Satu angka berwarna merah yang berada di deretan angka-angka
kalender merupakan satu lagi hari bahagia untuk para pekerja kantoran. Apalagi
letaknya di awal atau akhir minggu. Seperti akhir minggu di penghujung Januari
kemarin. Libur tiga hari tanpa harus ke kantor dan sejenak melupakan tumpukan
berkas kerja adalah berkah tiada tara. Tak heran kalau sebagian besar teman
satu kost atau rekan kerja memilih untuk mudik. Pulang sejenak, mengunjungi
orang tua atau sekadar me-recharge semangat. Sayangnya saya belum bisa pulang,
akhirnya hanya bertiga di kosan. Tapi tak apalah, masih ada empat dorama dan
tiga novel lagi untuk dilahap. Hidup masih indah :D
Tadi pagi di kantor, ruangan berlimpah oleh-oleh dari
berbagai daerah. Obrolan tentang tiket kereta, delay penerbangan dan jalur bis
yang macet menjadi topik hangat sepanjang pagi. Senang rasany melihat
wajah-wajah ceria, penuh semangat setelah menghabiskan waktu walau hanya satu
hari kembali ke keluarga masing-masing.
Tadi, saya sempat berdiskusi dengan seorang kawan
tentang alas an mengapa ia memilih untuk
tidak pulang, padahal jarak rumahnya lumayan tidak jauh dari ibukota, dan
menururt saya bisa diakomodasilah dibandingkan saya yang punya keluarga nun di
utara Sumatera, jauh dari Bandara pula. Si kawan tersenyum, menjelaskan bahwa
ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak akan pulang sebelum membawa
SK di tangan dan beberapa gepok rupiah sebagai lambing kesuksesan. Saya Cuma
bisa be-ooh ria.
Tiba-tiba pikiran saya melayang diterbangkan waktu, hinggap dan
mendarat di suatu malam tujuh tahun yang lalu. Suatu malam selepas isya di
mesjid asrama, kajian kali itu diisi oleh kakak alumni yang baru pertama kami
kenali wajahnya, tetapi telah kami kenal baik lewat cerita turun temurun
kakak-kakak kelas yang lain. Malam itu, si kakak tidak mengajarkan kami tentang
hadits atau membimbing kami memperbaiki bacaan Qur’an seperti jadwal biasanya.
Malam itu ia hanya bercerita, murni bercerita. Bertutur tentang penyesalan
paling dalam yang pernah ia rasakan. Bukan karena terlambat check in dan
ketinggalan pesawat sehingga beasiswa full 4 tahun di Jepang hangus tanpa
jejak, bukan kepengecutan yang mengakibatkan wanita yang selama ini ia harapkan
akhirnya pergi dan hanya meninggalkan selembar undangan pernikahan, tapi yang
paling ia sesali adalah kesombongannya, kebesaran ego lelakinya yang membuatnya
sempat beradu pendapat dan berjanji tak
akan menampakkan wajah di rumah sebelum ijazah di tangan dan pekerjaan jelas
diperoleh. Hingga pada saat semua itu ia dapatkan, saat ia dengan bangga
kembali ke rumah, yang ia dapati adalah gundukan tanah merah, tempat
ayahandanya beristirahat untuk selamanya. Hal itu menjadi pukulan telak bagi
beliau, hingga selembar ijazah dan tumpukan rupiah yang ia bawa pulang itu
rasanya tak ada harganya lagi.
Tadinya ingin saya sampaikan kisah ini kepada si kawan, tapi
entah kenapa pada akhirnya saya malah memilih diam dan manggut-manggut sok
mengerti. Mungkin kondisi dan posisi tiap orang berbeda. Mungkin prioritas dan
tujuan tiap orang berbeda. Yang pasti, cara pandang dan pola pikir tiap manusia
tak sama.
Kubikel pojok,
4 Februari 2014
16.35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar