Kamis, 12 November 2015

Hujan pertama di bulan November

Sabtu siang.

Semarak akhir pekan telah dimulai. Pemuda kantoran yang setiap hari berjuang bangun dini hari dan bersiap berangkat sejak pagi masih awal, kali ini masih mendengkur. Tersenyum dalam tidurnya yang terbungkus selimut hangat.

Anak-anak sekolah yang saban hari terburu mengejar denting bel sekolah, pagi ini terlihat ceria, bercanda sepanjang jalan. Tak mereka pakai seragam penuh atribut seperti biasa, pakaian olahraga yang menemani mereka berpeluh hari ini, beberapa menenteng alat musik di punggung. Sabtu jadwalnya mereka belajar di luar kelas. Ekstrakurikuler bahasa modern-nya.

Sabtu yang hangat berubah menjadi lebih syahdu ketika kawanan awan hitam bergerak perlahan. Lalu diam-diam meneteskan bulir-bulir kecil air berukuran sebutiaran jagung.

Gerimis.

Seperti seorang kekasih yang telah merindu lama, langit tampaknya masih tak puas hanya bertemu gerimis. Gelegar suara guruh membelah hangatnya sabtu pagi yang kini berubah lebih sejuk.
Tak ingin tertinggal angin pun bergabung membersamai awan dan bulir air yang jatuh.
Hujan. Deras. Basah. Kuyup.

Anak-anak sekolah yang tadi bergerombol riang terlihat mulai kocar-kacir, berlarian ke segala arah mencari tempat berteduh. Pemuda kantoran yang awalnya hampir beranjak dari tempat tidur, kembali merapatkan selimut demi mendengar senandung lagu hujan di luar sana, memutuskan semangkok mie instant yang direndam air panas cukuplah mengobati lapar.

Beberapa orang mengeluh. Merasa belum bersiap, merasa belum berakrab-akrab dengan payung.
Mengeluh sesaat untuk kemudian tersenyum.
Ini hujan pertama di musim ini. Hujan yang harusnya bertandang di Oktober, namun terlambat tiba dan baru menyapa di November.

Bapak-bapak bersyukur, sumur yang kering mulai terisi lagi. Niat untuk mengeruk sumur lebih dalam diurungkan. Uang untuk mengupah penggali sumur bisa disimpan, masuk kantong lagi. Alhamdulillah.

Kakek yang sedang menjemur kerupuk menggerutu, membayangkan ratusan tampah kerupuknya harus dikeringkan tanpa bantuan mentari. Perlu angin dari kipas, kipas perlu listrik untuk berputar, ujung-ujungnya, bertambah lagi rupiah yang harus ia keluarkan bulan ini.

Anak-anak kecil bergembira. Segera keluar dengan puluhan payung warna-warni, beragam jenis. Ojek payung mulai semarak lagi. Akan ada uang tambahan yang bisa mereka gunakan untuk bayar ini-itu atau sekadar jajan es potong di pedagang keliling.

Ibu-ibu menggerutu, terbayang pakaian basah yang harus segera dikeringkan. Menjemur di luar bukan lagi solusi yang cerdas. Yang dijemur belum kering, yang kering sudah basah lagi.

Banyak rasa, banyak cerita. 
Tapi hujan kali ini tetaplah diiringi dengan banyak syukur dan ucap Hamdalah.

Dan aku? 
Aku sedang terbanting-banting dalam bajaj berwarna biru. Membuka lebih lebar payung yang tak seratus persen mampu melindungi dari serangan angin dan hujan. Berpayung dalam bajaj?
Iya, kau tak salah baca kawan, dan lucunya bahkan dengan bantuan payung pun aku tetap berhasil basah kuyup hahahaha.

Tapi tidaklah mengapa. Bau tanah kering yang disiram hujan terlalu harum untuk membuatku menggerutu terus, bukan?

Selamat datang musim hujan
Selamat datang rezeki yang berlimpah
sudah lama kami nanti hadirmu

Sabtu, 7 November 2015.
Hujan pertama bertemankan angin
Jakpus

2 komentar:

  1. haa? berpayung dalam bajaj? posisinya begimane tuh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah... unik kan...
      bahkan setelah payung dibuka untuk menahan angin bercampur air dari arah depan, masih saja berhasil basah :'D

      Hapus