Duduk, diam. Kau tatap wajah-wajah seribu emosi. Berkelebat.
Berganti.
Sepuluh, seratus, lebih seribu.
Kau lihat wanita-wanita anggun dalam balutan rok lebar
dengan kerangka bambu penyangga di dalamnya. Berjalan dengan langkah satu-satu, dagu
terangkat. Satu tangan menyatu dengan pegangan payung penuh warna, satunya lagi
dengan lentik menyingsing sedikit rok kembang. Dengan gaya tertentu, dengan
dengan anggun yang terukur.
Kau saksikan gadis-gadis jelita berjalan cepat-cepat
bergerombol. Melangkah dalam balutan kain panjang batik yang rapat menutup,
membelit dan menyisakan ruang gerak sekedar untuk melangkah. Kudung-kudung yang
gemar bercanda bersama angin, dan senyum malu-malu tertunduk.
Kau saksikan wanita-wanita kuat memikul keranjang rotan.
Membungkuk membersamai beban di pundak. Langkah kaki satu-satu, dengan nafas
yang kian menderu.
Kau saksikan kaki-kaki telanjang berlari cepat. Debu dan
lumpur adalah sahabat karib mereka. Lalu tawa tak henti, sedangkan tangan dan
matanya awas, menengadah ke atas sana, ke arah biru, mencari satu dua
layang-layang putus yang bercumbu dipermainkan angin.
Ribuan, jutaan tapak kaki melewati. Dan kau duduk tegak.
Menjadi saksi kaki-kaki telanjang itu kini dibalut bermacam alas yang berbeda.
Benda bernama sneaker, wedges, boot mungkin terdengar aneh di telingamu.
Layang-layang tak lagi menarik, denting es keliling tak lagi menggiurkan.
Entah sejak kapan, dunia terasa menjadi sibuk. Seolah semua
orang terburu-buru, takut ketinggalan sesuatu. Langkah-langkah tergesa, gurat
penuh cemas, lirikan tak henti pada arloji. Mungkin mereka kekurangan waktu dari
24 jam yang diberikan dunia.
Dan, lagi, kau tetap duduk dengan gagah.
Menjadi saksi, lagi, berbagai perubahan terus bergulir.
Mungkin sampai nanti, ketika manusia lupa dengan kata.
Mungkin sampai nanti, ketika manusia tak lagi merasa perlu bertemu.
Mungkin
sampai nanti, ketika dunia menjadi mainan canggih penuh kemegahan.
Namun tanpa
nyawa.
Seniman Manusia Patung.
Kota Tua, 17 Januari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar