Kamis, 18 Juli 2019

Kamu, Aku, Kita, Cermin

Kamu bilang duniamu seperti genangan air yang hadir setelah hujan menyapa. Tiba-tiba ada, tidak diharapkan, terinjak tak sengaja lalu melekat sejenak di sol sepatu sebelum dikibas atau ditepis pada keset lusuh, lalu kemudian mengering, menguap dan terlupakan.

Aku bilang indahmu seperti Kawah Kelimutu. Yang (meskipun sesungguhnya aku belum pernah menjejak kaki di tempat itu) untuk tiba disana aku harus menumpang pesawat, terantuk-antuk dalam mobil di perjalanan Ende-Moni, lalu harus hati-hati memilih langkah, dan meniti anak tangga. Seperti itu usaha yang harus kulalui untuk menikmati indahmu. Karena kamu seperti nasi goreng dekat kosan yang dibungkus karet dan disobek sedikit bungkus atasnya, spesial.

Kamu selalu merasa seperti deras hujan yang muncul bersama dentuman petir dan silaunya kilat. Menyusahkan, membuat repot, menakutkan, digerutui. Membuat orang memilih berdiam di kamar, menutup jendela agar hawa yang dingin tak membuat hati yang membeku menjadi semakin dingin.

Padahal bagiku datangmu seperti embun pagi. Yang muncul dengan ritme teratur, tercipta dari harmoni indah cuaca dan ketidakhadiran matahari. Kamu muncul dari ketenangan, merayapkan rasa sejuk yang membuat aku ingin menghirup napas dalam-dalam, membersihkan paru-paru yang terlalu sering dilalui udara berbau.

Kamu ngotot bahwa brotowali adalah sebuah pengejawantahan yang sempurna akan dirimu. Rasanya pahit, meninggalkan getir di lidah, dihindari, dilepeh, bahkan dijadikan sebagai momok hukuman dalam banyak ragam acara. Hei, tapi tidak tahukah kamu, puan? Brotowali punya sangat banyak manfaat. Dan tentu, hanya orang-orang terpilih yang sanggup dan ikhlas meminumnya.

Kapan kamu akan sadar bahwa sesungguhnya kamu itu manis dan segar seperti beras kencur? Sececap saja setelah meminum dapat membuat santapan setelahnya terasa lebih nikmat. Lelah terasa berkurang, bugar semakin menjadi.

Terkadang ada desakan tiba-tiba yang kurasakan untuk membedah isi pikiranmu (tentu saja ini kiasan, jangan maknai secara harfiah karena kanibalisme adalah hal yang juga mengerikan bagiku).
Kenapa terlalu banyak perbedaan dalam cara kita memandang?
Kita masih menatap objek yang sama kan?
Ah, tentu saja masih.
Agaknya cermin kita yang berbeda.



P/S : Untuk seorang sahabat, percayalah, sudah saatnya cermin itu diganti


Tidak ada komentar:

Posting Komentar