Kamis, 26 November 2015

Hari Guru

25 November 2015.

Membuka media sosial hari ini, sebagian besar status maupun update teman-teman di jendela masa bernada sama. 
Hari guru.
Ada yang menampilkan foto yang suasana peringatan tadi pagi di sekolahnya, ada yang menulis notes dan kenangan tentang guru ketika dulu di masa sekolah, ada yang sekadar mengucapkan selamat dan terimakasih, juga tentang definisi guru yang tak terbatas pada seseorang yang memberikan pelajaran secara formal di depan kelas, lebih luas dari itu, kata mereka.

Saya tersenyum, terharu, menggulirkan halaman demi halaman jendela masa, melihat foto-foto penuh senyum (dan kado :P). Saya pun besar di lingkungan yang dekat dengan pendidikan. Ibu saya guru, ayah saya tenaga administrasi di salah satu Sekolah Menengah Atas tak jauh dari rumah, kami tinggal di komplek pendidikan dengan tetangga sekeliling yang banyak berprofesi sebagai guru, dari 9 rumah di lingkungan Gang kecil tempat kami tinggal, 7 rumah diantaranya dihuni oleh keluarga guru.

Saya pun, pernah dan masih memiliki cita-cita untuk menjadi seorang guru. Bukan tak bersyukur dengan pekerjaan saat ini. Tentu saja saya bersyukur, posisi yang saya tempati saat ini mungkin diperebutkan oleh puluhan ribu pencari kerja tiap tahunnya. Alhamdulillah, saya bisa sampai di tempat ini. Tapi bukan berarti duduk di kursi ini membuat keinginan saya untuk mengajar hilang. Hingga detik ini, keinginan untuk berbagi ilmu, berdiri di depan kelas, mengamati perilaku sosial yang berbeda dari tiap pelajar. Aahhh.. indah sekali membayangkannya.

gambar ambil dari sini

Teringat dulu, tiga tahun yang lalu ketika masa jeda antara lulus kuliah dan menunggu keputusan penempatan kerja, saya terima tawaran Paman untuk mengisi posisi guru matematika yang sedang kosong di salah satu yayasan sekolah di luar kota, ratusan kilometer dari rumah. Mengajar matematika untuk kelas 3 SMP dan kelas 2 SMA. Bahkan tak genap satu semester, tapi banyak pengalaman yang masih saya simpan baik-baik. Menyiapkan bahan ajar esok hari dengan metode yang bisa dengan mudah diterima pelajar, menyisipkan pengetahuan-pengetahuan umum tentang psikologi untuk membuat mereka rileks dan lebih terbuka (selama kuliah, saya mempelajari dunia akuntansi, tapi entah mengapa topik psikologi selalu menarik perhatian ^^), mengkreasikan metode ujian/kuis dengan cara yang lebih kreatif, dan pasti mengamati mereka satu per satu dan mencoba memahami kelebihan, kekurangan, dan minat mereka masing-masing.

Masih ingat, pas belanja mingguan ke kota, misi khusus saya adalah membeli spidol warna-warni agar catatan di papan tulis terlihat lebih menarik, beli kertas origami untuk kertas soal ujian, dibentuk macem-macem dulu baru tulis soalnya, kemudian dikembalikan ke bentuk asal. Alhasil, yang mau ngerjain soal harus bisa melipat kertasnya ke bentuk origami dulu baru bisa melihat soal hahahahaha. Kalau dipikir iseng banget. Dan ketika esoknya perpisahan, malamnya begadang menyiapkan surat khusus untuk masing-masing anak dengan isi yang beda, sesuai dengan kepada siapa surat itu tertuju. Lalu di saat perpisahan dan pamitan, yang menangis tidak hanya muridnya, yang kakak gurunya ini justru malah terisak juga, sambil di antar ke gerbang sekolah ditemani lambai-lambai dan teriakan serta panggilan yang masih ramai bahkan hingga gerbang sekolah hampir tak tampak. Ah... masa itu... ^^

Kembali lagi ke jendela masa, memperhatikan dan menganalisis satu persatu update dan kiriman orang-orang yang dikenal, membuatku menyadari betapa banyak ternyata teman SD, SMP, dan SMA yang kini telah menjadi guru. Telah mengabdikan dirinya untuk membagi ilmu dan memajukan pendidikan. Alhamdulillah. Beberapa dari mereka bahkan berdiri berdampingan dengan guru senior yang dulunya mengajar kami, tak henti mengambil hikmah dan bersiap menggantikan ketika kelak tiba masanya untuk beliau-beliau beristirahat.

terimakasih, Guru !! (dari sini)

Terakhir, ucap terima kasih untuk semua guru di manapun kalian berada. Guru dengan pakaian dinas lengkap, guru dengan pakaian seadanya, guru yang sudah mendapat tunjangan sertifikasi, guru yang masih dibayar dengan hasil kebun (ada, masih ada, kawan), guru yang berdiri formal di depan kelas, guru yang ada dimanapun, di jalanan, di gerbong kereta, di terminal, di lapak-lapak pedagang sayur, guru dimanapun yang menciptakan madrasah ilmu di tempat yang tak terduga.

Untuk semua guru, para pembagi ilmu, dan penebar hikmah,
Terima kasih

Selamat Hari Guru

Senin, 23 November 2015

Surat Kaleng

Salah satu yang spesial dari travelling adalah obrolan-obrolan sepanjang perjalanan. Mulai dari sekedar bertukar kabar, keseharian, menertawakan hal-hal remeh-temeh, mengomentari apa yang terlihat selama perjalanan, bahan hingga hal-hal serius semacam politik dan isu pernikahan (ehemm..).

Perjalanan pulang dari Jogja  menuju Jakarta tadi malam juga menyisakan banyak cerita dan kabar-kabar yang terlewat oleh telinga. Dan, satu hal yang paling berkesan, adalah tentang surat kaleng.

Saya dan teman seperjalanan kali ini bekerja di instansi Kementerian yang sama, tapi berbeda unit organisasi level Eselon I. Sudah menjadi rahasia umum bahwa unit Eselon II tempatnya mengabdi banyak diperbincangkan karena kondisi ruang kerja yang penuh asap rokok. Padahal gedung berlantai 20 itu tentu saja dilengkapi dengan pendingin udara di setiap sudut, dan siapa pun tahu bahwa merokok adalah hal terlarang, tidak hanya di ruang kerja atau lobby, bahkan toilet dan tangga darurat pun harusnya steril dari asap rokok. Tapi apalah daya, para perokok di unit kerja itu tetap berjaya menyebarkan bau asap ke setiap sudut. Bukan tidak ada yang melarang, bisik-bisik dari yang sekedar halus hingga sindiran ketus pun tak jua mampu meredam. Mungkin untuk level staf atau kepala subbagian masih beranilah untuk mereka ingatkan setiap hari, tapi jika yang paling semangat menjadi ahli hisap adalah pimpinan tertinggi unit kerja? Nah, ini baru masalah. Bertahun-tahun hal ini terjadi, dan untuk kasus teman saya tadi, dua tahun sejak ia pertama kali bekerja.

Foto pinjam dari sini

Nah, yang membuat cerita ini seru adalah ketika bulan lalu ada sebuah amplop tertutup yang dialamatkan kepada pimpinan unit kerja tersebut. Isinya? Semacam teguran dan “ancaman” bahwa jika masalah “rokok” ini masih terus berlanjut, maka akan dilaporkan kepada Tim Pengawas Internal Kementerian, serta pimpinana Eselon I yang merupakan atasalan langsung beliau. Mau tak mau, kini para pegawai yang merokok di ruang kerja mulai pindah, bergeser ke tangga darurat, bahkan si bapak pimpinan tadi pun tak tampak lagi asyik merokok di ruangannya. Syukurnya, kondisi ruang kerja sudah mulai lebih lega tanpa cekikan asap rokok.

Saya kira sampai disitu saja. Namun ternyata, sang pimpinan walau terlihat “takut” dengan ancaman ini, diam-diam menugaskan bawahannya untuk menyelidiki asal muasal surat yang dikirim melalui salah satu jasa pengiriman ternama dengan letak kantor yang jauh dari tempat kami bekerja. Beliau bahkan meminta rekaman CCTV kepada pihak jasa pengiriman.

Teman saya, yang setiap pagi sesampainya di kantor akan otomatis menyalakan kipas dan filter udara serta memakai masker kain sebagai bentuk ketidaknyamanan terhadap asap rokok, termasuk yang dicurigai sebagai tersangka. Namun hingga sekarang belum diketahui siapa yang punya nyali besar untuk mengirimkan surat itu. Siapapun pengirimnya, kata teman saya, sebagian besar pegawai di unit kerja itu sama-sama berdoa agar pelakunya jangan sampai ketahuan.

Cerita yang menarik. Setidaknya, hingga sebulan setelah peristiwa “surat kaleng” itu, ruang kerja masih steril dari bau dan asap rokok.

Salut !


Kamis, 12 November 2015

Hujan pertama di bulan November

Sabtu siang.

Semarak akhir pekan telah dimulai. Pemuda kantoran yang setiap hari berjuang bangun dini hari dan bersiap berangkat sejak pagi masih awal, kali ini masih mendengkur. Tersenyum dalam tidurnya yang terbungkus selimut hangat.

Anak-anak sekolah yang saban hari terburu mengejar denting bel sekolah, pagi ini terlihat ceria, bercanda sepanjang jalan. Tak mereka pakai seragam penuh atribut seperti biasa, pakaian olahraga yang menemani mereka berpeluh hari ini, beberapa menenteng alat musik di punggung. Sabtu jadwalnya mereka belajar di luar kelas. Ekstrakurikuler bahasa modern-nya.

Sabtu yang hangat berubah menjadi lebih syahdu ketika kawanan awan hitam bergerak perlahan. Lalu diam-diam meneteskan bulir-bulir kecil air berukuran sebutiaran jagung.

Gerimis.

Seperti seorang kekasih yang telah merindu lama, langit tampaknya masih tak puas hanya bertemu gerimis. Gelegar suara guruh membelah hangatnya sabtu pagi yang kini berubah lebih sejuk.
Tak ingin tertinggal angin pun bergabung membersamai awan dan bulir air yang jatuh.
Hujan. Deras. Basah. Kuyup.

Anak-anak sekolah yang tadi bergerombol riang terlihat mulai kocar-kacir, berlarian ke segala arah mencari tempat berteduh. Pemuda kantoran yang awalnya hampir beranjak dari tempat tidur, kembali merapatkan selimut demi mendengar senandung lagu hujan di luar sana, memutuskan semangkok mie instant yang direndam air panas cukuplah mengobati lapar.

Beberapa orang mengeluh. Merasa belum bersiap, merasa belum berakrab-akrab dengan payung.
Mengeluh sesaat untuk kemudian tersenyum.
Ini hujan pertama di musim ini. Hujan yang harusnya bertandang di Oktober, namun terlambat tiba dan baru menyapa di November.

Bapak-bapak bersyukur, sumur yang kering mulai terisi lagi. Niat untuk mengeruk sumur lebih dalam diurungkan. Uang untuk mengupah penggali sumur bisa disimpan, masuk kantong lagi. Alhamdulillah.

Kakek yang sedang menjemur kerupuk menggerutu, membayangkan ratusan tampah kerupuknya harus dikeringkan tanpa bantuan mentari. Perlu angin dari kipas, kipas perlu listrik untuk berputar, ujung-ujungnya, bertambah lagi rupiah yang harus ia keluarkan bulan ini.

Anak-anak kecil bergembira. Segera keluar dengan puluhan payung warna-warni, beragam jenis. Ojek payung mulai semarak lagi. Akan ada uang tambahan yang bisa mereka gunakan untuk bayar ini-itu atau sekadar jajan es potong di pedagang keliling.

Ibu-ibu menggerutu, terbayang pakaian basah yang harus segera dikeringkan. Menjemur di luar bukan lagi solusi yang cerdas. Yang dijemur belum kering, yang kering sudah basah lagi.

Banyak rasa, banyak cerita. 
Tapi hujan kali ini tetaplah diiringi dengan banyak syukur dan ucap Hamdalah.

Dan aku? 
Aku sedang terbanting-banting dalam bajaj berwarna biru. Membuka lebih lebar payung yang tak seratus persen mampu melindungi dari serangan angin dan hujan. Berpayung dalam bajaj?
Iya, kau tak salah baca kawan, dan lucunya bahkan dengan bantuan payung pun aku tetap berhasil basah kuyup hahahaha.

Tapi tidaklah mengapa. Bau tanah kering yang disiram hujan terlalu harum untuk membuatku menggerutu terus, bukan?

Selamat datang musim hujan
Selamat datang rezeki yang berlimpah
sudah lama kami nanti hadirmu

Sabtu, 7 November 2015.
Hujan pertama bertemankan angin
Jakpus

Kamis, 05 November 2015

Penjara Suci

Beberapa hari belakangan di jendela media sosial lagi banyak review dari alumni sekolah tempat saya menghabiskan pendidikan menengah pertama dulu, baik teman seangkatan maupun kakak kelas yang beberapa angkatan di atas. Ternyata seorang abang kelas baru saja menuliskan buku yang bercerita tentang kehidupan kami dulu semasa di asrama. Karena penasaran, akhirnya saya pesan buku tersebut, dan sekarang sudah dalam perjalanan dari Pontianak menuju Jakarta. Yeaayyy !!! :D

penampakan sampul depan buku, dari obrolan di WA ^^

Saya pernah bercerita tentang kehidupan asrama di sini sebelumnya.

Ya, saya menghabiskan pendidikan tingkat pertama di sebuah SMP swasta bernafaskan Islam di kota kelahiran. Sekolah kami merupakan yayasan yang didirikan dan dibina oleh seorang Bapak Dokter yang telah sepuh, beliau sangat dihormati tidak hanya di kota kecil kami, namun juga hingga kota dan kabupaten-kabupaten tetangga. Dulunya hanya sebatas SMP dan SMA, sejak tahun 2009 mulai dibuka juga untuk tingkat SD IT.

Siswa sekolah kami diwajibkan tinggal di asrama. Asrama, kata yang lekat dengan kata “pesantren”, tapi kami akan dengan tegas menolak untuk disebut pesantren hahahaha. Setiap tahun, sekolah kami hanya menerima 2 kelas murid (sekitar 60-an siswa). Awalnya kelas terbagi menjadi kelas A dan B, namun sejak tahun 2003, sejak kami duduk di bangku kelas 1 SMP, pemisahan kelas menjadi kelas putra dan putri.

Walau hanya menerima 60an siswa tiap angkatannya, jangan salah kawan, ini bukan karna reputasi kami yang tidak baik. Justru sebaliknya, sekolah kami bahkan masuk 5 sekolah favorit tingkat provinsi. Tiap tahun, terlalu banyak calon siswa yang mendaftar, sehingga hanya akan diterima dua kelas saja. Hal ini berhubungan fasilitas asrama dan kelas. Siswa sekolah kami tidak hanya berasal dari kota kecil kami maupun kabupaten tetangga, tidak sedikit yang datang dari provinsi sebelah, bahkan juga ada beberapa yang dari pulau Jawa ^^.

Tahun 2003, ketika saya mendaftarkan diri ke sekolah itu, sekitar 900-an lebih siswa yang bersaing demi meraih kursi untuk duduk di sekolah kami, namun yang diterima hanya 60an :D. Banyak syarat bahkan untuk bisa ikut tes masuk, salah satunya harus juara kelas ketika masih SD. Kemudian akan ada beberapa tahapan tes untuk masuk sekolah kami. Tes ilmu pengetahuan, tes psikologi, tes kesehatan dan kebugaran, dan terakhir adalah wawancara, tidak hanya calon siswa, tapi juga orang tua siswa.
tampak depan gedung utama, berisi kantor guru, aula, dan laboratorium

Banyak yang bilang sekolah asrama itu biayanya mahal, tapi tidak dengan sekolah kami. Karena sekolah ini merupakan yayasan, sebagian besar kebutuhan siswa dibiayai oleh “Pak Dokter”. Kami memang masih membayar, namun hanya sejumlah sekian rupiah yang menurut saya masih sangat  murah, tidak beda jauh dengan sekolah negeri.

Terkait pembayaran ini (kami tidak menyebutnya dengan uang sekolah, melainkan “Infaq”), siswa akan dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan kemampuan orang tua. Kategori A untuk siswa yang dianggap kurang mampu dan tidak perlu membayar Infaq, kategori B untuk siswa yang dianggap cukup, dan kategori C untuk yang keluarganya dianggap mampu. Seingat saya, tahun 2004 waktu itu saya hanya membayar uang “Infaq” sebesar Rp50.000 sebulan (dan saya sudah dapat fasilitas asrama, tempat tidur, makan setiap hari, dan fasilitas lainnya, bahkan semua fasilitas sekolah sudah disediakan, jadi kami tidak perlu membeli apapun ^^).

Tempat itu, tempat awal saya belajar segalanya. Dari yang manja menjadi lebih mandiri, dari yang ilmu sedikit menjadi ilmu yang lebih banyak, dari yang iman sedikit menjadi iman (yang semoga) terus bertambah.

Sudah belasan tahun berlalu sejak saya tak sabar menanti waktu dua minggu-an untuk pulang ke rumah, lalu kemudian menghela nafas panjang jika sudah waktunya harus kembali ke tempat itu lagi.
Sudah belasan tahun sejak segala hal terasa sangat perlu diperjuangkan, bahkan untuk sekedar mandi pagi, jemuran yang strategis, bahkan tempat duduk yang aman untuk tertidur di dalam kelas hehehehe.
Sudah belasan tahun sejak suara lantunan Almatshuroh terdengar rutin tiap shubuh dan menjelang maghrib, didengungkan ratusan anak-anak kecil yang beranjak remaja, beberapa khusyuk, tak sedikit yang mengantuk, bahkan banyak yang melafazkannya dengan mode otomatis, di luar kepala walau sambil berangan-angan.

Sudah belasan tahun sejak masa-masa itu berlalu. Tapi hingga kini, ikatan ukhuwah itu masih kokoh, bahkan meluas. Jika dulu hanya kenal maksimal lima tahun angkatan atas dan lima tahun angkatan bawah, bulan lalu bahkan kami berkumpul di rumah kakak kelas lintas generasi, lima belas tahun di atas angkatan kami. Generasi awal ketika sekolah kami masih tertatih baru berdiri. Berkumpul di tanah rantau, 1.597 kilometer dari tempat kami hidup bersama dulu.

Sudah belasan tahun, tapi sampai berpuluh tahun berikutnya, tempat itu tetap akan menjadi tempat yang menyatukan kami. Tidak hanya dunia, insya Allah juga di hari akhir.
Seperti kata seorang teman, “Sesungguhnya, segala yang baik padaku berasal dari tempat itu.”


Tempat itu, tempat yang kami sebut “Penjara Suci”.

Kumpul bulanan Alumni sekolah kami yang domisili Jabodetabek
Dalam rangka menyambut pengantin baru, Mei 2015