Hidup ini indah. Kau hanya harus menyadari beberapa hal. sesederhana buram jendela karena tempias hujan, sesederhana ribuan lagu yang tak pernah berhenti bersenandung. sesederhana derai sunyi yang menenangkan. hidup ini indah, karena bahagia itu sederhana.
Rabu, 28 Januari 2015
Kabut
Diam-diam mendekat, mencoba meraih hijau yang menyala.
perlahan turun, kabut yang pekat.
(Pariaman, 31 Desember 2014)
Entahlah ini masuk kategori kabut atau awan jatuh :D
Diikutsertakan dalam Turnamen Foto Perjalanan Ronde 54 : Kabut
Rabu, 21 Januari 2015
tegakmu
Duduk, diam. Kau tatap wajah-wajah seribu emosi. Berkelebat.
Berganti.
Sepuluh, seratus, lebih seribu.
Kau lihat wanita-wanita anggun dalam balutan rok lebar
dengan kerangka bambu penyangga di dalamnya. Berjalan dengan langkah satu-satu, dagu
terangkat. Satu tangan menyatu dengan pegangan payung penuh warna, satunya lagi
dengan lentik menyingsing sedikit rok kembang. Dengan gaya tertentu, dengan
dengan anggun yang terukur.
Kau saksikan gadis-gadis jelita berjalan cepat-cepat
bergerombol. Melangkah dalam balutan kain panjang batik yang rapat menutup,
membelit dan menyisakan ruang gerak sekedar untuk melangkah. Kudung-kudung yang
gemar bercanda bersama angin, dan senyum malu-malu tertunduk.
Kau saksikan wanita-wanita kuat memikul keranjang rotan.
Membungkuk membersamai beban di pundak. Langkah kaki satu-satu, dengan nafas
yang kian menderu.
Kau saksikan kaki-kaki telanjang berlari cepat. Debu dan
lumpur adalah sahabat karib mereka. Lalu tawa tak henti, sedangkan tangan dan
matanya awas, menengadah ke atas sana, ke arah biru, mencari satu dua
layang-layang putus yang bercumbu dipermainkan angin.
Ribuan, jutaan tapak kaki melewati. Dan kau duduk tegak.
Menjadi saksi kaki-kaki telanjang itu kini dibalut bermacam alas yang berbeda.
Benda bernama sneaker, wedges, boot mungkin terdengar aneh di telingamu.
Layang-layang tak lagi menarik, denting es keliling tak lagi menggiurkan.
Entah sejak kapan, dunia terasa menjadi sibuk. Seolah semua
orang terburu-buru, takut ketinggalan sesuatu. Langkah-langkah tergesa, gurat
penuh cemas, lirikan tak henti pada arloji. Mungkin mereka kekurangan waktu dari
24 jam yang diberikan dunia.
Dan, lagi, kau tetap duduk dengan gagah.
Menjadi saksi, lagi, berbagai perubahan terus bergulir.
Mungkin sampai nanti, ketika manusia lupa dengan kata.
Mungkin sampai nanti, ketika manusia tak lagi merasa perlu bertemu.
Mungkin
sampai nanti, ketika dunia menjadi mainan canggih penuh kemegahan.
Namun tanpa
nyawa.
Seniman Manusia Patung.
Kota Tua, 17 Januari 2015
Minggu, 18 Januari 2015
kamu dalam kenangan
Kota Tua, 17 Januari 2015
Seperti jejeran warna-warni sepeda di pojok lapangan itu,
kau pun terlalu berwarna untuk disebut sederhana.
Seperti jejeran gedung-gedung tua yang memadati kawasan itu,
kau pun terlalu kokoh untuk disebut usang.
Seperti renyah tawa denging ramai dari kanak-kanak
dengan kostum warna-warni, kau pun terlalu ceria untuk di sebut diam.
Di sini, di tempat ini.
Aku seolah mencium bau yang kukenal.
Mencium baumu. Bau masa lalu.
Jumat, 09 Januari 2015
Musim hujan tiba
Hujan, gerimis, hujan, dan hujan lagi.
aku yang memang merasa susah untuk tak mengeluh tanpa sadar
sudah mengoceh sejak tadi.
Merasa keberatan dengan serangan rintik air di pagi hari
ketika dandanan masih rapi
Merasa harus butuh persiapan ekstra dengan sedia kaus kaki
cadangan selalu dalam tas, dan tentunya, sahabat setia hujan, payung.
Aku cemberut, lagi-lagi bercerita tentang sepatu yang baru
dua hari dikenakan dan sudah kuyup berkenalan dengan hujan dan genangan air.
Dan kau hanya tersenyum, seolah melihat anak kecil cerewet
yang tak pernah berhenti berceloteh.
"Itu hanya hujan air, yang serem itu kalau terjadi hujan
golok" katamu berkelakar.
Dan aku tahu, walau itu hanya canda, itu caramu untuk
mengingatkanku agar tak kufur pada rezeki. Agar tanpa sadar merasa punya kuasa
untuk membantah wewenang Tuhan.
Itu caramu, cara terbaik tanpa menggurui.
Dan aku, lagi-lagi merasa gagal untuk menjadi seorang yang
anggun di depanmu.
Senin, 05 Januari 2015
pulangku kali ini
Berpisah sejenak dengan segala kesibukan dan keterburu-buaran
ibukota, kunikmati sejenak waktu tanpa melakukan apa-apa di ruang tunggu yang
kini sesak dipenuhi wajah-wajah tak sabar bertemu keluarga, teman bisnis, atau
mungkin sekadar menjauh dari keramaian.
Dua jam di udara kini tak lagi terasa, tak kusibukkan diri
dengan menyempatkan tidur atau membaca majalah yang tersedia seperti biasanya.
Hanya menatap ke arah jendela, dan menikmati hamparan putih seluas mata
memandang.
Awan yang bergumpal, lembaran putih yang lurus, tipis dan
lebih mirip kabut, atau kumpulan yang terlihat padat dan berwarna pekat.
Bermacam-macam. Dan entah mengapa, setelah dua puluh empat tahun memandang ke
atas sana, baru kali ini kusadari bahwa aku suka awan dan langit.
Klise, mungkin.
Tapi kepulangan kali menyadarkanku bahwa betapa Pulau Sumatera, tempatku lahir
dan dibesarkan menyajikan pemandangan yang luar biasa, bahkan dalam keseharian
tanpa sesuatu yang istimewa.
Langganan:
Postingan (Atom)