Senin, 05 Desember 2011

rembulan tenggelam di wajahmu

" bagi manusia, hidup ini juga sebab-akibat,ray. bedanya, bagi manusia sebab-akibat itu membentuk peta dengan ukuran raksasa. kehidupanmu menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lain, kehidupan orang lain menyebabkan perubahan garis kehidupan orang lainnya lagi, kemudian entah pada siklus keberapa, kembali lagi ke garis kehidupanmu... saling mempengaruhi, saling berintteraksi... sungguh kalau kulukiskan peta itu mmaka ia bagai bola raksasa dengan benang jutaan warna yang saling melilit, saling menjalin, lingkar-melingkar. indah. sungguh indah. sama sekali tidak rumit."
"mengapa kau harus menjalani masa kanak-kanak yang seharusnya indah justru di panti menyebalkan tersebut? mengapa? karena kau menjadi sebab bagi garis kehidupan Diar. kau menjadi sebab anak ringkih, lemah, dan polos itu menjemput takdir hidup yang bagai seribu saputan pelangi di langit saat kematiannya tiba. kau menjadi sebab seribu malaikat takjim mengucap salam ketika menjemput Diar di penghujung umurnya yang sayangnya masih amat muda"
- Rembulan tenggelam di wajahmu ; hal 57-

untuk kesekian kali, karya bang tere liye membuat saya merinding, dipenuhi sebak yang sayangnya tak dapat tertahankan. lagi, tisue di kamar pun jadi saksi. betapa untaian kata bisa begitu menyentuh, dengan seenaknya mempermainkan perasaan orang lain. ah, tapi tetap, hal yang sungguh nikmat.

ya, sedikit lega setelah akhirnya buku setebal 426 halaman itu dapat kuselesaikan dalam waktu seperti biasa, dari pagi hingga adzan ashar menjelang. disela makan siang dan sholat dzuhur. tidak, bukan itu sebenarnya yang membuatku senang, tapi kenyyataan bahwa sebuah buku masih dapat membuat hatiku luntang lantung lah yang membuatku akhirnya lega. lega karena akhirnya masih dapat merasakan hal yang sama seperti dulu, masih ikut tersenyum-senyum tak jelas ketika Ray -tokoh dalam novel ini- pertama kali bertemu si gigi kelinci di gerbong makan kereta, masih ikut mengkal membayangkan ulah si penjaga panti yang begitu tega memanfaatkan anak-anak demi menyandang sebuah gelar haji di depan namanya, dan tentunya masih dapat merasakan sendu, menangis ketika mengetahui kenyataan tentang Diar, tentang si gigi kelinci, tentang Plee...
ah... terlalu banyak yang membuat aku penasaran dan tak rela meninggalkan buku ini sebelum akhirnya menyelesaikannya.

dan lagi, seperti novel bang tere lainnya, ia tak hanya sekedar bercerita, tak sekedar berkisah, tapi juga menohok tepat di ulu hati, membuat kita malu atas tingkah yang ternyata tanpa kita sadari juga ada pada diri ini, membuat air mata ini tanpa malu turun perlahan, membayangkan diri yang berada dalam kondisi seperti itu. duhaii... semoga rahmat Allah tercurah terhadap orang-orang yang bisa dengan begitu mudah membuka pintu hati manusia lainnya tanpa rasa menggurui dan sungguh tanpa rasa memaksakan.

tak sabar nabung buat nyicil beli "pukat", "burlian', dan "eliana"




-- senja dari beranda kosan --




Tidak ada komentar:

Posting Komentar