Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Januari 2012

kita dan hujan



malam ini hujan. deras.

cukup buat burung-burung mencicit. melingkar memeluk ibunya.
malam ini air tercurah. banyak.
cukup buat orang-orang berdiam diri. mengunci rapat rumah.
malam ini petir menggelegar. rusuh.
cukup buat orang-orang terkejut. lantas semakin memeluk rapat selimut hangat.
malam ini kilat menyambar. silau.
cukup buat semua makhluk beristighfar. buru-buru masuk rumah.


ah, tapi kita masih disini. di bawah payung penuh warna warni.
berjalan beriring. sesekali tersenyum, lebih banyak tawa.
tak peduli rok terjuntai. basah menyapu tanah.
tak peduli ciprat air yang dengan senang hati dihadiahkan para penunggang motor.
kita beriring. satu-satu. kau, aku, dan mereka.


hei, hujan ini indah bukan?
dan kau tersenyum. membalas,
ya, bukankah hujan adalah rahmat?

Sabtu, 10 Desember 2011

Aku Pulang




sudah cukup lama ternyata. lama sejak terakhir kali kita bertemu.
aku tak tahu berbilang minggu, bulan atau bahkan telah mencapai tahun.
yang kutahu, kayu itu kini lapuk. tak lagi kuat tuk dijadikan tempat bersandar.
yang kutahu, daun itu kini meranggas, tak hijau lagi seperti dulu.
yang kutahu, taman itu kini sepi, tak lagi punya pengunjung seperti dulu.
yang kutahu, sinar mentari kini silau, tak menyegarkan seperti dulu.
tapi satu yang baru kutahu belakangan.
penyebab taman kita kini meranggas, bukan karena orang lain,
bukan karena-Mu, bukan jua karenanya yang kita musuhi.
aku, tiada lain dan tiada bukan akulah yang menjadi api.
membakar hangus daun- daun yang dulu kita pandang dengan penuh kagum.
melalap kayu-kayu yang dulu kita jadikan sandaran.
mengusir orang-orang yang dulu menjadi teman kit menikmati sore di taman ini.
ah, aku tersenyum, senyum bodoh. ternyata itu AKU.
sekarng aku hanya ingin bertemu.
tak muluk-muluk, aku tak meminta Kau mengerti alasanku.
aku hanya ingin pulang.

"pulang pada-Mu"

Senin, 05 Desember 2011

rembulan tenggelam di wajahmu

" bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat,ray. bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu... saling mempengaruhi, saling berintteraksi... sungguh kalau kulukiskan peta itu mmaka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin, lingkar-melingkar. indah. sungguh indah. sama sekali tidak rumit."
"mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah justru di panti menyebalkan tersebut? mengapa? karena kau menjadi sebab bagi garis kehidupan Diar. kau menjadi sebab anak ringkih, lemah, dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi di langit saat kematiannya tiba. kau menjadi sebab seribu malaikat takjim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya yang sayangnya masih amat muda"
- Rembulan tenggelam di wajahmu ; hal 57-

untuk kesekian kali, karya bang tere liye membuat saya merinding, dipenuhi sebak yang sayangnya tak dapat tertahankan. lagi, tisue di kamar pun jadi saksi. betapa untaian kata bisa begitu menyentuh, dengan seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. ah, tapi tetap, hal yang sungguh nikmat.

ya, sedikit lega setelah akhirnya buku setebal 426 halaman itu dapat kuselesaikan dalam waktu seperti biasa, dari pagi hingga adzan ashar menjelang. disela makan siang dan sholat dzuhur. tidak, bukan itu sebenarnya yang membuatku senang, tapi kenyyataan bahwa sebuah buku masih dapat membuat hatiku luntang lantung lah yang membuatku akhirnya lega. lega karena akhirnya masih dapat merasakan hal yang sama seperti dulu, masih ikut tersenyum-senyum tak jelas ketika Ray -tokoh dalam novel ini- pertama kali bertemu si gigi kelinci di gerbong makan kereta, masih ikut mengkal membayangkan ulah si penjaga panti yang begitu tega memanfaatkan anak-anak demi menyandang sebuah gelar haji di depan namanya, dan tentunya masih dapat merasakan sendu, menangis ketika mengetahui kenyataan tentang Diar, tentang si gigi kelinci, tentang Plee...
ah... terlalu banyak yang membuat aku penasaran dan tak rela meninggalkan buku ini sebelum akhirnya menyelesaikannya.

dan lagi, seperti novel bang tere lainnya, ia tak hanya sekedar bercerita, tak sekedar berkisah, tapi juga menohok tepat di ulu hati, membuat kita malu atas tingkah yang ternyata tanpa kita sadari juga ada pada diri ini, membuat air mata ini tanpa malu turun perlahan, membayangkan diri yang berada dalam kondisi seperti itu. duhaii... semoga rahmat Allah tercurah terhadap orang-orang yang bisa dengan begitu mudah membuka pintu hati manusia lainnya tanpa rasa menggurui dan sungguh tanpa rasa memaksakan.

tak sabar nabung buat nyicil beli "pukat", "burlian', dan "eliana"




-- senja dari beranda kosan --




Senin, 28 November 2011

terbang

lagi, sang angan terbang terlalu tinggi,


kepakan sayapnya seolah hampir mencapai nirwana


lupa, kaki masih terpaku di tanah

Jumat, 14 Oktober 2011

yang ketiga

bagimu ini luka
tentang sakit dan pedih yang mengaduh
bagiku ini suka
tentang sayang dan peduli yang membuncah

bagimu ini dongeng
pengantar tidur dengan ceritanya yang usang
bagiku ini musik
pengiring hidup dengan ketukannya yang riang

bagimu ini racun
yang bisa membunuh dengan sekali teguk
bagiku ini madu
yang menawar dahaga hanya dengan satu tetes

bagimu rumput ini sampah
yang kau injak penuh benci dan kau buang ke kali
bagiku rumput  ini harta
yang kujaga tiap waktu dan kusimpan erat dalam selipan buku

bagimu kisah ini rendah
layaknya roman picisan yang tak pantas dibaca
bagiku kisah ini indah
layaknya cerita cinta yang tak sanggup kulupa

tapi setidaknya, kita masih sependapat
bahwa hati ini terlalu sepi
jika hanya kita tempati berdua

Minggu, 19 Juni 2011

gadis peminta-minta

cerpen jaman SMA hahaha...

"
Gadis peminta-minta


Kuseka peluh yang mulai membanjiri wajah dan jilbab biru mudaku. Terik matahari siang ini tak hanya sukses memanggang tubuhku tapi juga lumayan mujarab untuk membakar emosiku. Sesak, pengap dan penuh hiruk-pikuk. Beginilah suasana Pasar Raya Padang yang tercinta ini. Aku menggerutu kecil saat seorang kuli pengantar barang berjalan seenaknya dan tanpa merasa berdosa meninggalkanku yang hampir “mencium” tembok yang mulai dipenuhi lumut.
            Diam-diam aku jadi menyesal sendiri. Mengapa aku begitu berbaik hati bersedia menerima perintah Edo, sang Ketua BEM yang soknya nggak ketulungan itu untuk menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan untuk Acara Malam festival Kampus yang akan diadakan tiga hari lagi.Aku jadi merasa bodoh sendiri.Aku kan sie acara bukan sie perlengkapan,jadi seharusnya ini bukan tugasku ! Memang benar kata pepatah, menyesal kemudian tiada berarti. Ibarat mandi, aku sudah basah setengah,sudah tanggung. Akhirnya dengan setengah ikhlas, kupompa kembali semangatku untuk “berjuang” melawan hiruk-pikuk pasar dan bau keringat beribu manusia yang bercampur menjadi satu.
            Tiba-tiba langkahku terhenti saat seorang gadis cilik berdiri menyodorkan sebuah kaleng permen yang sudah sangat usang dan berkarat.Matanya bersinar redup, seakan menceritakan betapa perihnya hidup yang mesti ia jalani.
“Maaf,dek…!” Ucapku sambil menggoyangkan tangan, mengisyaratkan bahwa aku tak punya apa-apa yang  dapat aku berikan padanya. Agaknya ia kecewa, tapi kemudian ia pergi beranjak dari satu kios ke kios yang lain.Sebenarnya aku kasihan, tapi aku memang tak punya banyak uang. Anak perantauan sepertiku memang harus irit, apalagi di akhir bulan seperti ini. Aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk, bisa saja kirimanku datang terlambat, atau tiba-tiba aku sakit parah dan butuh biaya ke dokter,atau tiba-tiba dosen memberi tugas mendadak yang bisa saja merogoh kocek,atau…. entahlah.Yang jelas aku harus selalu penuh perhitungan.Aku masih memperhatikan gadis cilik itu,mataku terus mengikuti sosoknya hingga kemudian punggungnya lenyap ditelan sebuah tikungan di sudut jalan.Tak lama setelah itu, bayangan gadis itu tak lagi muncul dalam pita memoriku. Sosoknya telah tertelan oleh beribu kesibukan dan tugas-tugas yang semakin menumpuk menunggu gilirannya untuk diselesaikan.
***********
            Dari hari ke hari kesibukanku semakin bertambah. Apalagi kini aku menjadi salah seorang pengurus BEM, maka aku pun semakin tenggelam oleh beribu kesibukan.
            “Hhhh……..”Aku bernapas lega saat proposal yang sebenarnya harus diserahkan tiga hari yang lalu akhirnya rampung juga. Kulirik jam weker yang dihadiahkan ibu pada ulang tahunku yang ke-tujuh belas yang aku letakkan di sandaran tempat tidurku. Sudah jam 01.35 ! Aku cepat-cepat merebahkan badanku pada kasur yang sudah tiga tahun ini setia menemaniku dan membiarkanku tertidur pulas di atasnya. Walau tak lagi seempuk dulu,namun aku sudah cukup bersyukur punggungku tak harus bersentuhan langsung dengan dinginnya lantai.
            Sejenak aku merenung,mensyukuri rahmat dan kasih yang Ia limpahkan untukku dan keluarga di kampung.Aku masih diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan setinggi ini,walau itu semua berkat kerja keras ibu selama ini.Aku dilahirkan dari rahim seorang wanita yang penuh dengan kelembutan.Walau terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan jauh dari berkecukupan, namun aku tak pernah merasa rendah diri.Ayah dan ibu selalu mengajarkan kami untuk bersyukur dan bisa berkaca dari orang –orang yang kehidupannya jauh lebih sulit dibandingkan kami.Anganku menerawang jauh.Aku jadi teringat akan gadis kecil yang aku temui di pasar beberapa bulan yang lalu. Kasihan gadis itu,pasti sangat berat baginya di usianya yang masih begitu belia harus berjuang di tengah ganasnya kehidupan kota.
            Mataku mulai terpejam,tapi aku masih tak bisa tidur juga.Udara bulan Mei memang lumayan panas, bahkan  pada malam hari seperti ini.Aku mulai kegerahan, aku berjalan pelan dan membuka jendela. Semilir angin malam masuk perlahan dan membelai indah pori-poriku.Aku menatap kalender dan mulai menghitung hari.Aku tersenyum simpul saat menyadari bahwa dua bulan lagi aku akan pulang.Pulang ke kampung, Pulang ke pangkuan ibu,pulang menikmati indahnya alam desaku yang masih hijau.Ah,aku jadi merindukan semua itu.Aku rindu mandi di sungai, aku rindu mengembala kerbau, aku rindu padamu,ibu!
           Tiba-tiba mataku terhenti pada satu tanggal yang dilingkari dengan pena merah. Oh,itu ulang tahun ibu !Aku menghitung hari,masih ada kira-kira satu bulan lagi. Kuperkirakan sisa tabunganku, hanya tinggal beberapa ratus ribu lagi. Aku  belum bayar uang kontrakan, juga iuran bulanan kampus.
            “Hhhhhh…..”aku mendesah kecewa,  bisakah? Aku sangat ingin memberikan sesuatu untuk ibu. Terbayang wajahnya yang kini mulai dipenuhi guratan-guratan halus. Aku ingin membelikannya sebuah mukenah baru.Aku ingat,saat ibu mengantarku ke kota ini dan mengajakku ke pasar sebelum ia pulang,ia menunjuk sehelai mukenah yang tergantung di sebuah toko. Mukenah itu begitu indah, terbuat dari kain katun yang sangat halus, pinggirnya bersulamkan benang-benang emas yang berkilauan indah memantulkan cahaya matahari .Saat itu aku melihat mata ibu berbinar dan terus memandang mukenah itu.
            Ah,ibu,betapa malangnya diriku yang tidak bisa membahagiakanmu.Kutatap foto ibu satu-satunya yang kumiliki.Semangatku tiba-tiba timbul kembali dengan memperhatikan wajahnya yang selalu penuh senyum. Aku pasti bisa! gumamku optimis. Bulan ini aku harus betul-betul berhemat, honorarium cerpen yang dimuat di koran lokal beberapa minggu yang lalu pun akan segera tiba. Terima kasih Tuhan! Kau memang selalu memberikan jalan bagi orang yang mau berusaha.
********
            Aku berangkat dengan semangat 45. Kustop angkot jurusan pasar raya.Dengan uang pas-pasan dan bermodalkan keyakinan, aku berusaha optimis dan bertekad tak akan pulang dengan tangan hampa,aku harus mendapatkan mukenah itu! Udara kering bulan Juli tak menyurutkan langkahku.Cuaca memang sedang panas-panasnya, dan di siang hari seperti ini tak banyak orang yang bersedia berpanas-panas di luar rumah. Kebanyakan orang lebih memilih tetap tinggal di rumah dan menikmati minuman dingin sambil bersantai dengan keluarga.
            Kuedarkan pandanganku menyapu sekeliling angkot. Hanya ada lima orang penumpang selain aku siang ini. Angkot berhenti, seorang nenek tua yang tadi duduk persis di samping pintu turun dan menyerahkan uang seribu perak kepada kondektur. Tapi kondektur itu malah marah-marah dan mengatakan bahwa ongkosnya dua ribu lima ratus perak, nenek tua berkata bahwa ia sudah tak punya uang lagi.Sang kondektur itu tetap marah-marah dan berkata,
            “Kalau nggak punya uang, jangan naik angkot ! Sudah tua jangan  suka nipu !” Sang kondektur itu terus menceracau tak jelas. Nenek tua itu tampak sangat ketakutan. Namun anehnya,tak seorang pun di antara penumpang yang tergerak hatinya  untuk membantu nenek malang itu. Seorang anak SMA dengan dandanan yang cukup “wah” yang duduk di pojok terus memperhatikan kejadian itu tapi tak berbuat apa-apa. Sepasang suami istri yang duduk persis di samping nenek tua itu pun acuh tak acuh dan pura-pura tak mendengar perkara itu. Aku merasa sedikit geram,mengapa mereka begitu cuek ? Tidakkah mereka merasa kasihan kepada nenek malang itu? Sudah matikah nurani mereka? Aku terus menyesali tindakan mereka yang sungguh tak berperikemanusiaan. Namun sesaat kemudian aku tersadar. Aku pun tak berbuat apa-apa untuk membantu nenek itu. Aku sama saja dengan mereka, tak punya perikemanusiaan ! Tapi sisi lain hatiku membela,
            “Ah,aku kan anak perantauan,uangku pas-pasan,lagi pula aku harus membelikan sesuatu untuk ibu.”Aku berusaha menghibur diriku sendiri. Namun aku masih merasa sangat berdosa.Nuraniku berontak dan berteriak seakan-akan menudingku,
            “Kamu benar-benar tak punya perasaan ! Kau seorang muslimah berjilbab, tidakkah hatimu tergerak untuk menolong nenek malang  itu? Bukankah kau bisa menawar mukenah itu lebih murah dari harga yang kau targetkan nanti ?” Aku merasa saat ini sedang ada perang besar yang bergolak dalam batinku. Tak terasa angkot mulai bergerak perlahan meninggalkan nenek tua yang ketakutan itu. Sepanjang perjalanan aku terus berpikir keras.Betapa egoisnya diriku.Tuhan,salahkah aku?
***********
            Aku berjalan menyibak kerumunan orang-orang yang bergerumun memperhatikan atraksi tukang obat yang penuh dengan kepalsuan.Pasar ini semakin sumpek saja.Kupercepat langkahku, aku tak ingin berlama-lama di tempat ini.       Kuedarkan pandangan mencari toko yang menjual mukenah itu. Ah,itu dia! Kudatangi toko itu. Mukenah itu masih tergantung. Kusentuh ia dengan perasaan senang. Ibu benar,mukenah ini halus sekali. Penjaga toko itu mendekatiku dan melayaniku dengan ramah. Ia mengatakan harganya, sedikit lebih mahal dari yang kuduga. Kami berkompromi mengenai harganya, cukup sulit menaklukkan hati pedagang ini. Setelah sekian lama saling tawar-menawar,akhirnya ia setuju dengan harga yang kuajukan.Aku senang sekali, Kurogoh saku dan mengambil uang.Tiba-tiba seorang gadis kecil menghampiri kami dan menyodorkan kaleng kecilnya yang usang dan berkarat.Gadis yang waktu itu !
            Kuraba sakuku.Uangku pas.Yang ada tinggal ongkos untuk pulang.Aku bingung. Tiba-tiba aku benar-benar merasa dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Kutatap mukenah dan gadis kecil itu bergantian.Ada sinar di matanya,sinar yang berbinar mengharapkan uluran tanganku. Kutatap mukenah itu.Di sana terbayang wajah ibu.Aku tak ingin mengecewakan gadis itu untuk kedua kalinya,namun aku pun ingin melihat senyum di wajah ibu mengembang indah.Aku ragu,aku benar-benar bingung.
            “Kak……”Wajah gadis itu memelas, agaknya ia lelah menunggu keputusanku. Aku bimbang,dan semakin bingung.
            “Bagaimana dek, jadi beli mukenahnya? harganya sudah sangat murah lho !” Pedagang itu pun ikut-ikutan membuatku semakin pusing.Aku jadi semakin bingung.
            “Jadi,pak !”Ujarku akhirnya tak lama kemudian.Lalu aku menoleh pada gadis itu dan mengatakan bahwa .aku tak punya uang lagi.Gadis itu segera berlalu dengan wajah yang sendu.Ia kelihatan benar-benar kecewa. Ah,gadis kecil,maafkan aku !
********
            Malam sudah sangat larut. Namun mataku tak jua terpejam.Bayangan gadis itu selalu berkelebat mengganggu pikiranku. Entah mengapa aku merasa sangat bersalah padanya. Aku merasa seakan ia selalu mengawasiku. Hari-hariku dihantui sosoknya. Ah,gadis kecil, sedang apa kau sekarang? Sudahkah kau makan malam ini? Apakah kau tidur beratapkan langit dan berselimutkan dinginnya malam?Ah,gadis kecil, andai kita bertemu lagi.
********
            Aku melangkah riang. Tujuanku hanya satu,Pasar Raya Padang !. Aku sudah berhemat untuk membelikan gadis itu sehelai gaun indah dan beberapa bungkus makanan serta sedikit uang.Aku pikir hanya dengan cara ini aku bisa menebus rasa bersalah yang selama ini menghantuiku. Aku sudah beberapa kali mengelilingi pasar ini,namun tak kutemukan jua sosoknya.Aku hampir putus asa ketika tiba-tiba aku melihat orang-orang berlari menuju kerumunan kecil di tepi jalan. Biasanya aku tak terlalu peduli dengan keramaian-keramaian kecil seperti ini. Namun kali ini entah mengapa aku merasa ada kekuatan gaib yang menuntun langkahku . Aku merasa seakan ada bisikan halus yang menyuruhku mendekati kerumunan itu.
            Ada apa,bu?”Tanyaku pada seorang ibu yang berusaha keluar dari kerumunan kecil itu.
            Ada gadis kecil yang tergeletak, sepertinya mati kelaparan,kasihan sekali !” Ujar ibu muda itu menerangkan.Hatiku menjadi was-was.Jangan – jangan…? Aku berusaha untuk lebih dekat lagi. Dan, Ya   Tuhan ! Sosok yang tergeletak tak berdaya itu, sosok yang selama ini selalu menggangguku dengan wajah sendunya. Sosok yang telah menghancurkan dinding keangkuhan yang selama ini terpatri kuat dalam hatiku.Tiba-tiba saja aku merasa lunglai,semangat yang tadi meluap-luap telah menguap entah kemana.Aku merasa seluruh sendiku telah dicabut paksa.Tubuhku lemas. Sebagian orang yang peduli mengangkat tubuh gadis itu. Aku tak tahu akan mereka bawa kemana gadis malang itu.
            Aku masih berdiri terpaku.Aku tak punya tenaga lagi untuk melangkah.Aku tak tahu harus berbuat apa,aku merasa seakan kehilangan arah. Aku baru tersadar saat mendengar klakson panjang dari sebuah mobil mewah yang melintas tepat di sampingku.Mobil itu segera berlalu dengan tak lupa meninggalkan beribu sumpah-serapah yang ditujukan kepadaku.Kucoba melangkahkan kaki dengan sisa-sisa tenaga yang aku miliki. Aku berjalan perlahan menyusuri hiruk-pikuk pasar.Adzan maghrib berkumandang syahdu,berlawanan dengan hatiku yang kini diliputi sendu. Gadis kecil, maafkan aku !
********




            Setiap kali kita bertemu, gadis kecil berkaleng kecil
Senyummu terlalu kekal untuk kenal duka
Tengadah padaku, pada bulan merah jambu
Tapi kotaku jadi hilang, tanpa jiwa
Ingin aku ikut, gadis kecil berkaleng kecil
Pulang ke bawah jembatan yang melulur sosok
Hidup dari kehidupan angan-angan yang gemerlapan
Gembira dari kemayaan riang.
Duniamu yang lebih tinggi dari menara katedral
Melintas di atas air-air kotor , tapi yang begitu kau hapal
Jiwa begitu murni, terlalu murni
Kalau kau mati, gadis kecil berkaleng kecil
Bulan di atas itu, tak ada yang punya
Dan kotaku, ah kotaku…
Hidupnya tak lagi punya tanda