Sometimes I think Jakarta isn’t a place to start a family.
Ketika seorang ayah harus buru-buru pulang dari kantor untuk merayakan ulang
tahun anaknya tapi terjebak macet dan tiba di rumah setelah anaknya tertidur
masih mengenakan topi ulang tahun. Atau ketika seorang ibu muda ingin merasakan
bagaimana menyusui anaknya sendiri namun harus rela memakai perantara breast
pump dan botol susu karena kesibukannnya di kantor. When times that are
supposed to be spent with our loved ones are eaten by the busy street of this
city.
–Ika Natassa, Divortiare-
Terlepas dari bagaimana isi cerita dalam novel ini, quotes
di atas adalah salah satu part favorit saya dalam buku tersebut. Bagi saya yang
berasal dari kota kecil, pertama kali menginjakkan kaki ke Jakarta adalah momen
yang luar biasa bagi saya yang dulu. Kawanan bangunan tinggi menjulang di semua
sisi, barisan kendaraan mentereng yang seolah merayap tak habis-habis. Jakarta,
adalah representasi dunia modern bagi kami yang datang dari daerah.
Empat tahun tinggal di kota ini (walau tiga tahunnya
sebenarnya di pinggiran, sebut saja Bintaro), keistimewaan itu pudar sedikit
demi sedikit, berganti sesak dan suntuk akan keramaian, lelah dan penat karena
semua hal.dan keinginan untuk segera menjauh dari sini semakin kuat kian hari.
Hidup di kota metropolitan terbesar di Indonesia ini memang
punya dua sisi bertolak belakang. Diliputi kemudahan dalam berbagai hal, juga
dikelilingi risiko yang sepaket dengan keputusan. Jakarta berlimpah fasilitas. Apa
sih yang tak ada disini? Media mencari ilmu ada di setiap tempat. Universitas,
sekolah, tempat kursus, komunitas apa pun ada di sini. Ingin mendalami agama? Beragam
pengajian dan kajian bertebaran di setiap tempat, ingin ikut Kaderisasi Tarbiyah,
majelis Rasulullah, majelis taklim, kajian dzikr, pergerakan dakwah pemuda,
tinggal pilih mau menghadiri yang mana. Segala macam fasilitas olahraga ada,
semua barang-barang kebutuhan tersedia, dari yang murahnya membuat tercengang
hingga yang mahalnya ampun-ampunan. Lengkap. Sekali lagi, semua ada di sini.
Ada keuntungan, tentunya ada konsekuensi juga untuk itu. Maka
bersiaplah untuk bertemu kemacetan di hampir setiap persimpangan jalan, tak
peduli pagi, siang, sore, bahkan malam hari. Maka berhati-hatilah akan tindakan
kriminalitas yang terkadang tak kita sadari jauh lebih dekat dari yang kita
bayangkan. Maka lindungi diri dari gemerlap pergaulan dan dunia hiburan yang
kini bukan menjadi hal tabu lagi, menggeser sedikit demi sedikit standar moral
penduduknya.
Mungkin terdengar skeptis dan sinis, terutama bagi
teman-teman yang memilih untuk menetap di Jakarta. Tapi apalah daya, pemikiran
setiap orang berbeda, dan itu pendapat saya.
Mengaitkan Jakarta dan perihal penempatan kerja, oleh sebab
itu saya lebih memilih ditempatkan di kota kecil yang tenang ketika sebagian
besar sahabat yang lain berharap dapat penempatan Kantor Pusat. Minggu demi
minggu berlalu, berita itu sudah naik dan turun ke permukaan hingga beberapa
kali, tapi hingga detik ini, perihal penempatan ini masih misteri yang belum
terpecahkan