gengsinya lebih rendah dibanding instansi kementerian keuangan yang lain. Tapi toh, tak pernah saya merasa ambil pusing dengan hal itu. Ditempatkan sementara untuk magang di direktorat yang menyambut saya layaknya menyambut kelahiran anak pertama. Satu ruangan dengan orang-orang yang hingga kini bila mengingatnya membuat saya berjuang keras menahan titik air mata karena rasa syukur (akan saya bahas lebih lanjut tentang beliau-beliau di cerita lain). Semuanya terasa sempurna, sungguh. Hingga hari penempatan yang sebenarnya akhirnya tiba.

Kami dikumpulkan sore itu,rencananya di aula utama kantor, tapi ternyata masih ada acara di tempat itu bahkan hingga  hampir selesainya jam kantor, akhirnya kami di alihkan ke aula kecil di sebelahnya. Sore itu, saya baru tahu, seperti apa rasanya deg-degan menunggu sesuatu. Saya baru sadar dan terpikir, tempat yang tertera di amplop yang betuliskan nama kami masing-masing akan menjadi tempat yang sangat menentukan, bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk sisa hidup kami selanjutnya. Maka saat bagian kepegawaian memberikan wejangan dan bercerita tentang penempatan pegawai dari penerimaan sebelumnya yang diramaikan oleh air mata, kami hanya tertawa. Bahkan lebih tertawa lagi saat beliau sengaja menyiapkan dua box tissue sebelum menyerahkan amplop kami masing-masing.

Tapi, sore itu saya tahu seperti apa perasaan mereka yang hanya saya dengar daricerita-cerita kakak tingkat, saya tahu seperti seperti apa sakitnya berusaha menahan air mata di tengah ramainya gegap gempita penuh tangis dan tawa, dan saya merasa bodoh telah menertawakan diri sendiri. Saya baca surat dalam amplop  itu untuk sekian kali, namun sayangnya harapan saya bahwa isinya akan berubah tak jua terjadi. kejadian yang paling tidak saya harapkan terjadi. Saya di tempatkan di Kantor Pusat, Jakarta.
Bukan hanya karena keinginan saya untuk ditempatkan dikantor vertikal daerah tidak terpenuhi, tapi saya ditempatkan di direktorat yang paling saya hindari. Hahaha mungkin ini cara Allah menegur saya.

Itu beberapa hari yang lalu, dan hingga hari ketiga pasca pengumuman, mood saya masih berantakan total. Belum berani banyak bercakap dengan teman-teman di kos, karena saya takut saya atau mereka salah satunya bisa tersakiti. Bahkan ucapan selamat yang tulus dan berbagai pesan turut bahagia terasa mengiris hati. Telepon dari orang rumah juga sempat saya abaikan, hingga memang pada akhirnya tetap keluarga yang menjadi tempat pelampiasan saya. Tangis yang tertahan sekian lama tertumpah beberapa jam lewat telepon, dan mereka masih sabar mendengarkan tanpa diputus, walau yang terdengar hanya isak dan tarikan nafas susah payah karena hidung tersumbat. Setelah nangis, merasa sedikit lega karena sudah ada yg dilepas, walau hati belum sepenuhnya menerima. Ah, dan saya berpikir, di usia twenty something ini pun, sikap childish dan ekstrem mood swing masih belum bisa saya atasi. Amplop itu saya simpan jauh di laci terdalam almari pakaian. Tapi sesungguhnya hal itu sia-sia, karena isi amplop itu terekam jelas di otak saya hingga  titik komanya.


Teringat lagi, dua minggu lalu masih sibuk berpikir tentang sempurnya hidup ini. Ternyata semua tantangannya baru dikeluarkan sekarang, sekaligus.

Lucu.
Lucu sekali. 
: D

Kamis, 10 April 2014

Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah:216)

Amplop itu, akhirnya tiba jua.