Senin, 23 November 2015

Surat Kaleng

Salah satu yang spesial dari travelling adalah obrolan-obrolan sepanjang perjalanan. Mulai dari sekedar bertukar kabar, keseharian, menertawakan hal-hal remeh-temeh, mengomentari apa yang terlihat selama perjalanan, bahan hingga hal-hal serius semacam politik dan isu pernikahan (ehemm..).

Perjalanan pulang dari Jogja  menuju Jakarta tadi malam juga menyisakan banyak cerita dan kabar-kabar yang terlewat oleh telinga. Dan, satu hal yang paling berkesan, adalah tentang surat kaleng.

Saya dan teman seperjalanan kali ini bekerja di instansi Kementerian yang sama, tapi berbeda unit organisasi level Eselon I. Sudah menjadi rahasia umum bahwa unit Eselon II tempatnya mengabdi banyak diperbincangkan karena kondisi ruang kerja yang penuh asap rokok. Padahal gedung berlantai 20 itu tentu saja dilengkapi dengan pendingin udara di setiap sudut, dan siapa pun tahu bahwa merokok adalah hal terlarang, tidak hanya di ruang kerja atau lobby, bahkan toilet dan tangga darurat pun harusnya steril dari asap rokok. Tapi apalah daya, para perokok di unit kerja itu tetap berjaya menyebarkan bau asap ke setiap sudut. Bukan tidak ada yang melarang, bisik-bisik dari yang sekedar halus hingga sindiran ketus pun tak jua mampu meredam. Mungkin untuk level staf atau kepala subbagian masih beranilah untuk mereka ingatkan setiap hari, tapi jika yang paling semangat menjadi ahli hisap adalah pimpinan tertinggi unit kerja? Nah, ini baru masalah. Bertahun-tahun hal ini terjadi, dan untuk kasus teman saya tadi, dua tahun sejak ia pertama kali bekerja.

Foto pinjam dari sini

Nah, yang membuat cerita ini seru adalah ketika bulan lalu ada sebuah amplop tertutup yang dialamatkan kepada pimpinan unit kerja tersebut. Isinya? Semacam teguran dan “ancaman” bahwa jika masalah “rokok” ini masih terus berlanjut, maka akan dilaporkan kepada Tim Pengawas Internal Kementerian, serta pimpinana Eselon I yang merupakan atasalan langsung beliau. Mau tak mau, kini para pegawai yang merokok di ruang kerja mulai pindah, bergeser ke tangga darurat, bahkan si bapak pimpinan tadi pun tak tampak lagi asyik merokok di ruangannya. Syukurnya, kondisi ruang kerja sudah mulai lebih lega tanpa cekikan asap rokok.

Saya kira sampai disitu saja. Namun ternyata, sang pimpinan walau terlihat “takut” dengan ancaman ini, diam-diam menugaskan bawahannya untuk menyelidiki asal muasal surat yang dikirim melalui salah satu jasa pengiriman ternama dengan letak kantor yang jauh dari tempat kami bekerja. Beliau bahkan meminta rekaman CCTV kepada pihak jasa pengiriman.

Teman saya, yang setiap pagi sesampainya di kantor akan otomatis menyalakan kipas dan filter udara serta memakai masker kain sebagai bentuk ketidaknyamanan terhadap asap rokok, termasuk yang dicurigai sebagai tersangka. Namun hingga sekarang belum diketahui siapa yang punya nyali besar untuk mengirimkan surat itu. Siapapun pengirimnya, kata teman saya, sebagian besar pegawai di unit kerja itu sama-sama berdoa agar pelakunya jangan sampai ketahuan.

Cerita yang menarik. Setidaknya, hingga sebulan setelah peristiwa “surat kaleng” itu, ruang kerja masih steril dari bau dan asap rokok.

Salut !


Tidak ada komentar:

Posting Komentar