Cuaca yang panas, udara yang berdebu, tanah berpasir, jerit
klakson yang tak henti. Dan aku tersenyum, menyadari kota ini masih menyambutku
dengan wajah yang sama. Menatap lalu lalang angkot dan hiruk pikuk berbagai
anak sekolah dan siswa bimbingan yang baru pulang, lagi-lagi membuatku tak bisa
berhenti tersenyum. Tiba-tiba bernostalgia lagi dengan kemesraan kota ini.
Hampir empat tahun lalu, kunikmati kota ini dalam gesitnya
angkot yang melaju kencang bak di arena balapan. Menatap segerombolan
gadis-gadis tanggung dengan buku tebal di tangan membuatku teringat tentang aku
yang dulu.
Tahun 2009. Bulan April-Agustus. Seperti tahun-tahun
sebelumnya, kota ini mendadak mendapat ratusan penghuni baru, remaja-remaja
tanggung yang masih fresh keluar dari oven panggangan bernama Sekolah Menengah
Atas. Layaknya para pendahulu, saat itu kami pun larut dalam euforia kelulusan
dan persaingan ketat mengamankan posisi setidaknya di satu kursi universitas negeri.
Masa-masa kritis kata banyak orang, karena ini mungkin akan menjadi penentu
jalan hidupmu untuk selamanya (kata mereka). Maka seperti yang sudah-sudah,
kami pun mengikuti kebiasaan menjalani ritual suci demi masa depan (agak-agak
lebay dikit V_V). Ritual bernama bimbingan belajar. Pagi, belajar. Siang,
belajar. Sore, belajar. Malam, belajar. Untugnya tengah malam masih bisa tidur.
Singkat sebenarnya, hanya beberapa bulan, tapi mungkin
memang menjadi momen penting dalam hidupku. Tidak, bukan hanya karena soal
universitas, tapi di waktu yang sangat singkat itu aku mengenal banyak orang.
Orang-orang yang kelak menjadi bagian penting dalam hidupku, hingga saat ini,
semoga juga sampai nanti-nanti. Ada dia, yang kini selalu menjadi tempat
singgah ketika aku berkunjung lagi ke kota itu. Ada dia, yang kini tetap
menjadi pengingat untuk selalu lebih baik. Ada dia, yang selalu bisa membuat
derai tawa kembali dan bahkan diamnya pun selalu ingin membuatku tersenyum. Dan
mungkin karena ada kamu, yang datang tiba-tiba bagaikan malaikat, dengan kresek
hitam berisi sepatu pinjaman yang kebesaran (sebab hari itu sepatuku jebol
karena berjalan terlalu jauh saat survey lokasi ujian)
Tahun 2012. Bulan Juli-Agustus. Aku masih ingat,
mengobrak-abrik hampir setiap rak di toko gr*media, berkeliling di setiap toko
buku yang ada, bahkan singgah di setiap penjual majalah di pinggiran jalan
sepanjang kota itu, demi sebuah majalah yang entah mengapa rasanya harus
kuperoleh saat itu juga. Menempuh jarak 125 km dari kota tugas belajarku selama
sebulan, menyapu hampir seluruh sudut kota itu. Pada akhirnya, kumpulan kertas
itu datang jauh-jauh dari Jawa Timur sana hahaha
Aku tak lahir dan besar di kota itu. Tak pula merasa
bersahat dengannya. Tapi tetap, aku tak bisa membohongi hati bahwa kota Medan,
pernah dan mungkin tetap jadi tempat hati untuk selalu singgah sejenak.
Medan, Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar