Minggu, 24 November 2013

renungan dengan secangkir kopi


Pertama bertemu denganmu, aku terkesima dengan sinar yang terpancar terang. Berkilauan layaknya butir-butir permata setiap kau berkata-kata. Aku mengagumi sifatmu yang terbuka, mudah membaur dan dengan cepat dekat dengan semua orang. Aku mengagumi kemampuanmu bersosialisasi, membuat siapapun yang dekat denganmu merasa nyaman.
Aku iri padamu, karena kepribadianmu yang sangat bertolak belakang denganku. Aku terpesona pada sikapmu, yang selalu penuh kesibukan dan berusaha bermanfaat bagi orang lain, tapi tak lupa pada kepuasan dan eksistensi diri.
Sungguh, aku bahkan telah mencatat dalam hati bahwa aku harus berubah dan berusaha menjadi sepertimu.
Hingga malam itu. Saat aku terjaga di tengah malam karena rasa haus, dan kulihat kau berdiri mematung di sisi jendela. Aku sebenarnya gamang, ragu apakah itu kau atau hanya ilusi mata akibat sifat paranoidku setelah mendengar cerita-cerita menyeramkan sore harinya. Tapi itu memang kau, walau baru tiga minggu, kukenali poni urakan dan kunciran kuning yang selalu kau kenakan. Hanya satu yang tak kukenali, tatapan kosong yang seingatku tak pernah bertempat di matamu.
 Lalu kau tersentak, tersenyum lemah dan bergegas kembali ke ruang petak 2 x 3 meter itu. Menutupnya segera, dan aku tak melewatkan bunyi kunci yang diputar. Aku masih berdiri bingung dengan gelas di tangan. Setauku, kau tak pernah mengunci pintu, bahkan saat tidur, karena kamarmu bagai rumah seribu pintu. Siapapun datang ke sana, bercerita, tertawa, berkeluh, lalu keluar selalu dengan senyum di bibir. Entah, mungkin aku yang tidak tahu.
Malam berikutnya. Entah apa yang membuatku terbangun tiba-tiba, lalu otomatis melangkahkan kaki dan memutar grendel pintu. Dan aku sedikit terperanjat, mendapati kau berdiri di tempat yang sama seperti kemarin malam. Setidaknya aku jadi tahu kalau tadi malam itu sungguhan, bukan imajinasi yang datang sendiri.
Kau berdiri di tempat yang sama, kali ini mengenakan jaket merahmu. Memandang jauh ke arah kegelapan. Aku terpekur, tak berani bergerak apalagi mengusikmu. Dan seingatku, hampir setengah jam kita berdiam seperti ini. Hingga akhirnya aku menyerah karena rasa kantuk yang menyerang.
Malam ketiga dan malam-malam berikutnya berlangsung tak jauh beda. Kau terdiam di sisi jendela, dan aku diam-diam memperhatikan. Begitu terus, setiap hari.
Dua hari yang lalu. Malam ketiga belas sejak pertama kali kupergoki kau terdiam di sisi jendela. Entah kali ini dapat keberanian dari mana, melangkah pelan aku mendekatimu. Lalu bertanya pelan,
“Kakak gak tidur?”
Kau terdiam sebentar. Biasanya di saat seperti ini kau akan tersenyum, lalu banyak kata yang akan meluncur cepat, penuh keriangan. Tapi tidak malam itu. Bahkan kau tidak tersenyum. Hanya menggelang lemah, lalu menjawab pelan
“Aku lelah, dek.”
Kau menghela nafas. Dan aku menahan nafas, menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Aku lelah menjadi orang lain setiap hari. Hanya ini waktu yang aku punya, satu jam untuk menjadi benar-benar diriku. Hanya satu dari dua puluh empat jam yang ada.”
Aku bingung, tapi tak berani untuk berkata apa-apa. Diam, lalu pelan-pelan beringsut kembali ke kamar. Entah esoknya kau masih di sisi jendela itu atau tidak, karena aku tak lagi terbangun tengah malam dan diam-diam memperhatikanmu.

Tapi yang pasti, tak ada yang berubah. Kau tetap seperti yang dulu. Seorang senior yang selalu riang, penuh wawasan yang meluap dan semangat yang meletup-letup. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa peristiwa tengah malam itu tak pernah terjadi, tapi setengah dari diriku jelas-jelas menolak untuk percaya. Entahlah, sepertinya hanya aku yang berpikir terlalu banyak.
Surga kecil 2x3 meter, 8 Oktober 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar