"Children all become guest as they get grow up"
Merasa tergelitik dengan qoute di atas ketika sedang
menonton drama tadi malam. Berawal dari si tokoh yang pulang ke rumah dan akan
kembali lagi ke asramanya di kota lain, saat ia pamitan ingin berpisah, orangtuanya
mengantarkan sampai di pintu, dan berpesan ini itu, hingga si tokoh hanya bisa
tersenyum dan berkata, “Iya.. iya.. aku selalu pulang kan? Kenapa aku
diperlakukan seperti tamu?” dan ibunya menjawab, “semua anak yang telah dewasa
akan menjadi tamu di rumahnya sendiri.”
Kalau boleh berpendapat, saya mungkin setuju, atau
setidaknya merasakan apa yang dimaksud si ibu dalam drama ini.
Saya mulai tinggal jauh dari rumah sejak usia dua belas tahun,
kelas 1 SMP. Hidup dan tinggal di asrama, hanya bisa pulang sekali dalam
dua minggu, itupun hanya dalam lima jam saja, mulai jam sepuluh pagi hingga jam
tiga sore. Tiap kali pulang dalam dua minggu, di rumah sudah disiapkan masakan
istimewa, istimewa karena makanan favorit saya (kecuali tumis tahu atau rebus pakis dianggap menu istimewa bagi orang lain hahaha). Juga sudah disiapkan buah apel (yang kala itu semacam buah yang sangat eksklusif) untuk
ransum selama di asrama nanti.
Lepas dari masa bersekolah, tahun-tahun menyelesaikan kuliah
pun saya lalui di Ibukota, sekian ratus kilometer jaraknya dari rumah. Hingga saat
mulai bekerja, harapan untuk setidaknya bekerja di kota dengan jarak tempuh ke rumah bisa dilalu tiap
akhir pekan tak kesampaian .
Tinggal jauh dari rumah seperti masa sekarang ini hanya
memberikan kesempatan untuk pulang setidaknya sekali dalam empat atau lima
bulan. Pun tidak bisa berlama-lama karena dibatasi oleh jatah cuti tahunan untuk pekerja gajian macam saya. Maka bersyukurlah
orang-orang yang setiap pagi masih terbangun oleh gedoran cerewet atau nasihat tak
henti orang tua, beruntunglah orang yang mungkin merasa jengkel karena dipaksa makan acap kali dan disuruh
tak pilih-pilih makan (macam anak kecil saja), dan berbahagialah engkau mahasiswa yang masih bisa
menghabiskan berbulan waktu dengan leyeh-leyeh di rumah :D
Seringkali iri menyambangi kala menelepon ke rumah dan
terdengar ramai suara di seberang sana. Ketika mereka tertawa-tawa atas hal
lucu yang mungkin terjadi di rumah belakangan, ketika ibu marah-marah kepada
abang dan saya hanya diam mendengarkan lewat telepon, ketika mereka mengobrol
atau mengeluh sesama mereka tentang sayur hari ini yang keasinan atau telur
dadar yang gosong, atau hal-hal kecil seperti keran yang sedang rusak, atau remote
TV yang hilang entah kemana. Rasanya iri, iri sekali. Saya seolah merasa jadi
orang luar yang tidak tahu apa-apa.
Masa-masa pulang ke rumah semakin menegaskan bahwa mungkin
saya mulai dianggap tamu. Dua jam pertama biasanya kami habiskan dengan
bercerita, kemudian saya makan, lalu beranjak ke wastafel tempat mencuci
piring. Dan rutinitas saya setiap pulang ke rumah tiga tahun belakangan adalah,
langsung membersihkan kerak-kerak kotoran di keramik wastafel, yang langsung
diprotes oleh ibu dan bapak (terutama bapak). Saya pasti disuruh tidur,
istirahat, ditanyain mau makan apa saja selama di rumah, ditanyain apa saja yang
perlu diurus selagi di rumah, ditanyain ada sakit atau apa yang perlu
diperiksakan ke dokter selagi di rumah. Saya senang, pastinya. Tapi mungkin
lebih bahagia lagi kalau bisa pulang lebih sering.
Tapi apapun, rasa syukur tetap harus dinomorsatukan. Saya
tau banyak orang yang berharap sebaliknya. Yang ingin merasakan hidup mandiri
di kota lain tapi tidak diizinkan, yang ingin berkuliah di kampus jauh tapi tak
direstui, atau mungkin yang ingin setidaknya tinggal berjarak dari rumah agar
kehadirannya lebih dirasakan, dan tentu agar ada momen untuk “pulang”.
Ayo kita pulang, selagi ada waktu, kesehatan, dan kesempatan.