Kamu bilang
duniamu seperti genangan air yang hadir setelah hujan menyapa. Tiba-tiba ada,
tidak diharapkan, terinjak tak sengaja lalu melekat sejenak di sol sepatu
sebelum dikibas atau ditepis pada keset lusuh, lalu kemudian mengering, menguap
dan terlupakan.
Aku bilang
indahmu seperti Kawah Kelimutu. Yang (meskipun sesungguhnya aku belum pernah
menjejak kaki di tempat itu) untuk tiba disana aku harus menumpang pesawat,
terantuk-antuk dalam mobil di perjalanan Ende-Moni, lalu harus hati-hati
memilih langkah, dan meniti anak tangga. Seperti itu usaha yang harus kulalui
untuk menikmati indahmu. Karena kamu seperti nasi goreng dekat kosan yang
dibungkus karet dan disobek sedikit bungkus atasnya, spesial.
Kamu selalu
merasa seperti deras hujan yang muncul bersama dentuman petir dan silaunya
kilat. Menyusahkan, membuat repot, menakutkan, digerutui. Membuat orang memilih
berdiam di kamar, menutup jendela agar hawa yang dingin tak membuat hati yang
membeku menjadi semakin dingin.
Padahal bagiku
datangmu seperti embun pagi. Yang muncul dengan ritme teratur, tercipta dari
harmoni indah cuaca dan ketidakhadiran matahari. Kamu muncul dari ketenangan,
merayapkan rasa sejuk yang membuat aku ingin menghirup napas dalam-dalam,
membersihkan paru-paru yang terlalu sering dilalui udara berbau.
Kamu ngotot
bahwa brotowali adalah sebuah pengejawantahan yang sempurna akan dirimu. Rasanya
pahit, meninggalkan getir di lidah, dihindari, dilepeh, bahkan dijadikan
sebagai momok hukuman dalam banyak ragam acara. Hei, tapi tidak tahukah kamu, puan? Brotowali punya sangat banyak manfaat. Dan tentu, hanya orang-orang
terpilih yang sanggup dan ikhlas meminumnya.
Kapan kamu
akan sadar bahwa sesungguhnya kamu itu manis dan segar seperti beras kencur? Sececap
saja setelah meminum dapat membuat santapan setelahnya terasa lebih nikmat. Lelah
terasa berkurang, bugar semakin menjadi.
Terkadang ada desakan tiba-tiba yang
kurasakan untuk membedah isi pikiranmu (tentu saja ini kiasan, jangan maknai
secara harfiah karena kanibalisme adalah hal yang juga mengerikan bagiku).
Kenapa terlalu banyak perbedaan
dalam cara kita memandang?
Kita masih menatap objek yang sama
kan?
Ah, tentu saja masih.
Agaknya cermin kita yang berbeda.
P/S : Untuk seorang sahabat, percayalah, sudah saatnya cermin itu diganti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar