Sabtu siang.
Semarak akhir pekan telah dimulai. Pemuda kantoran yang
setiap hari berjuang bangun dini hari dan bersiap berangkat sejak pagi masih awal, kali ini masih mendengkur. Tersenyum dalam
tidurnya yang terbungkus selimut hangat.
Anak-anak sekolah yang saban hari terburu mengejar denting bel sekolah, pagi ini terlihat ceria, bercanda sepanjang jalan. Tak mereka pakai seragam penuh atribut seperti
biasa, pakaian olahraga yang menemani mereka berpeluh hari ini, beberapa menenteng alat musik di
punggung. Sabtu jadwalnya mereka belajar di luar kelas. Ekstrakurikuler
bahasa modern-nya.
Sabtu yang hangat berubah menjadi lebih syahdu ketika
kawanan awan hitam bergerak perlahan. Lalu diam-diam meneteskan bulir-bulir kecil
air berukuran sebutiaran jagung.
Gerimis.
Seperti seorang kekasih yang telah merindu lama, langit
tampaknya masih tak puas hanya bertemu gerimis. Gelegar suara guruh membelah
hangatnya sabtu pagi yang kini berubah lebih sejuk.
Tak ingin tertinggal angin pun bergabung membersamai awan
dan bulir air yang jatuh.
Hujan. Deras. Basah. Kuyup.
Anak-anak sekolah yang tadi bergerombol riang terlihat
mulai kocar-kacir, berlarian ke segala arah mencari tempat berteduh. Pemuda kantoran yang awalnya hampir beranjak dari tempat tidur, kembali merapatkan
selimut demi mendengar senandung lagu hujan di luar sana, memutuskan semangkok mie instant yang direndam air panas cukuplah mengobati lapar.
Beberapa orang mengeluh. Merasa belum bersiap, merasa belum
berakrab-akrab dengan payung.
Mengeluh sesaat untuk kemudian tersenyum.
Ini hujan
pertama di musim ini. Hujan yang harusnya bertandang di Oktober, namun
terlambat tiba dan baru menyapa di November.
Bapak-bapak bersyukur, sumur yang kering mulai terisi lagi. Niat untuk mengeruk sumur lebih dalam diurungkan. Uang untuk mengupah penggali sumur bisa disimpan, masuk kantong lagi. Alhamdulillah.
Kakek yang sedang menjemur kerupuk menggerutu, membayangkan
ratusan tampah kerupuknya harus dikeringkan tanpa bantuan mentari. Perlu angin dari kipas, kipas perlu listrik untuk berputar, ujung-ujungnya, bertambah lagi rupiah yang harus ia keluarkan bulan ini.
Anak-anak kecil bergembira. Segera keluar dengan puluhan
payung warna-warni, beragam jenis. Ojek payung mulai semarak lagi. Akan ada
uang tambahan yang bisa mereka gunakan untuk bayar ini-itu atau sekadar jajan
es potong di pedagang keliling.
Ibu-ibu menggerutu, terbayang pakaian basah yang harus
segera dikeringkan. Menjemur di luar bukan lagi solusi yang cerdas. Yang dijemur belum kering, yang kering sudah basah lagi.
Banyak rasa, banyak cerita.
Tapi hujan kali ini tetaplah
diiringi dengan banyak syukur dan ucap Hamdalah.
Dan aku?
Aku sedang terbanting-banting dalam bajaj berwarna biru. Membuka
lebih lebar payung yang tak seratus persen mampu melindungi dari serangan angin
dan hujan. Berpayung dalam bajaj?
Iya, kau tak salah baca kawan, dan lucunya bahkan dengan
bantuan payung pun aku tetap berhasil basah kuyup hahahaha.
Tapi tidaklah mengapa. Bau tanah kering yang disiram hujan
terlalu harum untuk membuatku menggerutu terus, bukan?
Selamat datang musim hujan
Selamat datang rezeki yang berlimpah
sudah lama kami nanti hadirmu
Sabtu, 7 November 2015.
Hujan pertama bertemankan angin
Jakpus
haa? berpayung dalam bajaj? posisinya begimane tuh?
BalasHapusNah... unik kan...
Hapusbahkan setelah payung dibuka untuk menahan angin bercampur air dari arah depan, masih saja berhasil basah :'D