Rabu, 10 Mei 2023

Debu

Jarak postingan terakhir dengan ini postingan ini hampir terpisah empat tahun. Lebih tepatnya 3 tahun 10 bulan.
Apa yang berubah dalam empat tahun ini? Jawabannya, banyak. Amat banyak.
- Pindah tugas dari Jakarta ke kota kelahiran di awal 2020, dengan tujuan utama menemani dan merawat kedua orang tua.
- Adik kecilku, yang paling bungsu, sudah berkeluarga akhir bulan lalu (Yeayy! Mak, tanggung jawabku sedikit berkurang sekarang)
- Perjuangan berikhtiar dan mencari kesembuhan untuk umak pada April-Agustus 2022. Tanggal 7 Agustus 2022 tengah malam, Umak dijemput ke peristirahatan terakhirnya. Resmi sudah kami menjadi piatu.

Awalnya, kupikir kami sudah siap, mempertimbangkan hidup yang dinamis dalam lima bulan terakhir, berjibaku dengan kesibukan baru dan mengunjungi berbagai tempat untuk mencari kesembuhan.
Ternyata, ketika benar kejadian, persiapan sekian bulan itu hanya bertahan satu hari. Hari-hari berikutnya baru terasa riil dan nyatanya. Ibaratnya, persiapan mental itu hanya menahan rasa sakit sekecil tertusuk duri di telapak kaki, sementara kenyataannya rasa sakitnya seperti kakimu diamputasi putus, tanpa obat bius.

"Though I see it coming, it still hurt."

I've hit the rock bottom. Saat pelayat datang masih bisa tersenyum tegar dan bahkan becanda menenangkan orang-orang dengan dalih "Alhamdulillah, umak udah gak merasakan sakit lagi, sudah bisa tidur sekarang."

Tapi saat orang-orang mulai pulang, saat rumah sudah mulai sepi kembali, pertahananku runtuh melihat tas batik yang selalu setia ada kapan pun dan dimanapun setiap kami melakukan perjalanan. Tas batik biru yang selalu berisikan mukenah, sajadah, dan selimut selendang yang dipakai ketika di mobil. Setelah puluhan tahun, baru itu rasanya aku menangis hingga sesak napas seperti anak kecil lagi.

Tahu apa yang lebih membuat sakit? orang yang kuanggap paling dekat selain keluarga, yang paling kubutuhkan di saat itu, tidak muncul.

Kami berkawan akrab, sebutlah ada sekian orang. Pernah, ketika salah satunya lelah di kantor dan curhat kalau dia mau short escape, aku langsung ambil flight ke kotanya dan ngajak jalan. Pernah, aku ambil cuti setengah dari jatah tahunan bantu menyiapkan persiapan pernikahan salah seorang dari mereka. Sering, selalu menyesuaikan jadwal cutiku bertepatan dengan jadwal libur dan cuti mereka agar bisa kumpul walau hanya beberapa jam.

Tapi ketika ku berkabung, rasanya hampa. Di saat aku paling butuh dikuatkan selama hidupku, tak satu pun yang bahkan datang. Kecewa? Yes, I am. Tapi ya sudahlah. Paham juga, sedekat apapun kita, tetap akan jadi prioritas yang beda kalau yang lain sudah punya pasangan.

Well, sudah lama tidak bermonolog sambil curhat begini. Ah, ternyata ada sedikit lega. Jadi terkenang alasan dulu pertama kali membuat tulisan di blog ini.

Kamis, 18 Juli 2019

Kamu, Aku, Kita, Cermin

Kamu bilang duniamu seperti genangan air yang hadir setelah hujan menyapa. Tiba-tiba ada, tidak diharapkan, terinjak tak sengaja lalu melekat sejenak di sol sepatu sebelum dikibas atau ditepis pada keset lusuh, lalu kemudian mengering, menguap dan terlupakan.

Aku bilang indahmu seperti Kawah Kelimutu. Yang (meskipun sesungguhnya aku belum pernah menjejak kaki di tempat itu) untuk tiba disana aku harus menumpang pesawat, terantuk-antuk dalam mobil di perjalanan Ende-Moni, lalu harus hati-hati memilih langkah, dan meniti anak tangga. Seperti itu usaha yang harus kulalui untuk menikmati indahmu. Karena kamu seperti nasi goreng dekat kosan yang dibungkus karet dan disobek sedikit bungkus atasnya, spesial.

Kamu selalu merasa seperti deras hujan yang muncul bersama dentuman petir dan silaunya kilat. Menyusahkan, membuat repot, menakutkan, digerutui. Membuat orang memilih berdiam di kamar, menutup jendela agar hawa yang dingin tak membuat hati yang membeku menjadi semakin dingin.

Padahal bagiku datangmu seperti embun pagi. Yang muncul dengan ritme teratur, tercipta dari harmoni indah cuaca dan ketidakhadiran matahari. Kamu muncul dari ketenangan, merayapkan rasa sejuk yang membuat aku ingin menghirup napas dalam-dalam, membersihkan paru-paru yang terlalu sering dilalui udara berbau.

Kamu ngotot bahwa brotowali adalah sebuah pengejawantahan yang sempurna akan dirimu. Rasanya pahit, meninggalkan getir di lidah, dihindari, dilepeh, bahkan dijadikan sebagai momok hukuman dalam banyak ragam acara. Hei, tapi tidak tahukah kamu, puan? Brotowali punya sangat banyak manfaat. Dan tentu, hanya orang-orang terpilih yang sanggup dan ikhlas meminumnya.

Kapan kamu akan sadar bahwa sesungguhnya kamu itu manis dan segar seperti beras kencur? Sececap saja setelah meminum dapat membuat santapan setelahnya terasa lebih nikmat. Lelah terasa berkurang, bugar semakin menjadi.

Terkadang ada desakan tiba-tiba yang kurasakan untuk membedah isi pikiranmu (tentu saja ini kiasan, jangan maknai secara harfiah karena kanibalisme adalah hal yang juga mengerikan bagiku).
Kenapa terlalu banyak perbedaan dalam cara kita memandang?
Kita masih menatap objek yang sama kan?
Ah, tentu saja masih.
Agaknya cermin kita yang berbeda.



P/S : Untuk seorang sahabat, percayalah, sudah saatnya cermin itu diganti


Kamis, 04 Juli 2019

Umak dan Bapak


Terlalu banyak cara untuk memanggil dua orang paling penting bagi kita di dunia ini. Ada yang memanggil ayah-ibu, ibu-bapak, mama-papa, mami-papi, bunda-ayah, simbok-bapak, amak-apak, dan ratusan nama panggilan lain.
Aku memanggil mereka umak dan bapak. Sebuah sebutan yang sebenarnya tak serasi secara padanan kata. Menurut kebiasaan orang Batak Mandailing, panggilan umak (ibu) biasanya dipasangkan dengan ayak (ayah), sedangkan panggilan bapak biasanya serasi dengan ibu. Tapi begitulah, umak ingin dipanggil umak, dan bapak ingin dipanggil bapak (dan hal ini juga terulang ketika beliau berdua ingin dipanggil dengan sebutan nenek-opung, bukan nenek-kakek atau opung-opung. Umak ingin dipanggil nenek, sedangkan bapak kekeuh dengan sebutan opung. Oke Baiklah).

Anak pertama, strong woman, mandiri, cekatan, tegas adalah kata-kata yang paling bisa menggambarkan tentang umak. Beliau adalah definisi sempurna dari wanita kuat jiwa dan raga. Mengurus kami, keempat anaknya, sedari kecil sendiri, melaksanakan tugas mengajar sebagai guru, seminggu sekali masih menempuh 2 jam perjalanan ke kampung kakek dan mengurus segala macam sawah, kebun, rumah kosong dan urusan lainnya di kampung sepeninggalnya kakek dan nenek. Sebulan sekali masih bolak-balik ke kota Medan dan Padang, mengunjungi mamak/tulang (sebutan adik laki-laki dari umak dlm Bahasa Mandailing), sekedar silaturahim sekaligus membawa berbagai hasil sawah dan kebun warisan dari kakek dan nenek  yang hingga saat ini masih diurus bersama.

Seperti sebuah hukum alam, perlu keseimbangan dalam segala hal. Kalau umak adalah anak sulung, maka bapak justru anak bungsu. Bapak dikenal dengan sifatnya yang humoris, peka, lembut hati, romantis, suka menolong, dan pengalah terutama untuk anak-anaknya. Nenek dan kakek dari pihak bapak hanya kukenal dari foto tanpa warna yang sudah buram, keduanya sudah tiada sebelum kami lahir. Saudara-saudara bapak terpencar jauh dan jarang pulang ke kampung. Mungkin itu sebab aku lebih kenal dan dekat dengan keluarga besar umak.


Umak dan bapak mendidik kami untuk mandiri sedari kecil. Bagi mereka, agama dan pendidikan adalah hal yang utama. Oleh karena itu kami sudah “merantau” untuk sekolah ke kota lain sejak usia setingkat SMP, kecuali si adek nomor 3 yang baru jauh dari rumah ketika memasuki SMA. Bukan hanya soal jarak, sekolah yang ditawarkan (bukan dipilihkan) untuk kami adalah sekolah dengan reputasi yang baik dari segi akademis, juga lingkungan pergaulan dan pendidikan agama. Tidak khusus sekolah seperti pesantren, tapi sekolah umum yang kental dengan nuansa ke-Islam-an (saat ini seperti SMP-SMA IT yang sudah semakin berkembang di mana-mana). Hingga masa kuliah, kami merantau lebih jauh lagi, tidak hanya lintas kota lintas provinsi, tapi beranjak ke pulau seberang. Padang, Jakarta, Bandung, dan Jogja.

Kami bukan dari keluarga yang berada. Terkadang ketika terduduk menunggu santap siang diantarkan di restoran seharga ratusan ribu sekali makan, pikiran ini terbawa ke masa-masa dulu ketika masih kecil. Kami dibiasakan untuk merasa cukup dan menikmati apapun yang ada. Adalah hal yang biasa makan sepiring nasi ditambah kecap asin dengan lauk telur dadar yang dibagi untuk enam orang, telur dadar yg dimasak dengan hanya sebutir telur. Iya, secukup itu memang. Menyantap bakso pun biasanya sekali dalam 4 bulan, agenda tiap caturwulan sepulang menerima rapor dari sekolah. Sebuah reward untuk anak-anaknya yang selalu langganan juara kelas. Alhamdulillah semua cerita-cerita itu jadi masa lalu yang manis dikenang. Perlahan perekonomian keluarga membaik seiring kebijakan peningkatan kesejahteraan guru dari Pemerintah, didukung pula dengan anak-anak yang satu demi satu memiliki pekerjaan tetap. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.

Menjadi anak rantau dalam tiga belas tahun terakhir menyadarkanku akan beberapa hal. Selalu ada kerutan yang bertambah di wajah-wajah itu dalam setiap perjumpaan. Rambut bapak ternyata kini sudah didominasi oleh pigmen warna putih. Lutut dan sendi umak tak lagi setahan banting dulu. Semakin dewasa, semakin banyak hal yang disadari, semakin terlihat realita yang sebenarnya. Bapak ternyata bukan seorang Superman, ada kala beliau terlihat lemah di depan kami. Umak ternyata tak sekuat itu. Walaupun beliau seorang ibu, tapi di waktu bersamaan beliau juga anak dari kakek. Baru kutahu belakangan ini bahwa di hari-hari ketika beliau merindukan kakek dan nenek, umak dan bapak akan mengunci rapat pintu kamar, memutar lagu Muara Kasih Bunda dan Ringgit tu Rupiah* kemudian menangis sambil memeluk bantal.

Entah aku yang baru menyadari atau memang umak dan bapak yang mulai melonggar, merasa kami sudah cukup besar dan dewasa untuk berbagi beban. Segala yang dulu ditanggung berdua kini bisa ditanggung berenam. Semua hal yang dulu didiskusikan diam-diam sehabis sholat malam kini dibicarakan bersama. Iya, kami semakin dewasa, dan umak bapak ternyata semakin menua.

Di usia akhir dua puluh-an ini, hal yang paling kuinginkan adalah umak dan bapak tetap sehat. Suatu doa yang kupanjatkan setiap hari, melebihi keinginan untuk dipersatukan dengan jodoh yang Allah pilihkan. Mencoba lebih sering bertemu beliau berdua, meningkatkan rutinitas pulang ke rumah yang biasanya hanya dua kali setahun. Semoga Allah tetap mengumpulkan kami di dunia, juga nanti dipersatukan di tempat yang terbaik. Aku yang akan menjadi saksi bahwa mereka adalah hamba yang sholeh/sholehah, teman yang baik, orang tua yang bertanggung jawab, guru yang menginspirasi, dan saudara yang paling penyayang. 


* lagu Batak Mandailing yang dinyanyikan oleh Forra Simamora dan diciptakan oleh Top Simamora. Bercerita tentang kerinduan seorang ayah terhadap anaknya yang merantau ke negeri seberang, kerinduan yang tidak mengharapkan kiriman ringgit atau rupiah, tapi cukup dengan amplop surat  dari anak yang bertahun tidak berkabar

Selasa, 29 Agustus 2017

akhir Agustus 2017

Mungkin kikuk, mungkin segan, mungkin tunggu nanti-nanti mencari momen yang tepat. Namun jika akhirnya nanti-nanti itu tak kunjung tiba karena keraguan yang tak habis, alangkah bingungnya bagaimana kita sama-sama bersikap.

Dalam bulan ini, Alhamdulillah dapat dua kabar gembira dari dua sahabat yang duan-duanya saya pandang sebagai sosok yang sangat penting hingga saat ini.

Pada sahabat yang pertama, ada rasa segan dan bingung bagaimana bersikap tapi tak berani bertanya langsung, menunggu dia menemukan waktu yang tepat untuk berbicara. Namun kemudian ketika mendengar kabar itu justru dari yang lain, entahlah, bingung. Tapi tentu saja, saya bahagia untuknya ^^.

Dengan sahabat yang kedua, kami berteman sejak masa putih-biru. Berjuang bersama mengikuti bimbingan belajar menuju perguruan tinggi harapan masing-masing. Delapan tahun berlalu sejak itu, komunikasi masih ada. Tiap berkunjung ke kotanya, tak lupa singgah sejenak bertemu walau bahkan terkadang hanya untuk tiga puluh menit. Dan malam ini, mendapat berita tentang hari bahagianya dari orang lain. Lebih tepatnya dari kabar yang disebar oleh teman lain di grup angkatan. Dan saya terhenyak. Entah mengapa merasa sedikit terluka karena tak tahu kabar itu lebih dulu dari yang lain.

Pikiran picik saya bertanya-tanya, apa mungkin hanya saya yang menganggapnya sebagai sahabat dekat? Tapi kemudian, bercermin lagi, mungkin saya yang selama ini sok sibuk, tidak berniat mencari tahu atau segan bertanya, dan akhirnya berujung seperti ini.

Selamat berbahagia, kalian.
Semoga Allah karuniakan keluarga yang penuh cinta kasih, diselimuti rahmat dan keberkahan yang tiada putus.

Selasa, 19 Juli 2016

aku meringkuk dibatasi dinding harga diri yang kadang terlalu tebal
aku mengawasi dengan mata yang kian hari berusaha kian tajam
aku tergugu karena berkali-kali kaki ingin melangkah, namun ranting malu kembali merengkuh kuat
aku terdiam, ragu dan tak tahu bagaimana cara mendekat ke arahmu
aku menghela, antara pekik bahagia dan perih atas semua komunikasi satu arah yang kita bangun  (tepatnya bukan kita, tapi aku)
aku cukup bahagia hanya dengan melihat warnamu, walau dari kejauhan (tak akan pernah lebih dekat)
ironisnya, dilain sisi, kau bahkan tak tahu ada seonggok makhluk bernama aku


*lamaaaaaaaa tidak buka blog,
*sekalinya ngeblog malah random :P

Kamis, 12 Mei 2016

*random*

Kita biasa berjalan beriringan
Kadang sambil menertawakan hal konyol hari itu
Kadang terdiam sama-sama lelah akan hari yang panjang
Di kali lain saling berkeluh, tentang hari yang entah kenapa begitu menyebalkan
Kita sering berjalan bersama
Bukan karena kita dekat (fisik maupun batin), mungkin,
sepertinya itu buah dari rutinitas yang berulang setiap saat
Lalu lama-kelamaan menjadi sebuah kebiasaan
Kita tetap berjalan bersama
Tapi kini lebih sibuk dengan pikiran masing-masing
Fisik kita tetap disitu, berjalan bersisian
Tapi lama-lama pikiran telah mengembara jauh entah kemana
Lalu malam ini, kita kembali berjalan bersama menyusuri jalanan yang sudah terlalu hafal seluk beluknya
Aku tergoda untuk memberhentikan langkah
Dan memandangmu tetap melangkah jauh ke depan
Lagi dan lagi, hingga akhirnya kau menghilang di belokan kecil di ujung jalan
Aku hanya bisa tersenyum lemah, menyadari betapa langkah bersama kita memang hanya rutinitas semata

Kau, bahkan tak menyadari aku tak berjalan di sisimu saat itu

Kamis, 31 Maret 2016

Lantang atau diam, (dia) itu cinta {7}*

Entah sejak kapan, si gadis merasa dirinya lebih periang, ah, periang mungkin bukan kata yang tepat juga, sebutlah lebih banyak berkata dan berbincang dengan orang lain. Ia masih merasa kikuk, tapi tak lagi sesungkan dulu. Lebih banyak tersenyum, dan dibalas senyum oleh lebih banyak orang. Mulai bercanda ketika selintas berpapasan dengan beberapa orang di koridor menuju kubikelnya, mulai balas menggoda bila ada yg iseng mencandai dan menggoda. Ia jadi lebih ramah dan banyak teman. Kalau kata si gadis, ia mulai belajar menjadi makhluk sosial.

Berbanding terbalik dengan penerimaan dari kebanyakan orang, ada satu sosok yang tak cukup bergembira dengan perkembangan ini. Ia, sang pemuda.

Sang pemuda merasa si gadis mulai berubah, dan kebiasaannya memerhatikan si gadis dari jauh, lamat-lamat terganggu dengan banyaknya orang yang kini berinteraksi dengan gadis itu. Tak ada lagi kejadian masuk lift buru-buru lalu meringkuk diam di sudut, tak ada lagi jam istirahat siang dihabiskan dengan membaca buku di taman bermain kecil tak jauh dari kantor, tak ada lagi adegan si gadis memandang jauh dari jendela kaca dengan kotak minuman rasa kacang hijau tergenggam di tangan dan sedotan tertempel di bibir untuk sekian lama (seringkali si gadis mungkin justru lupa untuk menghabiskan minumannya), tak lagi si gadis pulang dengan diam lalu membungkuk hormat pada semua yang berpapasan (kini setiap pulang, si gadis selalu menyapa riang ke semua orang, melambai mengabarkan kepulangannya), dan yang pasti, tak ada lagi senyum canggung dan percakapan kaku di antara mereka, si gadis kini bahkan selalu menyapanya, lalu dengan ringan bertanya kabar atau sekedar topik tentang jadwal rapat hari ini.


Si gadis dan ia memang jadi lebih banyak kesempatan untuk sekedar bercakap, tapi ia tak suka itu. Sangat tak suka.


*judul terispirasi dari Qoutes Tasaro GK

Rabu, 30 Maret 2016

Malam itu, kau menghela nafas di ujung sana, lalu berujar,

“Kamu terlalu baik”.
“Kamu selalu mengalah untuk menuruti kemauan orang lain, walau pada akhirnya justru kamu sendiri yang direpotkan dan kewalahan”
“Kamu sadar gak sih? Mungkin bisa jadi itu bukan karena kamu yang baik, bisa jadi kamu terlalu ingin untuk dipandang baik. Sampai-sampai kamu mengalah pada kebanyakan hal kemudian merasa susah sendiri. Kalau kamu baik, kamu tidak akan mengomel dalam hati, kamu tak akan datang padaku dan berkeluh kesah macam ini.”
“Coba pikirkan lagi, ini kamu lakukan untuk apa, siapa, dan kenapa?”
“Coba sesekali berhenti untuk terlihat baik di depan orang-orang”
“Nyatanya, bahkan untuk hal kecil macam tadi saja orang tak mau mengalah kan? Tak semua yang kamu lakukan akan dibalas sama oleh orang lain”
“Mulai sekarang, tiap kamu ingin mengalah dan berbuat baik, ingat ucapanku ini, “Benarkah ini yang terbaik? Untukmu dan mereka? Atau ini hanya akan sama-sama menyakiti masing-masing dari kalian secara pelan-pelan? Kau dengan semua kerepotan dan masalah yang kau simpan, mereka dengan semua sikap tak mau tahu dan rasa di atas angin”

"Sudah waktunya kamu untuk mengurangi kepedulian dan kepekaan yang berlebihan."

Lalu kita sama-sama terdiam, hanya saling mendengarkan irama nafas masing-masing hingga paket telepon murah seratus menit itu berakhir.

Jumat, 18 Maret 2016

Mencintai Agama Tanpa Memusuhi Negara

Perbincangan tentang Agama, Jakarta, dan politik.

Dalam bukunya, Rembulan Tenggelam Di Wajahmu, Abanganda Tere Liye pernah menulis,  “tidak ada niat yang boleh dicapai dengan cara buruk, dan sebaliknya tidak ada niat buruk yang berubah baik meski dilakukan dengan cara-cara baik”.

Terlepas dari semua pro-kontra soal benar-salah atau gejolak kancah politik yang konon kian memanas, agaknya akan jauh lebih arif bahwa membela yang benar pun dilakukan dengan cara yang bijak dan teduh, bukan sebaliknya malah turut menyerang.

Betul, iman yang paling utama adalah mencegah kemungkaran dengan perbuatan, jika tidak sanggup lalu dengan perkataan, jika pula tak sanggup maka dengan doa/hati, dan itu adalah selemah-lemah iman (sebagaimana disebutkan dalam hadits Arba’in ke-34 yang diriwayatkan Imam Muslim).

Tentu saja, saya pasti tak lebih baik dibanding beliau-beliau yang memilih berbuat secara nyata, walau  mungkin
 
akan lebih indah bila jalannya sedikit “berbunga”. Menjadi pelajaran untuk diri sendiri juga, agar tidak hanya dapat membatin dan berkomentar dalam hati.