Pertama bertemu denganmu, aku terkesima
dengan sinar yang terpancar terang. Berkilauan layaknya butir-butir permata
setiap kau berkata-kata. Aku mengagumi sifatmu yang terbuka, mudah membaur dan
dengan cepat dekat dengan semua orang. Aku mengagumi kemampuanmu
bersosialisasi, membuat siapapun yang dekat denganmu merasa nyaman.
Aku iri padamu, karena kepribadianmu yang
sangat bertolak belakang denganku. Aku terpesona pada sikapmu, yang selalu
penuh kesibukan dan berusaha bermanfaat bagi orang lain, tapi tak lupa pada
kepuasan dan eksistensi diri.
Sungguh, aku bahkan telah mencatat dalam
hati bahwa aku harus berubah dan berusaha menjadi sepertimu.
Hingga malam itu. Saat aku terjaga di
tengah malam karena rasa haus, dan kulihat kau berdiri mematung di sisi
jendela. Aku sebenarnya gamang, ragu apakah itu kau atau hanya ilusi mata
akibat sifat paranoidku setelah mendengar cerita-cerita menyeramkan sore
harinya. Tapi itu memang kau, walau baru tiga minggu, kukenali poni urakan dan
kunciran kuning yang selalu kau kenakan. Hanya satu yang tak kukenali, tatapan
kosong yang seingatku tak pernah bertempat di matamu.
Lalu
kau tersentak, tersenyum lemah dan bergegas kembali ke ruang petak 2 x 3 meter
itu. Menutupnya segera, dan aku tak melewatkan bunyi kunci yang diputar. Aku
masih berdiri bingung dengan gelas di tangan. Setauku, kau tak pernah mengunci
pintu, bahkan saat tidur, karena kamarmu bagai rumah seribu pintu. Siapapun
datang ke sana, bercerita, tertawa, berkeluh, lalu keluar selalu dengan senyum
di bibir. Entah, mungkin aku yang tidak tahu.
Malam berikutnya. Entah apa yang membuatku
terbangun tiba-tiba, lalu otomatis melangkahkan kaki dan memutar grendel pintu.
Dan aku sedikit terperanjat, mendapati kau berdiri di tempat yang sama seperti
kemarin malam. Setidaknya aku jadi tahu kalau tadi malam itu sungguhan, bukan
imajinasi yang datang sendiri.
Kau berdiri di tempat yang sama, kali ini
mengenakan jaket merahmu. Memandang jauh ke arah kegelapan. Aku terpekur, tak
berani bergerak apalagi mengusikmu. Dan seingatku, hampir setengah jam kita
berdiam seperti ini. Hingga akhirnya aku menyerah karena rasa kantuk yang
menyerang.
Malam ketiga dan malam-malam berikutnya
berlangsung tak jauh beda. Kau terdiam di sisi jendela, dan aku diam-diam
memperhatikan. Begitu terus, setiap hari.
Dua hari yang lalu. Malam ketiga belas
sejak pertama kali kupergoki kau terdiam di sisi jendela. Entah kali ini dapat
keberanian dari mana, melangkah pelan aku mendekatimu. Lalu bertanya pelan,
“Kakak gak tidur?”
Kau terdiam sebentar. Biasanya di saat
seperti ini kau akan tersenyum, lalu banyak kata yang akan meluncur cepat,
penuh keriangan. Tapi tidak malam itu. Bahkan kau tidak tersenyum. Hanya
menggelang lemah, lalu menjawab pelan
“Aku lelah, dek.”
Kau menghela nafas. Dan aku menahan nafas,
menunggu penjelasan lebih lanjut.
“Aku lelah menjadi orang lain setiap hari.
Hanya ini waktu yang aku punya, satu jam untuk menjadi benar-benar diriku.
Hanya satu dari dua puluh empat jam yang ada.”
Aku bingung, tapi tak berani untuk berkata
apa-apa. Diam, lalu pelan-pelan beringsut kembali ke kamar. Entah esoknya kau
masih di sisi jendela itu atau tidak, karena aku tak lagi terbangun tengah
malam dan diam-diam memperhatikanmu.
Tapi yang pasti, tak ada yang berubah. Kau
tetap seperti yang dulu. Seorang senior yang selalu riang, penuh wawasan yang
meluap dan semangat yang meletup-letup. Aku mencoba meyakinkan diri bahwa
peristiwa tengah malam itu tak pernah terjadi, tapi setengah dari diriku
jelas-jelas menolak untuk percaya. Entahlah, sepertinya hanya aku yang berpikir
terlalu banyak.
Surga kecil 2x3 meter, 8 Oktober 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar