Selasa, 17 September 2013

Singgah


Cuaca yang panas, udara yang berdebu, tanah berpasir, jerit klakson yang tak henti. Dan aku tersenyum, menyadari kota ini masih menyambutku dengan wajah yang sama. Menatap lalu lalang angkot dan hiruk pikuk berbagai anak sekolah dan siswa bimbingan yang baru pulang, lagi-lagi membuatku tak bisa berhenti tersenyum. Tiba-tiba bernostalgia lagi dengan kemesraan kota ini.
Hampir empat tahun lalu, kunikmati kota ini dalam gesitnya angkot yang melaju kencang bak di arena balapan. Menatap segerombolan gadis-gadis tanggung dengan buku tebal di tangan membuatku teringat tentang aku yang dulu.

Tahun 2009. Bulan April-Agustus. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kota ini mendadak mendapat ratusan penghuni baru, remaja-remaja tanggung yang masih fresh keluar dari oven panggangan bernama Sekolah Menengah Atas. Layaknya para pendahulu, saat itu kami pun larut dalam euforia kelulusan dan persaingan ketat mengamankan posisi setidaknya di satu kursi universitas negeri. Masa-masa kritis kata banyak orang, karena ini mungkin akan menjadi penentu jalan hidupmu untuk selamanya (kata mereka). Maka seperti yang sudah-sudah, kami pun mengikuti kebiasaan menjalani ritual suci demi masa depan (agak-agak lebay dikit V_V). Ritual bernama bimbingan belajar. Pagi, belajar. Siang, belajar. Sore, belajar. Malam, belajar. Untugnya tengah malam masih bisa tidur. 

Singkat sebenarnya, hanya beberapa bulan, tapi mungkin memang menjadi momen penting dalam hidupku. Tidak, bukan hanya karena soal universitas, tapi di waktu yang sangat singkat itu aku mengenal banyak orang. Orang-orang yang kelak menjadi bagian penting dalam hidupku, hingga saat ini, semoga juga sampai nanti-nanti. Ada dia, yang kini selalu menjadi tempat singgah ketika aku berkunjung lagi ke kota itu. Ada dia, yang kini tetap menjadi pengingat untuk selalu lebih baik. Ada dia, yang selalu bisa membuat derai tawa kembali dan bahkan diamnya pun selalu ingin membuatku tersenyum. Dan mungkin karena ada kamu, yang datang tiba-tiba bagaikan malaikat, dengan kresek hitam berisi sepatu pinjaman yang kebesaran (sebab hari itu sepatuku jebol karena berjalan terlalu jauh saat survey lokasi ujian)

Tahun 2012. Bulan Juli-Agustus. Aku masih ingat, mengobrak-abrik hampir setiap rak di toko gr*media, berkeliling di setiap toko buku yang ada, bahkan singgah di setiap penjual majalah di pinggiran jalan sepanjang kota itu, demi sebuah majalah yang entah mengapa rasanya harus kuperoleh saat itu juga. Menempuh jarak 125 km dari kota tugas belajarku selama sebulan, menyapu hampir seluruh sudut kota itu. Pada akhirnya, kumpulan kertas itu datang jauh-jauh dari Jawa Timur sana hahaha

Aku tak lahir dan besar di kota itu. Tak pula merasa bersahat dengannya. Tapi tetap, aku tak bisa membohongi hati bahwa kota Medan, pernah dan mungkin tetap jadi tempat hati untuk selalu singgah sejenak.


Medan, Mei 2013


(nemu tulisan lama saat berbenah isi laptop) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar