Diberitakan angin, diiringi riuh gembira daun-daun bersuka
cita.
Aku, sebagai orang yang merindu tentunya gembira tak
terkira,
Namun tetap harus kusembunyikan tawa lebar itu pada daun
dan ilalang yang sedang berdansa.
“Aku akan kembali lagi, segera” katamu waktu itu
Tapi tak kusangka, "segera" dalam defenisimu berarti tiga tahun.
Menghitung waktu menunggu datangmu, sambil sesekali berjalan
dan mencuri dengar obrolan dedaun menanti hadirmu.
Lalu, pada akhirnya tiba waktu kau nyata hadir. Mencuri tawa dari setiap
sudut bumi, dan mengumpulkannya bersamamamu.
Menyebar bahagia yang merembet dari hati.
Dan aku hanya bisa memandangmu dari jauh.
Jauh dalam artian sebenarnya. Terlalu ramai daun dan ilalang
yang bersorak,
Desau angin tak kalah gemuruh, menyisakan riuh yang membuat
suaramu timbul tenggelam
Dan aku perlahan mulai mundur, memandang keramain dengan
wajah-wajah bahagia tiada terkira, hanya karena hadirmu
Senang? Tentu aku senang, bisa merasakan hadirmu setelah
sekian lama
Walau tak terlihat jelas seperti apa wajahmu, lebih tirus
kah karena lelah yang bertumpuk
Atau lingkaran matamu lebih gelap karena malam adalah
waktumu untuk produktif?
Aku hanya bisa berdiri di belakang, bahkan tak lagi mencoba
memandang ke depan, mencari celah diantara rimbun daun dan ilalang yang
menari-menari bersama angin.
Aku bahkan susah untuk mendengar isak tangisku sendiri. Sesenggukan
menyadari betapa dekat namun sekaligus jauhnya dirimu
Bukan karena iri dengan barisan rapat ilalang di depan sana
Bukan juga karena tarian dedaun yang terus
gempita tiada lelah.
Terlalu banyak emosi dan rasa yang membaur.
Sudahlah, mungkin lebih baik aku jauh-jauh saja.
Seperti yang pernah kuucap dulu.
Hadirmu itu bagai bintang, benderang menyinari di kala jauh,
Namun panas membakar dalam dekat.
Entah, harus berapa kali lagi aku mengukur jarak aman agar
tak hangus oleh radiasimu.
Based on pengalaman Sabtu malam di Serpong, 1 Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar