Beberapa hari belakangan di jendela
media sosial lagi banyak review dari alumni sekolah tempat saya menghabiskan pendidikan
menengah pertama dulu, baik teman seangkatan maupun kakak kelas yang beberapa angkatan
di atas. Ternyata seorang abang kelas baru saja menuliskan buku yang bercerita
tentang kehidupan kami dulu semasa di asrama. Karena penasaran, akhirnya saya
pesan buku tersebut, dan sekarang sudah dalam perjalanan dari Pontianak menuju
Jakarta. Yeaayyy !!! :D
penampakan sampul depan buku, dari obrolan di WA ^^
Saya pernah bercerita tentang
kehidupan asrama di sini sebelumnya.
Ya, saya menghabiskan pendidikan
tingkat pertama di sebuah SMP swasta bernafaskan Islam di kota kelahiran.
Sekolah kami merupakan yayasan yang didirikan dan dibina oleh seorang Bapak Dokter
yang telah sepuh, beliau sangat dihormati tidak hanya di kota kecil kami, namun
juga hingga kota dan kabupaten-kabupaten tetangga. Dulunya hanya sebatas SMP
dan SMA, sejak tahun 2009 mulai dibuka juga untuk tingkat SD IT.
Siswa sekolah kami diwajibkan
tinggal di asrama. Asrama, kata yang lekat dengan kata “pesantren”, tapi kami
akan dengan tegas menolak untuk disebut pesantren hahahaha. Setiap tahun,
sekolah kami hanya menerima 2 kelas murid (sekitar 60-an siswa). Awalnya kelas
terbagi menjadi kelas A dan B, namun sejak tahun 2003, sejak kami duduk di
bangku kelas 1 SMP, pemisahan kelas menjadi kelas putra dan putri.
Walau hanya menerima 60an siswa
tiap angkatannya, jangan salah kawan, ini bukan karna reputasi kami yang tidak
baik. Justru sebaliknya, sekolah kami bahkan masuk 5 sekolah favorit tingkat
provinsi. Tiap tahun, terlalu banyak calon siswa yang mendaftar, sehingga hanya
akan diterima dua kelas saja. Hal ini berhubungan fasilitas asrama dan kelas. Siswa
sekolah kami tidak hanya berasal dari kota kecil kami maupun kabupaten
tetangga, tidak sedikit yang datang dari provinsi sebelah, bahkan juga ada
beberapa yang dari pulau Jawa ^^.
Tahun 2003, ketika saya
mendaftarkan diri ke sekolah itu, sekitar 900-an lebih siswa yang bersaing demi
meraih kursi untuk duduk di sekolah kami, namun yang diterima hanya 60an :D. Banyak
syarat bahkan untuk bisa ikut tes masuk, salah satunya harus juara kelas ketika
masih SD. Kemudian akan ada beberapa tahapan tes untuk masuk sekolah kami. Tes
ilmu pengetahuan, tes psikologi, tes kesehatan dan kebugaran, dan terakhir
adalah wawancara, tidak hanya calon siswa, tapi juga orang tua siswa.
tampak depan gedung utama, berisi kantor guru, aula, dan laboratorium
Banyak yang bilang sekolah asrama
itu biayanya mahal, tapi tidak dengan sekolah kami. Karena sekolah ini
merupakan yayasan, sebagian besar kebutuhan siswa dibiayai oleh “Pak Dokter”.
Kami memang masih membayar, namun hanya sejumlah sekian rupiah yang menurut saya
masih sangat murah, tidak beda jauh dengan
sekolah negeri.
Terkait pembayaran ini (kami
tidak menyebutnya dengan uang sekolah, melainkan “Infaq”), siswa akan dibagi
menjadi 3 kategori berdasarkan kemampuan orang tua. Kategori A untuk siswa yang
dianggap kurang mampu dan tidak perlu membayar Infaq, kategori B untuk siswa
yang dianggap cukup, dan kategori C untuk yang keluarganya dianggap mampu.
Seingat saya, tahun 2004 waktu itu saya hanya membayar uang “Infaq” sebesar
Rp50.000 sebulan (dan saya sudah dapat fasilitas asrama, tempat tidur, makan
setiap hari, dan fasilitas lainnya, bahkan semua fasilitas sekolah sudah
disediakan, jadi kami tidak perlu membeli apapun ^^).
Tempat itu, tempat awal saya
belajar segalanya. Dari yang manja menjadi lebih mandiri, dari yang ilmu
sedikit menjadi ilmu yang lebih banyak, dari yang iman sedikit menjadi iman
(yang semoga) terus bertambah.
Sudah belasan tahun berlalu sejak
saya tak sabar menanti waktu dua minggu-an untuk pulang ke rumah, lalu kemudian
menghela nafas panjang jika sudah waktunya harus kembali ke tempat itu lagi.
Sudah belasan tahun sejak segala
hal terasa sangat perlu diperjuangkan, bahkan untuk sekedar mandi pagi, jemuran
yang strategis, bahkan tempat duduk yang aman untuk tertidur di dalam kelas
hehehehe.
Sudah belasan tahun sejak suara
lantunan Almatshuroh terdengar rutin tiap shubuh dan menjelang maghrib,
didengungkan ratusan anak-anak kecil yang beranjak remaja, beberapa khusyuk,
tak sedikit yang mengantuk, bahkan banyak yang melafazkannya dengan mode
otomatis, di luar kepala walau sambil berangan-angan.
Sudah belasan tahun sejak
masa-masa itu berlalu. Tapi hingga kini, ikatan ukhuwah itu masih kokoh, bahkan
meluas. Jika dulu hanya kenal maksimal lima tahun angkatan atas dan lima tahun
angkatan bawah, bulan lalu bahkan kami berkumpul di rumah kakak kelas lintas
generasi, lima belas tahun di atas angkatan kami. Generasi awal ketika sekolah
kami masih tertatih baru berdiri. Berkumpul di tanah rantau, 1.597 kilometer
dari tempat kami hidup bersama dulu.
Sudah belasan tahun, tapi sampai
berpuluh tahun berikutnya, tempat itu tetap akan menjadi tempat yang menyatukan
kami. Tidak hanya dunia, insya Allah juga di hari akhir.
Seperti kata seorang teman, “Sesungguhnya,
segala yang baik padaku berasal dari tempat itu.”
Tempat itu, tempat yang kami
sebut “Penjara Suci”.
Kumpul bulanan Alumni sekolah kami yang domisili Jabodetabek
Dalam rangka menyambut pengantin baru, Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar