Senin, 10 November 2014

Sepatu

Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Indah, lucu,, terlihat manis dari luar.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Kita mungkin bisa melangkah bersama untuk beberapa saat, tapi sepertinya untuk waktu yang lama, aku memilih tidak.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Tetap kulakukan, tetap kupaksakan, walau sebenarnya sakitnya kian lama kian terasa.
Berjalan denganmu seperti berjalan dengan sepatu ini,
Entah sampai kapan aku akan bertahan.



Catt : Terinspirasi dari kejadian nyata. Gara-gara beli sepatu yang pada awalnya pas di kaki, tapi ketika dipakai esoknya, terasa kekecilan. Lain kali, beli sepatu yang agak longgaran #noted it. 
cc : ika, ini hanya fiksi berbasis fakta hahaha

Rabu, 05 November 2014

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {5}

Wajah-wajah kelelahan bertemu dalam satu ruang yang sama.  Beberapa mencoba mengibas-ibas bundelan kertas yang sedianya adalah bahan pembahasan sore ini. Sebagian yang lain tampak melonggarkan kancing baju. Ah, pendingin ruangan tak membantu banyak sepertinya.
Sang gadis berkali-kali membolak balik tumpukan kertas di pangkuannya, berusaha memahami beberapa angka yang mungkin ia tak mengerti dari mana muasalnya. Hingga kemudian, seseorang tiba-tiba menyodorkan sesuatu tepat ke pipinya, dingin.
Sang gadis terkejut, refleks menjauhkan muka, lalu melongok, dan menemukan seraut wajah usil sedang tertawa pelan.
“Jangan serius amat, nih, minum dulu. Sengaja beli karena ada yang bilang kamu suka sari kacang hijau.” Lelaki itu kemudian menarik kursi dan duduk persis di samping kirinya.
Sang gadis tergeragap, dan hanya bisa ber-ahh pelan.
“Kenapa? Kamu tidak suka?”
“Ah, tidak. Suka, sukaa..”
“Padaku?” lelaki itu tersenyum mengerling
“Hah???” teriak tertahan sang gadis mau tak mau membuat beberapa wajah tertoleh. Wajah sang gadis bersemu merah, sementara lelaki itu terkikik pelan, tampak menikmati benar adegan barusan.
“Aku hanya bercanda."  gumam lelaki itu sambil terus menahan tawa. Sang gadis membuang nafas lega, yang justru kemudian menyulut tawa tak henti dari lelaki itu. Ia tak paham, dan melotot pada lelaki itu dengan tatapan heran.
“Kau tahu, menggodamu sekarang jadi hal kedua yang paling kunikmati.”
“Yang pertama?” si gadis bertanya. Dan hei, entah kenapa, tetiba lelaki itu berhenti tertawa, memandang pelan dan tersenyum lemah, lalu berkata,
“Untuk yang pertama, aku rasa akan jauh lebih baik kalau kau tak tahu.” Dan dengan itu ia beranjak bangkit, meninggalkan ruang rapat dengan tatapan tak mengerti si gadis.


Sementara, tanpa ada yang menyadari, seseorang tampak gelisah dan tak berhenti menatap sejak tadi. Sang pemuda.

Selasa, 04 November 2014

Pulang (lagi)


Hei, kamu sedang apa?
Berkemas, aku hendak pulang lusa
Pulang? Kenapa? Ada apa?
Maksudnya? Gak ada apa-apa kok
Lho, kalau gak ada apa-apa, kenapa harus pulang
.......... hening

Apakah butuh alasan khusus hanya untuk pulang?


“maka berjalanlah, agar kau tahu mengapa harus pulang”

ayam kecil

*image pinjam dari sini

Berkali-kali kau berteriak, menegaskan diri bahwa kau telah jauh lebih dewasa.
Dan setiap kali, aku menggeleng. 
Tidak, sayang, di mataku kau tetaplah anak kecil.
Lihatlah bagaimana caramu mencintai. 
Cintamu yang besar mengikat, memegang terlalu erat hingga susah walau sekedar untuk bernafas. Kau seperti anak kecil yang memiliki ayam peliharaan warna-warni. Ia mencintainya, sangat. Menggenggamnya erat-erat karena takut kehilangan. Tapi sayangnya ia belum cukup mengerti bahwa dengan menggenggam terlalu erat justru bisa membunuh si ayam kecil.
Seperti itulah kamu, sayang.

Belajarlah untuk mengendorkan. Bukan untuk melepaskan, hanya sekedar memberi ruang untuk bernafas.