Kamis, 05 November 2015

Penjara Suci

Beberapa hari belakangan di jendela media sosial lagi banyak review dari alumni sekolah tempat saya menghabiskan pendidikan menengah pertama dulu, baik teman seangkatan maupun kakak kelas yang beberapa angkatan di atas. Ternyata seorang abang kelas baru saja menuliskan buku yang bercerita tentang kehidupan kami dulu semasa di asrama. Karena penasaran, akhirnya saya pesan buku tersebut, dan sekarang sudah dalam perjalanan dari Pontianak menuju Jakarta. Yeaayyy !!! :D

penampakan sampul depan buku, dari obrolan di WA ^^

Saya pernah bercerita tentang kehidupan asrama di sini sebelumnya.

Ya, saya menghabiskan pendidikan tingkat pertama di sebuah SMP swasta bernafaskan Islam di kota kelahiran. Sekolah kami merupakan yayasan yang didirikan dan dibina oleh seorang Bapak Dokter yang telah sepuh, beliau sangat dihormati tidak hanya di kota kecil kami, namun juga hingga kota dan kabupaten-kabupaten tetangga. Dulunya hanya sebatas SMP dan SMA, sejak tahun 2009 mulai dibuka juga untuk tingkat SD IT.

Siswa sekolah kami diwajibkan tinggal di asrama. Asrama, kata yang lekat dengan kata “pesantren”, tapi kami akan dengan tegas menolak untuk disebut pesantren hahahaha. Setiap tahun, sekolah kami hanya menerima 2 kelas murid (sekitar 60-an siswa). Awalnya kelas terbagi menjadi kelas A dan B, namun sejak tahun 2003, sejak kami duduk di bangku kelas 1 SMP, pemisahan kelas menjadi kelas putra dan putri.

Walau hanya menerima 60an siswa tiap angkatannya, jangan salah kawan, ini bukan karna reputasi kami yang tidak baik. Justru sebaliknya, sekolah kami bahkan masuk 5 sekolah favorit tingkat provinsi. Tiap tahun, terlalu banyak calon siswa yang mendaftar, sehingga hanya akan diterima dua kelas saja. Hal ini berhubungan fasilitas asrama dan kelas. Siswa sekolah kami tidak hanya berasal dari kota kecil kami maupun kabupaten tetangga, tidak sedikit yang datang dari provinsi sebelah, bahkan juga ada beberapa yang dari pulau Jawa ^^.

Tahun 2003, ketika saya mendaftarkan diri ke sekolah itu, sekitar 900-an lebih siswa yang bersaing demi meraih kursi untuk duduk di sekolah kami, namun yang diterima hanya 60an :D. Banyak syarat bahkan untuk bisa ikut tes masuk, salah satunya harus juara kelas ketika masih SD. Kemudian akan ada beberapa tahapan tes untuk masuk sekolah kami. Tes ilmu pengetahuan, tes psikologi, tes kesehatan dan kebugaran, dan terakhir adalah wawancara, tidak hanya calon siswa, tapi juga orang tua siswa.
tampak depan gedung utama, berisi kantor guru, aula, dan laboratorium

Banyak yang bilang sekolah asrama itu biayanya mahal, tapi tidak dengan sekolah kami. Karena sekolah ini merupakan yayasan, sebagian besar kebutuhan siswa dibiayai oleh “Pak Dokter”. Kami memang masih membayar, namun hanya sejumlah sekian rupiah yang menurut saya masih sangat  murah, tidak beda jauh dengan sekolah negeri.

Terkait pembayaran ini (kami tidak menyebutnya dengan uang sekolah, melainkan “Infaq”), siswa akan dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan kemampuan orang tua. Kategori A untuk siswa yang dianggap kurang mampu dan tidak perlu membayar Infaq, kategori B untuk siswa yang dianggap cukup, dan kategori C untuk yang keluarganya dianggap mampu. Seingat saya, tahun 2004 waktu itu saya hanya membayar uang “Infaq” sebesar Rp50.000 sebulan (dan saya sudah dapat fasilitas asrama, tempat tidur, makan setiap hari, dan fasilitas lainnya, bahkan semua fasilitas sekolah sudah disediakan, jadi kami tidak perlu membeli apapun ^^).

Tempat itu, tempat awal saya belajar segalanya. Dari yang manja menjadi lebih mandiri, dari yang ilmu sedikit menjadi ilmu yang lebih banyak, dari yang iman sedikit menjadi iman (yang semoga) terus bertambah.

Sudah belasan tahun berlalu sejak saya tak sabar menanti waktu dua minggu-an untuk pulang ke rumah, lalu kemudian menghela nafas panjang jika sudah waktunya harus kembali ke tempat itu lagi.
Sudah belasan tahun sejak segala hal terasa sangat perlu diperjuangkan, bahkan untuk sekedar mandi pagi, jemuran yang strategis, bahkan tempat duduk yang aman untuk tertidur di dalam kelas hehehehe.
Sudah belasan tahun sejak suara lantunan Almatshuroh terdengar rutin tiap shubuh dan menjelang maghrib, didengungkan ratusan anak-anak kecil yang beranjak remaja, beberapa khusyuk, tak sedikit yang mengantuk, bahkan banyak yang melafazkannya dengan mode otomatis, di luar kepala walau sambil berangan-angan.

Sudah belasan tahun sejak masa-masa itu berlalu. Tapi hingga kini, ikatan ukhuwah itu masih kokoh, bahkan meluas. Jika dulu hanya kenal maksimal lima tahun angkatan atas dan lima tahun angkatan bawah, bulan lalu bahkan kami berkumpul di rumah kakak kelas lintas generasi, lima belas tahun di atas angkatan kami. Generasi awal ketika sekolah kami masih tertatih baru berdiri. Berkumpul di tanah rantau, 1.597 kilometer dari tempat kami hidup bersama dulu.

Sudah belasan tahun, tapi sampai berpuluh tahun berikutnya, tempat itu tetap akan menjadi tempat yang menyatukan kami. Tidak hanya dunia, insya Allah juga di hari akhir.
Seperti kata seorang teman, “Sesungguhnya, segala yang baik padaku berasal dari tempat itu.”


Tempat itu, tempat yang kami sebut “Penjara Suci”.

Kumpul bulanan Alumni sekolah kami yang domisili Jabodetabek
Dalam rangka menyambut pengantin baru, Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar