Terlalu banyak
cara untuk memanggil dua orang paling penting bagi kita di dunia ini. Ada yang memanggil
ayah-ibu, ibu-bapak, mama-papa, mami-papi, bunda-ayah, simbok-bapak, amak-apak,
dan ratusan nama panggilan lain.
Aku memanggil
mereka umak dan bapak. Sebuah sebutan yang sebenarnya tak serasi secara padanan
kata. Menurut kebiasaan orang Batak Mandailing, panggilan umak (ibu) biasanya
dipasangkan dengan ayak (ayah), sedangkan panggilan bapak biasanya serasi
dengan ibu. Tapi begitulah, umak ingin dipanggil umak, dan bapak ingin
dipanggil bapak (dan hal ini juga terulang ketika beliau berdua ingin dipanggil
dengan sebutan nenek-opung, bukan nenek-kakek atau opung-opung. Umak ingin
dipanggil nenek, sedangkan bapak kekeuh dengan sebutan opung. Oke Baiklah).
Anak
pertama, strong woman, mandiri, cekatan, tegas adalah kata-kata yang paling bisa
menggambarkan tentang umak. Beliau adalah definisi sempurna dari wanita kuat
jiwa dan raga. Mengurus kami, keempat anaknya, sedari kecil sendiri,
melaksanakan tugas mengajar sebagai guru, seminggu sekali masih menempuh 2 jam
perjalanan ke kampung kakek dan mengurus segala macam sawah, kebun, rumah
kosong dan urusan lainnya di kampung sepeninggalnya kakek dan nenek. Sebulan sekali
masih bolak-balik ke kota Medan dan Padang, mengunjungi mamak/tulang (sebutan adik
laki-laki dari umak dlm Bahasa Mandailing), sekedar silaturahim sekaligus
membawa berbagai hasil sawah dan kebun warisan dari kakek dan nenek yang hingga saat ini masih diurus bersama.
Seperti
sebuah hukum alam, perlu keseimbangan dalam segala hal. Kalau umak adalah anak
sulung, maka bapak justru anak bungsu. Bapak dikenal dengan sifatnya yang humoris,
peka, lembut hati, romantis, suka menolong, dan pengalah terutama untuk anak-anaknya. Nenek
dan kakek dari pihak bapak hanya kukenal dari foto tanpa warna yang sudah
buram, keduanya sudah tiada sebelum kami lahir. Saudara-saudara bapak terpencar
jauh dan jarang pulang ke kampung. Mungkin itu sebab aku lebih kenal dan dekat
dengan keluarga besar umak.
Umak dan
bapak mendidik kami untuk mandiri sedari kecil. Bagi mereka, agama dan
pendidikan adalah hal yang utama. Oleh karena itu kami sudah “merantau” untuk
sekolah ke kota lain sejak usia setingkat SMP, kecuali si adek nomor 3 yang
baru jauh dari rumah ketika memasuki SMA. Bukan hanya soal jarak, sekolah yang
ditawarkan (bukan dipilihkan) untuk kami adalah sekolah dengan reputasi yang
baik dari segi akademis, juga lingkungan pergaulan dan pendidikan agama. Tidak khusus
sekolah seperti pesantren, tapi sekolah umum yang kental dengan nuansa
ke-Islam-an (saat ini seperti SMP-SMA IT yang sudah semakin berkembang di
mana-mana). Hingga masa kuliah, kami merantau lebih jauh lagi, tidak hanya
lintas kota lintas provinsi, tapi beranjak ke pulau seberang. Padang, Jakarta,
Bandung, dan Jogja.
Kami bukan
dari keluarga yang berada. Terkadang ketika terduduk menunggu santap siang
diantarkan di restoran seharga ratusan ribu sekali makan, pikiran ini terbawa
ke masa-masa dulu ketika masih kecil. Kami dibiasakan untuk merasa cukup dan
menikmati apapun yang ada. Adalah hal yang biasa makan sepiring nasi ditambah kecap asin
dengan lauk telur dadar yang dibagi untuk enam orang, telur dadar yg dimasak
dengan hanya sebutir telur. Iya, secukup itu memang. Menyantap bakso pun biasanya
sekali dalam 4 bulan, agenda tiap caturwulan sepulang menerima rapor dari
sekolah. Sebuah reward untuk anak-anaknya yang selalu langganan juara kelas. Alhamdulillah
semua cerita-cerita itu jadi masa lalu yang manis dikenang. Perlahan perekonomian
keluarga membaik seiring kebijakan peningkatan kesejahteraan guru dari
Pemerintah, didukung pula dengan anak-anak yang satu demi satu memiliki
pekerjaan tetap. Alhamdulillah, Alhamdulillah, Alhamdulillah.
Menjadi anak
rantau dalam tiga belas tahun terakhir menyadarkanku akan beberapa hal. Selalu ada
kerutan yang bertambah di wajah-wajah itu dalam setiap perjumpaan. Rambut bapak
ternyata kini sudah didominasi oleh pigmen warna putih. Lutut dan sendi umak tak lagi
setahan banting dulu. Semakin dewasa, semakin banyak hal yang disadari, semakin
terlihat realita yang sebenarnya. Bapak ternyata bukan seorang Superman, ada
kala beliau terlihat lemah di depan kami. Umak ternyata tak sekuat itu. Walaupun
beliau seorang ibu, tapi di waktu bersamaan beliau juga anak dari kakek. Baru kutahu
belakangan ini bahwa di hari-hari ketika beliau merindukan kakek dan nenek,
umak dan bapak akan mengunci rapat pintu kamar, memutar lagu Muara Kasih Bunda
dan Ringgit tu Rupiah* kemudian menangis sambil memeluk bantal.
Entah aku
yang baru menyadari atau memang umak dan bapak yang mulai melonggar, merasa
kami sudah cukup besar dan dewasa untuk berbagi beban. Segala yang dulu
ditanggung berdua kini bisa ditanggung berenam. Semua hal yang dulu
didiskusikan diam-diam sehabis sholat malam kini dibicarakan bersama. Iya, kami
semakin dewasa, dan umak bapak ternyata semakin menua.
Di usia
akhir dua puluh-an ini, hal yang paling kuinginkan adalah umak dan bapak tetap
sehat. Suatu doa yang kupanjatkan setiap hari, melebihi keinginan untuk
dipersatukan dengan jodoh yang Allah pilihkan. Mencoba lebih sering bertemu
beliau berdua, meningkatkan rutinitas pulang ke rumah yang biasanya hanya dua
kali setahun. Semoga Allah tetap mengumpulkan kami di dunia, juga nanti
dipersatukan di tempat yang terbaik. Aku yang akan menjadi saksi bahwa mereka
adalah hamba yang sholeh/sholehah, teman yang baik, orang tua yang bertanggung
jawab, guru yang menginspirasi, dan saudara yang paling penyayang.
* lagu Batak Mandailing yang dinyanyikan oleh Forra Simamora dan diciptakan oleh Top Simamora. Bercerita tentang kerinduan seorang ayah terhadap anaknya yang merantau ke negeri seberang, kerinduan yang tidak mengharapkan kiriman ringgit atau rupiah, tapi cukup dengan amplop surat dari anak yang bertahun tidak berkabar