Hari ini saya menumpang kendaraan reot
berwarna oranye itu lagi bersama puluhan orang yang berebut naik, lelah karena
sejak pagi duduk di depan komputer atau mungkin tiba-tiba merasa gerah karena
seharian terbiasa dengan semilir AC di ruang kerja.
Saya naik metromini yang sama dengan
seorang rekan almamater yang juga kini jadi rekan kerja di kantor yang sama.
Saya pertama kali kenal dengannya pada saat diklat pelatihan kerja. Teringat
bagaimana teman-teman lelaki yang lain selalu bercanda sinis ketika bersama dia
atau di lain waktu tertawa menyebalkan ketika namanya muncul dalam topik
obrolan mereka. Hanya karena satu alasan, bahwa menurut mereka si teman
tersebut “kurang maskulin”. Sebenarnya bukan itu istilah yang mereka gunakan,
tapi sebut saja begitu karena mungkin itu istilah paling sopan yang bisa saya
temukan.
Kembali ke cerita metromini dan si teman,
lokasi kosan kita yang searah dan hanya bisa ditempuh dengan angkutan umum
bernama metromini menjadikan kami sering bertemu di bis reot itu. Dia anak yang
menyenangkan dan penuh humor, tidak terlalu rame tapi cukup ramah. Dan satu hal
yang selalu saya perhatikan adalah bahwa dalam perjalanan pergi atau pulang
kantor hampir tidak pernah dia duduk di metromini. Tidak, bukan karena tak
kebagian kursi. Letak kantor kami masih di awal rute dan biasanya metromini
yang melintas masih lumayan kosong, namun dia selalu memberikan kursinya untuk
penumpang wanita yang lain. Beberapa penumpang pria terkadang memberikan
kursinya untuk ibu-ibu yang sudah berumur, atau yang sedang hamil, atau yang
membawa anak, atau yang menenteng banyak belanjaan. Tapi si teman ini rasanya
tak pernah memilih-milih, seorang wanita kantoran dengan pakaian modis, anak
sekolah yang tertawa cekikikan, ibu-ibu yang pulang belanja dengan wajah judes,
atau teman-teman sebaya yang perempuan, selalu ia persilahkan duduk di kursinya
dan ia memilih untuk berdiri.
Tadi sore kami naik metromini yang sama
lagi, juga dengan beberapa rekan kerja saya yang lain. Semua kebagian tempat
duduk, hingga beberapa meter kemudian naiklah dua orang ibu setengah baya. Yang
seorang tampak berkeringat kelelahan sambil menjinjing bungkusan yang saya
pikir adalah barang belanjaannya, sedangkan ibu yang lainnya berusaha mencari
pegangan dan mengapit erat tas “Chanel”
yang tersampir di bahunya. Seperti yang sudah saya duga, si teman tadi sigap
berdiri, mempersilahkan ibu dengan plastik belanjaan itu duduk. Akhirnya saya
memilih untuk berdiri juga, memberikan kursi untuk ibu dengan tas Chanel, yang ia sambut dengan senyum.
Saat itu saya banyak berpikir,
memperhatikan gerombolan rekan kerja saya lainnya yang sibuk tertawa
terbahak-bahak entah memperbincangkan apa. Padahal dua ibu tadi naik dari pintu
depan yang persis dengan deretan bangku mereka, tapi sampai dua ibu itu duduk,
tak sedikit pun perhatian mereka beralih, walau sejenak untuk melihat.
Sementara si teman yang duduk hampir di kursi paling belakang cepat tanggap dan
beraksi jantan.
Hingga malam ini saya jadi kepikiran dengan
kejadian itu. Ah, di satu sisi mungkin ini efek samping gembar-gembor
emansipasi wanita yang didengungkan banyak orang dan akhirnya ditanggapi
berbeda oleh kaum lelaki. Tapi di sisi lain, saya jadi bertanya-tanya, ukuran
apa yang teman-teman saya tadi gunakan untuk mencap seseorang cukup maskulin atau
tidak. Karena dari kacamata saya, tingkah mereka tadi sore sungguh bukan
perilaku seorang gentlemen sejati.
Atau mungkin saya yang terlalu kolot dan menganggap dongeng-dongeng pangeran Disney itu benar adanya? Entahlah.
Setuju sm post ini :) Barusan kemarin kepikiran mau bikin pos tentang kelakuan-kelakuan penumpang di bus, ternyata tsuza jg berpikiran yg sama :) bener tuh, dr segi mana mereka ngukur kemaskulinan cowok kl mrk sendiri gitu y ._.
BalasHapus:D rutinitas berangkat ke kampus atau tempat kerja dengan menumpang angkutan umum, mau gak mau bikin kita jadi life observer gak sih?
BalasHapusdari kemarin juga pengen nulis beberapa pengalaman pas di metromini, tapi kesampaiannya baru yang ini, yang lain masih mengendap hehehe