Suatu ketika, seorang teman pernah
berkata, “aku mengenalmu sejak SMP hingga saa tini, dan setiap melihatmu aku
selalu berpikir betapa sempurna hidupmu. Sepertinya hidupmu mengalir
lancar-lancar saja tanpa hambatan yang begitu berarti.”
Jujur, saya terkejut
mendengar hal ini, karena sebelumnya tak pernah sekalipun saya berpikir ke
sana. Namun ketika direnungi lebih dalam, mungkin perkataan itu ada benarnya.
Betapa banyak syukur yang harus saya panjatkan atas semua
rahmat dan nikmat yang terlimpah. Alhamdulillah memiliki keluarga yang masih
lengkap, orang tua yang tegas tapi lemah lembut, yang mengutamakan
kepentingan dan pendidikan anak-anaknya
terlebih dahulu di atas apapun. Alhamdulillah kehidupan sekolah dasar saya
menyenangkan. Dikelilingi teman-teman yang masih terus keep contact hingga
kini, dan bukan bermaksud sombong, juga masih menjadi juara kelas dulunya.
Alhamdulillah saya bersekolah di SMP boarding yang bernafaskan Islam, setiap hari selalu
diingatkan untuk senantiasa memperbaharui iman oleh sahabat dan guru pembina
yang berkumpul dalam lingkaran cahaya. Alhamdulillah di jenjang SMA, saya juga
masuk sekolah yang terbilang favorit untuk ukuran kota kecil saya. Mengasah
otak melalui lomba dan olympiade, juga membuka kesadaran untuk mulai menghafal
Al-Qur’an, karena memang menjadi salah satu syarat untuk lulus.
Masa-masa heboh selepas SMA dan mempersiapkan diri memasuki perguruan tinggi.
Dan lagi, Alhamdulillah Allah berikan nikmat diterima di dua perguruan tinggi.
Masa-masa di perguruan tinggi, bergelut dengan bayang-bayang DO, Alhamdulillah
masih selalu mendapat nilai memuaskan, walau memang bukan yang tertinggi. Mengisi
hari dengan berbagai kegiatan, mengenal banyak orang dari seluruh penjuru
Indonesia.
Dan kini di kehidupan kerja, Allah tempatkan saya di
instansi yang memang saya pilih sebelumnya, walau banyak orang menyayangkan
karena katanya gengsinya lebih rendah dibanding instansi kementerian keuangan
yang lain. Tapi toh, tak pernah saya merasa ambil pusing dengan hal itu. Ditempatkan
sementara untuk magang di direktorat yang menyambut saya layaknya menyambut
kelahiran anak pertama. Satu ruangan dengan orang-orang yang hingga kini bila
mengingatnya membuat saya berjuang keras menahan titik air mata karena rasa
syukur (akan saya bahas lebih lanjut tentang beliau-beliau di cerita lain).
Semuanya terasa sempurna, sungguh. Hingga hari penempatan yang sebenarnya
akhirnya tiba.
Kami dikumpulkan sore itu,rencananya di aula utama kantor,
tapi ternyata masih ada acara di tempat itu bahkan hingga hampir selesainya jam kantor, akhirnya kami di
alihkan ke aula kecil di sebelahnya. Sore itu, saya baru tahu, seperti apa
rasanya deg-degan menunggu sesuatu. Saya baru sadar dan terpikir, tempat yang
tertera di amplop yang betuliskan nama kami masing-masing akan menjadi tempat
yang sangat menentukan, bukan hanya untuk sekarang, tapi untuk sisa hidup kami
selanjutnya. Maka saat bagian kepegawaian memberikan wejangan dan bercerita
tentang penempatan pegawai dari penerimaan sebelumnya yang diramaikan oleh air
mata, kami hanya tertawa. Bahkan lebih tertawa lagi saat beliau sengaja
menyiapkan dua box tissue sebelum menyerahkan amplop kami masing-masing.
Tapi, sore itu saya tahu seperti apa perasaan mereka yang hanya saya dengar
daricerita-cerita kakak tingkat, saya tahu seperti seperti apa sakitnya
berusaha menahan air mata di tengah ramainya gegap gempita penuh tangis dan
tawa, dan saya merasa bodoh telah menertawakan diri sendiri. Saya baca surat
dalam amplop itu untuk sekian kali,
namun sayangnya harapan saya bahwa isinya akan berubah tak jua terjadi. kejadian yang paling tidak saya harapkan terjadi. Saya di tempatkan di Kantor Pusat, Jakarta.
Bukan hanya karena keinginan saya untuk ditempatkan dikantor
vertikal daerah tidak terpenuhi, tapi saya ditempatkan di direktorat yang
paling saya hindari. Hahaha mungkin ini cara Allah menegur saya.
Itu beberapa hari yang lalu, dan hingga hari ketiga pasca
pengumuman, mood saya masih berantakan total. Belum berani banyak bercakap
dengan teman-teman di kos, karena saya takut saya atau mereka salah satunya
bisa tersakiti. Bahkan ucapan selamat yang tulus dan berbagai pesan turut
bahagia terasa mengiris hati. Telepon dari orang rumah juga sempat saya abaikan,
hingga memang pada akhirnya tetap keluarga yang menjadi tempat pelampiasan
saya. Tangis yang tertahan sekian lama tertumpah beberapa jam lewat telepon, dan
mereka masih sabar mendengarkan tanpa diputus, walau yang terdengar hanya isak
dan tarikan nafas susah payah karena hidung tersumbat. Setelah nangis, merasa
sedikit lega karena sudah ada yg dilepas, walau hati belum sepenuhnya menerima.
Ah, dan saya berpikir, di usia twenty something ini pun, sikap childish dan
ekstrem mood swing masih belum bisa saya atasi. Amplop itu saya simpan jauh di
laci terdalam almari pakaian. Tapi sesungguhnya hal itu sia-sia, karena isi
amplop itu terekam jelas di otak saya hingga
titik komanya.
Teringat lagi, dua minggu lalu masih sibuk berpikir tentang
sempurnya hidup ini. Ternyata semua tantangannya baru dikeluarkan sekarang,
sekaligus.
Lucu.
Lucu sekali.
: D