Namanya Permata.
Bukan nama sebenarnya, walau nama aslinya memang masih tak
jauh dari defenisi berbagai batu berharga itu
Namanya Permata.
Aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu. Ketika pertama kali
menginjakkan kaki di ruang segi-empat yang sehari-harinya dihuni dua puluh
empat orang. Bersama sejak matahari bahkan belum penuh benar hadirnya, hingga
senja ketika matahari akan bersiap pulang.
Namanya Permata.
Dan seperti namanya, ia memang istimewa sejak dulu. Ia orang
yang dengan mudah dekat dengan siapapun. Ia orang yang dengan santainya
bercanda dengan guru yang galaknya saja membuat murid-murid memilih memutar
jalan jika berpapasan. Ia orang yang dengan riangnya tertawa dan berlari macam
anak kecil, bergelantungan di jerajak pintu tanpa sadar berat bobotnya (V_V),
yang berlari saling mengejar di lapangan sekolah yang luas hanya karena hal
sepele dan kekanakan, yang dalam diamnya menyimpan banyak rahasia karena hampir
semua makhluk di ruang segi-empat itu kadung nyaman dan percaya padanya untuk
bercerita segala hal.
Namanya Permata.
Dan seperti permata, kemampuannya tak bisa kau pandang
sebelah mata. Berturut-turut ia buktikan bahwa level otaknya jauh di atas, di
kasta kaum bangsawan. Namun hal itu sama sekali tak membuatnya merasa duduk di
dunia berbeda. Tatkala hampir semua dari kami penghuni ruang segi empat itu
memilih untuk konsentrasi ke ruang lain demi mempersiapkan tempat yang lebih
baik setelah pergi dengan terhormat dari ruang segi-empat itu, dia mungkin
satu-satunya orang yang memilih tak kemana-mana, cukup menekuni barisan kata
seorang diri. Self learning kalau
bahasa kekiniannya. Dan, ketika hari pengumuman ruang baru yang menentukan
hidup itu terjadi, nyatanya dia menjadi bagian dari sebagian kami yang
tersenyum sumringah. Sekali lagi, semakin dia membuktikan bahwa memang pantas
ia bernama Permata.
Namanya Permata.
Dan seperti hal-nya permata yang harus melalui banyak tempaan sebelum sepenuhnya bersinar, ia pun demikian. Usia belasan tahun, ayahnya
berpulang karena ulah dari beberapa orang jahat, meninggalkan ia, ibu, serta
saudara-saudara yang juga terkena dampak tulah jahat itu. Sejak itu, wajahnya
semakin pucat, dan pada beberapa kesempatan kesehatannya tampak menurun. Tapi sekali
lagi, bukan permata jika ia berhenti bersinar.
Beberapa bulan sejak kami semua resmi meninggalkan ruang
segi-empat itu dan berpencar pada ruang-ruang lain di penjuru negeri, lewat
sebuah pesan singkat dari teman yang lain kudengar kabar duka. Ibunya, telah
pergi menyusul ayahnya. Satu hal yang hingga kini masih susah kupahami adalah
aku benar-benar terdiam. Tidak merasa berani untuk menghubungi mengucapkan
turut berduka, bahkan walau hanya sekedar lewat pesan singkat. Berita itu
justru segera kukabarkan pada orang rumah, yang besoknya kemudian hadir ke
sana. Dia terlihat tegar kata mereka.
Sejak itu, dia dan saudaranya yang lebih tua menjadi tonggak
mengepul tidaknya dapur mereka. Tapi itu tetap tak bisa memadamkan sinar yang
terpancar, dia tetap riang, tetap seperti dulu. Tak sekalipun menyisakan kelabu
awan dalam setiap perjumpaan. Iya, dia kuat seperti permata.
Namanya Permata.
Bertemu dengannya hanya beberapa kali dalam setahun. Komunikasi
pun tak serutin orang lain, dia paham mungkin jika aku adalah orang yang kikuk
dalam hal satu ini. Tapi setiap kali bertemu, kami tak bosan berbincang bahkan
sehari semalam. Terakhir bertemu, dua minggu yang lalu, kami bercakap-cakap
sejak pukul sepuluh pagi, jeda sholat dzuhur, berpindah tempat makan sambil
mengobrol, jeda sholat ashar, lanjut berbincang hingga maghrib, pindah tempat nongkrong,
lanjut bercakap sambil makan malam, hingga kemudian pulang ke kontrakannya dan
terus berbagi cerita hingga adzan shubuh menjelang. Orang bilang, diam itu
emas, tapi terkadang dengan bersuara dapat juga membuatmu memperoleh intan :D
Namanya Permata.
Dan sungguh betapa aku bangga mengatakan bahwa aku tahu,
kenal, dan dekat dengannya ^^
untuk kamu yang dilahirkan di akhir Januari dan selalu menginspirasi semua orang.